SI TANGAN SAKTI : JILID-02


Setelah berkata demikian, Hek-bin-gu menerjang dan menyerang. Sekali ini dia bukan sekedar menubruk dan mencengkeram seperti dua kali serangan pertama, melainkan menyerang dengan jurus-jurus ilmu silat, memukul dan menendang.

Akan tetapi, begitu kepalan tangan kanannya yang besarnya tidak kalah oleh besarnya kepala Sian Li itu menyambar ke arah kepala Sian Li, gadis itu mengelak ke samping. Hek-bin-gu menyusulkan hantaman yang diselingi dengan tendangan, namun sekali lagi tubuh itu lenyap menjadi bayangan merah yang meluncur ke atas. Ia cepat mengangkat muka ke atas, siap menyambut tubuh yang meloncat ke atasnya itu, akan tetapi kembali dia kalah cepat. Kedua kaki Sian Li bergerak.

"Plak! Desss...!"

Tubuh Hek-bin-gu terpelanting keras. Sekali ini hidungnya bercucuran darah sebab bukit hidungnya patah akibat tendangan kaki kiri Sian Li, sedangkan tendangan kaki kanan yang mengenai bawah telinga membuat dia tadi terpelanting dan terjungkal. Kepalanya nanar dan ketika dia merangkak bangun, dia melihat bumi di sekelilingnya berputar! Sekarang tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, dia akan semakin celaka, maka dalam keadaan masih pening dia berteriak kepada kawan-kawannya untuk mengeroyok!

Gerombolan itu kini menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang amat lihai walau pun kelihatan lemah lembut, maka mereka pun tidak malu-malu untuk mencabut senjata mereka dan mengepung gadis itu dengan bersenjata golok, ruyung atau pedang! Sinar senjata mereka berkilauan ketika tertimpa sinar matahari pagi.

Melihat ini, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li tetap tenang-tenang saja, menonton akan tetapi turun dari kereta. Mereka berdua tahu bahwa puteri mereka hanya berhadapan dengan orang-orang kasar yang nampaknya saja bengis dan ganas, akan tetapi hanya gentong-gentong kosong yang tak berisi apa-apa kecuali nafsu angkara murka. Mereka yakin bahwa puteri mereka akan mampu menghadapi pengeroyokan mereka.

Sian Li tersenyum mengejek dan memandang kepada Hek-bin-gu yang masih mencoba untuk bangun sambil merangkak. Karena dia belum dapat bangkit berdiri, hanya bisa merangkak, maka kini julukannya itu tepat sekali. Dia memang seperti seekor kerbau yang berjalan dengan empat buah kakinya.

"Hemmm, sudah kuduga bahwa engkau memang hanyalah seekor kerbau. Tentu saja engkau tidak akan memegang janji. Tetapi aku akan memaksamu memenuhi janjimu berlutut dan mencium tahi kuda!" Tiba-tiba tubuh Sian Li meloncat dan melewati kepala orang-orang yang mengepungnya.

Dua belas orang itu amat terkejut dan cepat mengejar, akan tetapi Sian Li telah tiba di belakang Hek-bin-gu. Kakinya menendang dan tubuh itu pun terdorong dan terbanting jatuh tepat di atas seonggok tahi kuda penarik kereta. Karena jatuhnya telungkup dan tahi kuda itu masih baru dan masih hangat, maka mukanya tepat menimpa tahi kuda itu.

Tentu saja, walau pun dia masih merasa nanar dan pening, Hek-bin-gu muntah-muntah dan menyumpah-nyumpah, menggunakan kedua tangan untuk membersihkan mukanya dari kotoran itu. Akan tetapi dia mengeluh kesakitan pada waktu tangannya menggaruk batang hidungnya yang patah. Bau kotoran yang memasuki mulut dan hidungnya tidak hanya membuat dia muntah-muntah, tetapi juga megap-megap karena sulit bernapas.

Dua belas orang anak buahnya menjadi marah sekali. Sambil berteriak-teriak mereka menyerbu, mengeroyok Sian Li bagai segerombolan anjing serigala mengepung seekor singa betina.

Sian Li sudah mengeluarkan sebatang suling yang disepuh emas dari ikat pinggangnya. Suling itu kecil saja, hanya sebesar ibu jari kaki, dan panjangnya tidak melebihi panjang lengan Sian Li dari siku ke ujung jari tangannya. Suling itu pemberian Kam Bi Eng, isteri kakek Suma Ceng Liong.

Kemudian, begitu sulingnya digerakkan menghadapi pengeroyokan dua belas orang itu, nampak gulungan sinar emas yang mengeluarkan suara aneh, seperti orang bermain musik dengan suling, akan tetapi gulungan sinar emas itu menyambar-nyambar seperti seekor naga. Itulah ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang merupakan gabungan dari ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dengan ilmu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman)!

Bukan main hebatnya ilmu ini. Ketika dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambar-nyambar ke arah para pengeroyoknya, terdengar teriakan-teriakan berturut-turut dan dua belas orang itu pun roboh satu demi satu. Ada yang tertotok lumpuh, ada yang kena tendangan, ada yang patah tulang, ada yang babak belur karena terbanting. Tidak sampai dua menit, dua belas orang itu sudah roboh semua!

Melihat ini, Hek-bin-gu yang sudah dapat bangkit berdiri, tanpa mengenal malu lagi lalu menyeret tubuhnya melarikan diri, diikuti oleh kedua belas orang temannya yang saling bantu, lari terbirit-birit sambil terpincang-pincang, dengan muka ketakutan seperti dikejar setan.

Sian Li tertawa geli, lalu menghampiri ayah dan ibunya. Kao Hong Li tersenyum, teringat akan kesukaannya mempermainkan orang-orang jahat di waktu mudanya. Akan tetapi puterinya ini lebih bengal dan ugal-ugalan lagi. Sedangkan Sin Hong mengerutkan alis memandang kepada puterinya.

"Kenapa, Ayah?" tanya Sian Li. "Kenapa Ayah tidak gembira melihat aku menghajar gerombolan jahat itu?"

"Hemmm, memang baik sekali engkau menghajar mereka tanpa membunuh mereka atau melukai berat. Akan tetapi engkau terlalu mempermainkan dan menghina orang. Yang kau lakukan terhadap Hek-bin-gu tadi agak keterlaluan. Mengapa tidak langsung kau robohkan saja dia dalam satu dua jurus agar dia tidak dapat melawan lagi?"

"Ayah, dia dan kawan-kawannya yang menghinaku, bukan aku. Memang hatiku baru puas kalau sudah mempermainkan mereka yang jahat itu supaya mereka jera untuk menghina orang lagi."

"Sudahlah," berkata Kao Hong Li karena tidak ingin melihat suaminya memarahi puteri mereka. "Sian Li kadang masih kekanak-kanakan. Ehh, Sian Li, mengapa engkau tadi mempergunakan dan memainkan Liong-siauw Kiam-sut, bukankah hendak menguji ilmu silat Ang-ho Sin-kun? Dan kulihat engkau juga tidak pernah menggunakan tangan untuk menangkis atau merobohkan lawan."

"Aih, apakah Ibu tidak tahu? Mereka bagitu kotor! Baunya saja membuat aku pening, seolah-olah aku tadi dikeroyok oleh belasan babi! Aku jijik untuk menggunakan tangan, maka aku hanya menggunakan kaki dan pada saat mereka menggunakan senjata, aku memilih menggunakan sulingku. Kalau melawan dengan Ang-ho Sin-kun, aku terpaksa mempergunakan kedua tangan, dan kedua tanganku tentu akan bersentuhan dengan mereka. Ihh, aku tidak mau!"

Kembali Sin Hong mengerutkan alisnya. "Sian Li, sungguh tidak baik mempunyai watak setinggi itu. Jangan terlalu memandang rendah orang lain. Mereka pun manusia, walau pun mereka sedang sesat. Kalau tanganmu kotor, bukankah dapat dicuci? Yang tidak mengerti tentu akan mengira engkau bertingkah dan banyak lagak."

Ditegur ayahnya, Sian Li hanya cemberut akan tetapi tidak berani membantah. Ibunya yang melerai. "Aihhh, sudahlah. Engkau tidak tahu akan perasaan wanita. Kalau wanita merasa jijik, biar berdekatan pun sudah tidak suka, apalagi sampai bersentuhan. Jangan terlalu salahkan Sian Li. Orang-orang itu memang menjemukan!"

Sin Hong menghela napas panjang. Ia berusaha untuk memaklumi isterinya yang terlalu memanjakan dan membela Sian Li. Betapa pun juga Sian Li merupakan anak tunggal, tumpuan segala harapan dan penampung segala kasih sayang Kao Hong Li. Lagi pula, memang orang-orang tadi merupakan gerombolan yang cukup ganas. Mengingat akan kata-kata mereka yang bernada mesum saja sudah cukup untuk membuat isterinya itu membunuh mereka!

"Mari kita melanjutkan perjalanan," akhirnya Sin Hong berkata. Mereka naik kembali ke atas kereta dan Sin Hong menjalankan kereta menuju ke timur.

Menjelang tengah hari, kereta mereka berhenti di lereng bukit berikutnya. Matahari amat panasnya dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar yang teduh. Karena hari telah siang, Hong Li segera membuat api unggun untuk memasak daging dan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal.

Sin Hong sendiri beristirahat, melenggut di dalam kereta. Dia membiarkan isteri dan puterinya mempersiapkan makan siang. Di tempat teduh itu, membuat orang mudah mengantuk dihembus angin semilir, dan perut pun mudah terasa lapar, apalagi setelah melakukan perjalanan setengah hari di daerah yang berbukit dan lengang itu.

Setelah masakan siap, mereka pun makan siang dengan makanan sederhana. Mereka minum air teh dan anggur yang mereka bawa, makan roti dan daging kering yang sudah dimasak dengan sayur asin. Ketiga orang ini memang anggota keluarga pendekar yang biasa bertualang, maka makan seperti itu malah terasa nyaman dan lezat.

Ketika mereka membersihkan segalanya dan sudah bersiap kembali naik kereta untuk melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari arah belakang. Mereka menengok dan tidak lama kemudian nampaklah belasan orang menunggang kuda, serta membalapkan kuda-kuda itu ke arah mereka.

Sian Li mengepal tinju. "Kalau buaya-buaya itu yang datang mengejar, sekali ini akan kubasmi mereka!"

"Bersabarlah, Sian Li. Sabar itu pangkal ketenangan dan tenang modal kewaspadaan." kata ayahnya. Mereka menanti sambil duduk di dalam kereta.

Setelah rombongan berkuda itu dekat, terdengar mereka berteriak-teriak dan benar saja seperti dugaan Sian Li, yang muncul adalah Hek-bin-gu bersama belasan orang anak buahnya tadi, akan tetapi sekali ini ditambah dengan tiga orang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tidak kelihatan bengis, akan tetapi berwibawa.

Mereka tidak tinggi besar dan bengis seperti Hek-bin-gu dan kawan-kawannya, bahkan tubuh ketiganya agak kurus. Akan tetapi pedang yang tergantung di pinggang mereka mendatangkan kesan bahwa mereka adalah ahli-ahli pedang yang tak boleh disamakan dengan Hek-bin-gu dan kawan-kawannya.

"Bocah setan, lekas keluar dari kereta untuk menerima pembalasan kami!" Hek-bin-gu berteriak sambil mengamangkan tinjunya ke arah kereta.

Tiga orang lelaki setengah tua itu dengan gerakan ringan meloncat turun dari atas kuda masing-masing yang segera dituntun oleh anak buah gerombolan. Mereka berdiri tegak dan berjajar, menghadap ke arah kereta.

"Siapakah Nona yang sudah melukai anak buah kami? Silakan keluar, kami Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Saudara Naga Besi) tak mau menerima begitu saja anak buah kami diperhina orang!" kata salah seorang di antara mereka, yang tertua dan kumisnya kecil berjuntai ke bawah.

Sian Li meloncat turun dari atas kereta, menghadapi mereka. "Akulah yang menghajar mereka! Kalian mau apa?" bentaknya.

Melihat seorang gadis berpakaian merah yang usianya sekitar delapan belas tahun itu, tiga orang ini terheran-heran. Bocah ini yang telah menghajar Hek-bin-gu dan dua belas orang anak buahnya? Sukar dipercaya.

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di dekat nona baju merah itu sudah berdiri seorang wanita lain yang cantik, usianya sekitar empat puluh tahun. Ia adalah Kao Hong Li yang berkata kepada puterinya. "Biarkan aku yang menghadapi mereka!"

"Tidak perlu, ibu, aku sendiri cukup menghajar mereka kalau mereka hendak membela gerombolan serigala itu."

Kembali nampak bayangan berkelebat, bayangan putih, dan Sin Hong sudah berada di dekat isterinya. "Kalian mundurlah, biar sekarang ini aku sendiri yang melayani mereka!"

Pada saat melihat Sin Hong, tiga orang itu terbelalak dan wajah mereka berubah pucat sekali. Si kumis kecil panjang dengan suara gemetar dan gagap bertanya, "Engkau... engkau... Pek-ho-eng (Pendekar Bangau Putih)...?"

Sin Hong tersenyum. "Benar, aku yang disebut Pendekar Bangau Putih..."

"Dan aku Pendekar Wanita Bangau Merah!" kata Sian Li dengan sikap menantang dan bertolak pinggang.

Sin Hong memandang puterinya, kemudian mengalihkan pandangan ke arah tiga orang itu. "Mereka adalah isteri dan puteriku. Siapakah Sam-wi (Anda Bertiga)? Dan apakah Sam-wi hendak membela gerombolan perampok itu?"

Tiga orang itu dengan muka pucat kini mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk sampai dalam, menghormat kepada Pendekar Bangau Putih beserta anak isterinya. "Mohon Taihiap sudi memaafkan kami yang bermata buta, tidak tahu bahwa Taihiap bertiga yang lewat di sini. Kami hanya mendengar laporan dari anak buah kami. Mereka memang bersalah dan patut dihajar!"

Setelah berkata demikian, tiga orang itu membalikkan tubuh dan menghadapi tiga belas orang anak buah mereka dengan sikap marah sekali. Tiga belas orang yang tadi sudah babak belur oleh Sian Li, kini sudah turun dari atas kuda, bersiap menikmati bagaimana pimpinan mereka membalaskan penghinaan yang mereka derita dari nona baju merah.

"Bagus, ya? Kalian sungguh membuat kami malu. Kalian berani mengganggu Pendekar Bangau Putih, isteri beliau, dan puteri beliau Si Bangau Merah. Kalian tak pantas hidup!"

Setelah berkata demikian, si kumis bersama dua orang saudaranya bergerak menerjang dan menghajar anak buah mereka sendiri dengan pukulan dan tendangan sampai tiga belas orang itu jatuh bangun dan mengerang kesakitan. Sungguh mereka tidak pernah menyangka sama sekali bahwa laporan mereka bukan membalaskan dendam mereka, bahkan membuat mereka ditambahi hajaran dari tiga orang pemimpin mereka.

Yang paling parah dihajar adalah Hek-bin-gu. Si kumis memukuli dan menendanginya sehingga dia muntah-muntah darah dan roboh pingsan. Dua belas orang yang lain juga dihajar setengah mati. Tiat-liong Sam-heng-te nampak sangat malu, agaknya mereka tidak akan menghentikan amukan mereka terhadap anak buah sendiri sampai tiga belas orang itu mati konyol.

Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan Sin Hong telah berada di dekat mereka sambil membentak. "Hentikan pukulan!"

Tiga orang itu menghentikan siksaan mereka dan mereka berdiri berjajar, membungkuk-bungkuk dengan hormat dan jeri kepada Sin Hong.

Tan Sin Hong berkata dengan nada suara kereng. "Kalian bertiga menghajar anak buah kalian oleh karena kalian melihat bahwa mereka mengganggu kami. Coba kalau yang diganggu bukan kami tetapi orang lain, tentu kalian sudah turun tangan membalaskan kekalahan mereka. Tidak perlu kalian membunuh mereka karena kalian juga tidak lebih baik dari pada mereka."

"Ayah, pemimpin sama dengan guru. Kalau muridnya jahat, gurunya tentu lebih jahat lagi!" kata Sian Li. "Biar kuhajar mereka bertiga!"

"Benar juga kata-katamu, Sian Li. Akan tetapi bagianmu sudah cukup. Biarlah aku yang akan menghajar mereka supaya bertobat. Nah, Tiat-liong Sam-heng-te, majulah kalian bertiga melawanku untuk membela para anak buah kalian. Itu jauh lebih jantan dan lebih bertanggung jawab dari pada menghukum mereka padahal mereka adalah anak buah kalian sendiri!"

"Kami... kami tidak berani!" kata tiga orang itu dengan muka semakin pucat.

Tidaklah begitu mengherankan jika tiga orang ini ketakutan setengah mati menghadapi Pendekar Bangau Putih. Sebenarnya tiga orang ini adalah sisa anak buah perkumpulan Tiat-liong-pang. Mereka ingat benar betapa pendiri Tiat-liong-pang sendiri yang berjuluk Siangkoan Lohan (Laki-laki Tua Siangkoan) yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, dulu tewas di tangan Si Bangau Putih ini, bahkan puteranya yang bernama Siangkoan Liong juga tewas di tangan pendekar ini.

Pendiri Tiat-liong-pang bersama puteranya memiliki tingkat yang sepuluh kali lebih tinggi dari tingkat mereka, dan ayah dan anak itu tewas di tangan pendekar ini. Bagaimana sekarang mereka akan berani melawan Si Bangau Putih?

"Kalau kalian tidak berani melawan suamiku, biarlah melawan aku saja!" kata Kao Hong Li.

"Tidak, Ibu. Biarkan aku saja yang menghadapi mereka. Heiii, kalian yang julukannya demikian hebat, Tiga Saudara Naga Besi! Pilihlah seorang di antara kami bertiga. Kami tidak maju bertiga, hanya seorang dari kami yang maju. Nah, pilihlah, siapa yang akan kalian lawan? Jika kalian dapat mengalahkan salah seorang di antara kami, sudah saja, kalian boleh pergi membawa anak buah kalian."

"Kami... kami tidak berani..." Mereka masih segan dan jeri terhadap Si Bangau Putih.

"Berani atau tidak kalian harus maju, atau... kalian akan kuhajar begitu saja agar ikut merasakan penderitaan anak buah kalian!" kata pula Sian Li.

Tiga orang itu saling pandang. Agaknya mereka sudah benar-benar tersudut dan tidak dapat menghindarkan diri lagi. Mereka tahu bahwa melawan Si Bangau Putih sama saja dengan bunuh diri. Tinggal isteri dan puteri pendekar itu.

Bagaimana pun juga, tentu isterinya lebih pandai dari pada puterinya, meski puterinya itu memiliki julukan Si Bangau Merah dan telah merobohkan tiga belas orang anak buah mereka. Kiranya mereka masih sanggup bertahan kalau mengeroyok gadis remaja ini. Dan siapa tahu mereka bisa menang sehingga mereka dapat keluar dengan tidak terlalu kehilangan muka.

"Baiklah kalau Lihiap memaksa, kami bertiga yang bodoh dan lemah mohon petunjuk Nona," kata si kumis.

Mereka bertiga memasang kuda-kuda dan tidak berani mencabut pedang karena kalau bertanding menggunakan pedang, kalau kalah tentu akibatnya akan lebih parah bagi mereka dari pada kalau bertanding dengan tangan kosong. Pula, tidak percuma mereka menjadi bekas anggota Tiat-liong-pang (Perkumpulan Naga Besi) karena mereka telah menguasai ilmu kebal dari Tiat-liong-pang yang membuat mereka berani menggunakan julukan Naga Besi. Betapa pun kuatnya, tangan gadis remaja itu mustahil akan mampu menembus kekebalan mereka.

Sian Li tersenyum kepada ayah dan ibunya dan suami isteri itu terpaksa mengalah. Mereka kembali mundur mendekati kereta dan berdiri di dekat kereta seperti tadi ketika menyaksikan puteri mereka berlaga melawan pengeroyokan Hek-bin-gu dan dua belas orang anak buahnya. Akan tetapi sekarang mereka lebih waspada karena mereka dapat menduga bahwa tiga orang laki-laki setengah tua itu sama sekali tidak boleh disamakan dengan tiga belas orang anak buahnya.

Melihat betapa tiga orang calon lawannya itu tidak mencabut senjata, Sian Li tersenyum. Sekarang dia mendapat kesempatan untuk mencoba ilmunya yang khas untuk dirinya, yaitu Ang-ho Sin-kun. Tidak ada orang ke dua di dunia ini yang menguasai ilmu silat ini.

Ayahnya sendiri yang merangkai ilmu ini, dan hanya dia seorang yang mempelajarinya. Kepada tiga laki-laki ini ia tidak mempunyai rasa muak yang berlebihan seperti terhadap tiga belas orang anak buah mereka tadi, karena ketiga orang kakek ini selain bersikap halus, juga kelihatan bersih.

"Kalian mulailah, aku sudah siap siaga," berkata Sian Li.

Dia pun memasang kuda-kuda dengan kaki kiri ditekuk lututnya dan diangkat ke atas melekat kaki kanan yang berdiri tegak, kedua tangan di pinggang dengan siku ditarik ke belakang, kepalanya menghadap ke depan dengan leher dijulurkan. Inilah sikap seekor burung bangau yang sedang berdiri.

Nampaknya melenggut atau mengantuk, namun sedikit pun tidak bergerak seperti arca dan sepasang mata itu tak pernah melewatkan sesuatu. Dalam keadaan seperti itu, jika ada ikan lewat dan menyangka kakinya yang kanan itu hanyalah sepotong kayu, maka paruh itu akan meluncur ke dalam air dan tanpa dapat dihindarkan lagi ikan itu akan ditangkapnya!

Karena Sian Li adalah seorang gadis yang berwajah cantik serta jenaka, dan mulutnya tersenyum-senyum, sepasang matanya melirik ke arah tiga orang itu bagai mata bangau mengintai gerakan tiga ekor ikan, maka ia nampak lucu.

Tiat-liong Sam-heng-te sudah tahu bahwa gadis ini lihai sekali, maka mereka pun tidak memandang rendah pasangan kuda-kuda yang nampak lucu dan tidak mereka kenal itu. Mereka kemudian berpencar dan maju menghampiri Sian Li dari depan, kanan dan kiri.

Kemudian, setelah si kumis mengeluarkan bentakan nyaring sebagai tanda dimulainya serangan mereka, tubuh mereka bergerak cepat sekali dan mereka sudah melancarkan serangan serentak yang cukup dahsyat ke arah tubuh Sian Li dari tiga jurusan. Enam buah lengan meluncur dan enam buah tangan menyerang gadis itu dari depan, kanan, kiri, atas dan bawah!

Kini Sian Li memainkan ilmu silat Ang-ho Sin-kun sepenuhnya. Tubuhnya mengelak ke kanan dengan lompatan seperti lompatan burung bangau sehingga serangan orang di sebelah kiri dan depan luput, dan serangan orang yang berada di kanannya, ia sambut dengan tangkisan lengannya.

"Dukkk…! Dukkk…!"

Penyerang itu terkejut setengah mati karena begitu lengannya ditangkis oleh lengan Sian Li, dia merasa betapa lengannya tergetar hebat. Dari kedua lengan yang tertangkis itu timbul getaran yang membuat isi dadanya juga terguncang sehingga dia cepat-cepat melangkah mundur. Kiranya gadis ini memiliki tenaga sinkang yang amat hebat!

Dua orang pengeroyok lain yang tadi hanya memukul tangan kosong, telah berloncatan dan menyerang lagi dari kanan kiri. Sedangkan orang ke tiga juga menyerang dari arah belakang.

Sian Li bersikap tenang namun dengan gerakan yang gesit dan kuat, ia berkelebatan di antara tiga orang pengeroyoknya. Tubuhnya bagaikan bayangan saja, tak pernah dapat disentuh tiga orang pengeroyoknya yang mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk mengalahkan gadis berpakaian merah itu.

Warna pakaian gadis itu yang serba merah memudahkan mereka mengikuti ke mana tubuh gadis itu berkelebat, tetapi juga membuat tiga orang lawannya menjadi bingung. Akan tetapi setiap kali tangan gadis itu menangkis, mereka dapat merasa betapa lengan mereka tergetar sampai ke pundak.

Sekali ini Sian Li yang hendak menguji ilmunya yang baru saja dia kuasai dengan baik, tidak main-main lagi. Dengan gerakan yang indah dan lincah namun yang mengandung tenaga dahsyat, dia melayani penyerangan ketiga orang itu. Begitu dia mengubah daya tahan menjadi daya serang, maka berturut-turut ia merobohkan Tiat-liong Sam-heng-te dengan totokan, tamparan dan tendangan. Tidak sampai sepuluh jurus dia menyerang dan tiga orang pengeroyok itu sudah roboh.

Tiat-liong Sam-heng-te terkejut bukan main. Mereka memang sudah mengetahui bahwa Pendekar Bangau Putih merupakan seorang pendekar sakti, dan mereka sangat gentar menghadapinya. Akan tetapi baru sekarang mereka membuktikan sendiri bahwa puteri pendekar itu pun seorang yang amat tangguh.

"Kami mengaku kalah...," kata mereka sambil bangkit dan menyeringai kesakitan.

"Mulai sekarang, kalian dan anak buah kalian jangan pernah mengganggu pejalan yang lewat di sini. Untung kalian bertemu dengan kami, kalau bertemu dengan pendekar lain, mungkin kalian semua kini sudah tidak bernyawa lagi." kata Tan Sin Hong yang merasa girang dan puas melihat kemajuan puterinya.

Tiat-liong Sam-heng-te memberi hormat dan si kumis berkata, "Taihiap, kami tak pernah mengganggu pelancong atau pun pedagang, tak mau mengganggu rakyat. Kami hanya merampok pejabat Mancu yang lewat di sini."

"Tidak semua pejabat merupakan orang jahat yang patut diganggu," Sin Hong berkata. "Lagi pula, pekerjaan merampok merupakan kejahatan, tak peduli siapa pun yang kalian rampok. Lebih baik kalian kembali ke jalan benar dan bekerja mencari nafkah tanpa mengganggu orang lain."

"Akan tetapi, Taihiap... kami tidak rela melihat tanah air dan bangsa kita dijajah orang Mancu dan..."

"Tidak perlu berlagak patriot dan pejuang!" Sin Hong membentak. "Kalau kalian patriot dan pejuang, kalian tidak akan melakukan perampokan! Jangan menggunakan kedok pejuang untuk menyembunyikan kejahatan kalian. Pejuang sejati takkan pernah berbuat kejahatan!"

Tiga orang itu menundukkan muka, tidak berani bicara lagi.

"Sudahlah, perlu apa bicara dengan orang-orang seperti ini? Lebih baik kita melanjutkan perjalanan," kata Kao Hong Li kepada suaminya.

Mereka kembali naik ke dalam kereta. Kendaraan itu pun bergerak cepat meninggalkan belasan orang itu yang merasa lega karena biar pun mereka babak belur, namun tidak ada di antara mereka yang terbunuh. Dari mulut mereka lalu tersebar berita mengenai kehebatan Si Bangau Merah.....

********************

Dusun Hong-cun yang terletak di lembah Sungai Kuning, di luar kota Cin-an Propinsi Shantung adalah sebuah dusun yang tidak besar akan tetapi jauh lebih rapi dan bersih dibandingkan dusun-dusun lain. Penduduk dusun itu bekerja sebagai petani merangkap nelayan dan kehidupan mereka walau pun sederhana, namun cukup makmur. Sungai Kuning tidak pernah kekurangan ikan, dan lembah sungai itu memang memiliki tanah yang subur.

Pagi hari itu, suasana dusun Hong-cun berbeda dari biasanya. Suasananya meriah dan ini merupakan tanda bahwa di dusun itu ada sebuah keluarga yang tengah mengadakan pesta merayakan sesuatu. Di dusun yang penduduknya tidak terlalu padat, setiap kali ada sebuah keluarga mengadakan pesta merayakan sesuatu, maka suasana meriahnya meliputi seluruh dusun, seolah pesta itu merupakan pestanya orang sedusun. Apalagi yang sedang berpesta adalah keluarga Suma Ceng Liong!

Biar pun di dusun itu sudah ada kepala dusun dan stafnya, namun Suma Ceng Liong dianggap sebagai sesepuh dusun itu, walau pun dia tidak tinggal di situ semenjak kecil. Semua orang tahu belaka bahwa dia adalah seorang pendekar sakti yang tinggal di dusun sunyi itu menjauhi keramaian dan hidup tenteram bersama isterinya, Kam Bi Eng yang juga seorang pendekar wanita sakti.

Suami isteri pendekar ini sangat dihormati dan disayang oleh seluruh penduduk dusun Hong-cun, karena mereka ini suka menolong, baik dengan pengobatan atau membantu orang yang sedang dilanda kekurangan, meski mereka sendiri bukan orang kaya raya. Di samping itu, seluruh penduduk dusun maklum bahwa mereka dapat hidup tenang dan tenteram di dusun Hong-cun, tidak pernah ada penjahat mana pun berani datang mengganggu, hanya karena nama besar pendekar Suma Ceng Liong dan isterinya.

Siapa berani mengganggu pendekar ini yang merupakan keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari Istana Pulau Es? Suma Ceng Liong adalah cucu mendiang Suma Han si Pendekar Super Sakti. Ada pun isterinya juga bukan orang sembarangan pula. Kam Bi Eng adalah puteri pendekar sakti Kam Hong, ahli ilmu silat suling emas dan terkenal dengan Kim-siauw-kiam (Pedang Suling Emas).

Mereka hanya mempunyai anak tunggal, seorang perempuan bernama Suma Lian yang kini telah ikut suaminya dan tinggal di Ping-san, sebelah selatan Pao-teng. Suami Suma Lian bernama Gu Hong Beng, seorang ahli silat pula, murid Suma Ciang Bun.

Sekarang Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tinggal berdua saja di dusun Hong-cun. Tadinya mereka oleh ditemani seorang murid bernama Liem Sian Lun yang seolah-olah menjadi anak angkat mereka pula. Akan tetapi sayang, murid mereka itu sudah tewas dalam pertempuran pada saat Liem Sian Lun bersama Tan Sian Li sebagai suheng dan sumoi, melakukan perjalanan ke Bhutan lalu terlibat dalam pertempuran antara para pemberontak Tibet dengan pasukan Tibet.

Mereka yang tadinya hidup berdua dan merasa kesepian setelah puteri mereka menikah dan pergi mengikuti suaminya, lalu muncullah Liem Sian Lun yang kemudian menjadi tumpuan kasih sayang, dan tiba-tiba saja, pemuda itu tewas dalam pertempuran di luar pengetahuan mereka.

Di sini nampak benar kekuasaan Tuhan yang mutlak atas kehidupan manusia. Betapa pun pandai seseorang, kalau memang Tuhan tidak menghendaki, orang itu tak mampu melaksanakan sesuatu sesuai kehendaknya. Manusia berwenang mengatur, tetapi yang berwenang menentukan hanyalah kekuasaan Tuhan! Manusia hanya wajib berikhtiar, berusaha untuk berbuat sebaiknya dalam segala hal.

Kematian Liem Sian Lun yang mendatangkan duka di hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng merupakan keputusan Tuhan.

Kelahiran serta kematian sepenuhnya berada dalam kuasa Tuhan, merupakan rahasia Tuhan, merupakan hasil ciptaan Tuhan. Sepandai-pandainya manusia, hanya mampu menelusuri dan mempelajari proses terjadinya penciptaan itu, membantu melancarkan proses itu saja.

Kita harus menyadari bahwa kita ini adalah hasil ciptaan Tuhan, bahwa kita berada di dunia ini adalah karena kehendak Tuhan, bukan karena kehendak kita. Dan Tuhan telah menyertakan pada kita segala macam perlengkapan yang serba sempurna, dari tubuh yang lengkap sampai hati dan akal pikiran. Tentu supaya kita menjadi hasil ciptaan yang baik, yang berguna bagi kelancaran pekerjaan Tuhan.

Tuhan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi setiap orang umat-Nya. Baik sesuatu itu dianggap menyenangkan atau pun menyusahkan bagi hati yang sudah bergelimang nafsu yang selalu ingin senang, tapi kita boleh yakin bahwa segala hal yang menimpa diri kita dalam kehidupan ini sudah dikehendaki Tuhan dan merupakan yang terbaik bagi kita. Entah hal itu berupa hukuman atau pun anugerah sebagai pemetikan hasil dari pohon yang kita tanam sendiri melalui perbuatan yang lalu, mau pun berupa ujian dan cobaan.

Demikian besar kemurahan Tuhan kepada kita sehingga kita berwenang untuk memilih, untuk menentukan sendiri langkah hidup kita, kemudian bertanggung jawab atas semua langkah-langkah itu

.

Pada pagi hari ini keluarga Suma Ceng Liong yang kini hanya tinggal berdua di dalam rumah besar di dusun Hong-cun itu akan mengadakan pesta perayaan ulang tahun ke enam puluh dari Suma Ceng Liong. Pesta sekali ini merupakan pesta yang diadakan khusus untuk ‘mengumpulkan tulang-tulang yang berserakan’, istilah yang dipakai Suma Ceng Liong untuk mengartikan bahwa pesta itu diadakan untuk mengumpulkan para anggota keluarga yang terpisah di mana-mana seperti tulang-tulang berserakan.

Suami isteri itu memang mempunyai rangkaian anggota keluarga yang besar, terdiri dari keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir serta keluarga Lembah Naga Siluman! Tiga buah keluarga pendekar yang amat terkenal di dunia persilatan. Bukan hanya keluarga hubungan darah, akan tetapi juga saudara seperguruan.

Tentu saja yang lebih dahulu datang adalah puteri mereka sendiri, yaitu Suma Lian dan suaminya, Gu Hong Beng. Suma Lian sudah berusia empat puluh tahun dan suaminya berusia empat puluh lima tahun, akan tetapi mereka tidak dikaruniai seorang pun anak. Kenyataan ini pun menjadi bukti kekuasaan Tuhan.

Suami isteri ini adalah pendekar-pendekar yang sehat, bahkan dapat dikatakan sehat lahir batin, dan pandai. Tetapi, betapa pun mereka berikhtiar, dengan minum bermacam obat, karena agaknya Tuhan tak menghendaki, maka ikhtiar mereka gagal. Setelah dua puluh tahun mereka menikah dan belum juga memperoleh anak, keduanya tidak lagi mengharapkan dan menerima kenyataan karena agaknya takdir Tuhan menghendaki bahwa mereka tidak mendapatkan keturunan.

Lalu berturut-turut datanglah para tamu yang merupakan anggota tiga keluarga besar. Pertama urutan tamu dari keluarga Pulau Es adalah kakek Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui. Pendekar tua ini sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun dan isterinya enam puluh tujuh tahun, kemudian Suma Ciang Bun yang berusia enam puluh lima tahun bersama isterinya, Gangga Dewi yang berusia enam puluh satu tahun tiba dari Bhutan.

Nyonya Gak yang bernama Souw Hui Lan, isteri mendiang saudara kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, juga merupakan anggota keluarga Pulau Es. Nyonya yang berusia lima puluh tujuh tahun ini datang bersama puteranya, Gak Ciang Hun yang berusia dua puluh sembilan tahun.

Kemudian Tan Sin Hong bersama isterinya, Kao Hong Li, dan puteri mereka, Tan Sian Li, datang dan gadis ini mendapat sambutan hangat dari kakek Suma Ceng Liong dan nenek Kam Bi Eng, karena gadis ini merupakan cucu keponakan akan tetapi juga murid mereka selama lima tahun.

Dari fihak keluarga Istana Gurun Pasir diwakili oleh kakek Kao Cin Liong, kemudian Can Bi Lan yang kini datang bersama suaminya, Sim Houw. Keluarga Gurun Pasir memang hanya tinggal Kao Cin Liong dan sumoi-nya, yaitu Can Bi Lan yang dulu menjadi murid ayahnya.

Can Bi Lan sekarang berusia empat puluh lima tahun dan suaminya, Sim Houw, sudah berusia enam puluh tahun. Tidak ada lagi anggota keluarga Gurun Pasir, bahkan yang masih ada pun telah menikah dengan anggota keluarga yang lain seperti Kao Cin Liong menikah dengan Suma Hui anggota keluarga Pulau Es. Can Bi Lan menikah dengan Sim Houw anggota keluarga Lembah Naga Siluman.

Anggota keluarga Lembah Naga Siluman yang hadir tentu saja diwakili nyonya rumah, Kam Bi Eng, karena ibunya, yaitu nenek Bu Ci Sian isteri mendiang Kam Hong tidak hadir. Nenek itu sama sekali tidak mau meninggalkan makam suaminya dan bertekad untuk menunggui makam itu sampai hayat meninggalkan badan.

Kemudian muncul pula Cu Kun Tek dan isterinya, Pouw Li Sian. Suami isteri ini sudah berusia empat puluh lima tahun dan tiga puluh sembilan tahun. Mereka datang bersama puteri mereka yang bernama Cu Kim Giok, seorang gadis manis berusia delapan belas tahun. Tentu saja, sebagai puteri dari ayah dan ibu pendekar, Cu Kim Giok ini menjadi seorang gadis pendekar yang lihai.

Ada lagi belasan orang yang pernah menerima bimbingan para tokoh itu sehingga dapat dianggap sebagai murid. Mereka datang pula menghadiri pesta perayaan ulang tahun yang khusus diadakan untuk keluarga itu.

Suasana amat meriah pagi hari itu dan sungguh ini merupakan suatu pertemuan yang menggembirakan, dan juga luar biasa. Begitu banyak pendekar-pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan hebat. Masing-masing dari mereka pernah menggemparkan dunia persilatan dengan kepandaian mereka, dan masing-masing memiliki ilmu andalan sendiri yang dahsyat.

Satu demi satu, para anggota keluarga itu memberi selamat kepada Suma Ceng Liong yang merayakan hari ulang tahunnya. Banyak pula yang memberi hadiah tanda mata yang aneh dan berharga.

Ketika sedikitnya dua puluh orang penduduk dusun yang mewakili seluruh penduduk datang pula menghadiri, tentu saja Suma Ceng Liong lalu menyambut mereka dengan gembira. Mereka datang mewakili para penduduk, tentu saja tidak enak kalau harus ditolak, walau pun pesta itu diadakan khusus untuk mengumpulkan anggota keluarga. Mereka mendapatkan tempat sekelompok di samping.

Sedangkan para anggota keluarga itu segera terlibat dalam percakapan hangat karena pertemuan itu merupakan pula pertemuan istimewa, setelah bertahun-tahun mereka yang tadinya akrab saling berpisah. Suasana menjadi gembira dan hiruk-pikuk seperti pasar karena mereka saling bercakap-cakap satu kepada yang lainnya dengan suara gembira, apalagi para wanitanya.

Ketika Suma Lian bertemu dengan Pouw Li Sian, mereka saling rangkul bahkan sampai menangis saking terharu dan gembira hati mereka. Kedua orang wanita ini ketika kecil pernah menjadi saudara seperguruan, dibimbing oleh mendiang Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, ayah dari mendiang dua orang saudara kembar Gak. Semenjak kedua orang wanita ini menikah, sembilan belas tahun yang lalu, mereka tidak pernah saling berjumpa.

"Li Sian...!"

"Suci (Kakak Seperguruan) Lian!" dan keduanya lalu bertangisan.

Ketika Suma Lian diperkenalkan kepada puteri sumoi-nya yang bernama Cu Kim Giok, ia merangkul gadis itu dan mencium kedua pipinya.

"Aihhh, aku sudah mempunyai keponakan sebesar dan secantik ini!" katanya dengan wajah berseri gembira.

Kalau saja pertemuan ini terjadi beberapa tahun yang lampau, tentu Suma Lian akan menangis karena sedih melihat sumoi-nya sudah memiliki anak sebesar itu sedangkan ia sendiri tidak mempunyai anak. Akan tetapi sekarang ia dan suaminya sudah dapat menerima kenyataan dan keadaan sebagai kehendak Tuhan dan pertemuan ini tidak membangkitkan rasa kecewa, iri atau sedih, melainkan mendatangkan keharuan dan kegembiraan. Sebaliknya, Li Sian yang tahu bahwa suci-nya tak mempunyai anak, juga bersikap bijaksana dan tidak mau bicara tentang anak.

Pertemuan itu mendatangkan banyak kenangan lama bagi semua anggota keluarga dan terdengar teriakan-teriakan gembira. Banyak di antara mereka yang mendapat kejutan saat mendengar mereka saling menceritakan keadaan dan pengalaman masing-masing selama mereka saling berpisah. Sungguh merupakan pesta yang meriah dan penuh kegembiraan, suatu pertemuan besar yang amat berhasil.

Sian Li juga bergembira dapat bertemu dan berkenalan dengan para anggota keluarga yang selama ini hanya ia dengar nama besarnya saja dari ayah ibunya. Akan tetapi ada satu hal yang membuat ia merasa amat kecewa di dalam hatinya, yaitu bahwa Yo Han tidak nampak di situ.

Akan tetapi dia adalah seorang gadis yang amat cerdik. Diam-diam dia mendekati Sim Houw dan Can Bi Lan yang sedang bercakap-cakap dengan tuan dan nyonya rumah, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.

Antara Pendekar Suling Naga Sim Houw dengan Kam Bi Eng terdapat hubungan yang dekat. Sim Houw adalah murid mendiang Kam Hong, ayah Kam Bi Eng. Maka, Kam Bi Eng masih terhitung sumoi (adik seperguruan) dari Sim Houw. Ketika empat orang itu melihat Sian Li menghampiri, mereka lalu menyambut dan mempersilakan gadis yang lincah jenaka dan peramah ini duduk bersama mereka.

"Paman Sim Houw, bagaimana kabarnya dengan puterimu? Apakah Paman dan Bibi sudah menemukan jejak enci Sim Hui Eng yang lenyap sejak masih kanak-kanak itu?" Pertanyaan ini diajukan dengan sikap sungguh-sungguh dan penuh perhatian.

Mendengar pertanyaan Sian Li, Sim Houw dan Can Bi Lan saling pandang dengan alis berkerut dan Sim Houw menghela napas panjang.

"Sian Li, terima kasih atas perhatianmu. Tetapi kami berdua sudah tidak mengharapkan lagi akan dapat menemukan anak kami."

"Aihhh! Paman dan Bibi sama sekali tidak boleh putus harapan!" Sian Li mencela.

Can Bi Lan berkata, "Kami tidak putus harapan, Sian Li. Akan tetapi ingatlah, anak kami itu sudah hilang selama dua puluh tahun! Andai kata kami dapat bertemu dengannya sekali pun, kami tidak akan dapat mengenalinya lagi. Kami tidak menyesal karena agaknya Thian (Tuhan) telah menghendaki demikian. Yang kami sesalkan hanya bahwa kami tidak dapat yakin apakah ia masih hidup ataukah sudah mati. Kami hanya dapat mendoakan agar kalau ia masih hidup, ia akan hidup berbahagia, dan kalau ia sudah mati, semoga mendapat tempat yang layak."

Meski ucapan ini dikeluarkan tidak dengan suara sedih, tapi Sian Li dapat menangkap kedukaan yang amat mendalam, yang membuatnya terharu dan tidak mampu berkata-kata lagi. Tadinya ia bermaksud mendekati mereka dan memancing perihal lenyapnya Sim Hui Eng untuk mencari keterangan tentang Yo Han. Tidak tahunya pertanyaannya itu telah membuka kembali luka di hati ayah dan ibu itu!

Suma Ceng Liong segera berkata. "Aihhh, kita manusia memang merupakan makhluk-makhluk yang lemah dan tak berdaya. Dalam keadaan seperti ini, setelah segala ikhtiar kita gagal, satu-satunya hal yang dapat kita lakukan hanyalah berdoa dan menyerahkan kepada kekuasaan Tuhan! Tidak ada hal yang mustahil bagi kekuasaan Tuhan. Segala apa pun dapat saja terjadi kalau Tuhan menghendaki. Oleh karena itu, sikap putus harapan secara tidak langsung merupakan sikap yang kurang yakin akan kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki, bukan tidak mungkin suatu saat kalian akan dapat bertemu kembali dengan puteri kalian."

"Sim-suheng, apa yang dikatakan suamiku memang benar sekali. Justeru karena kalian belum melihat bukti dan kenyataan bahwa puteri kalian telah meninggal dunia, hal itu berarti bahwa mungkin sekali ia masih hidup. Dan kalau ia masih hidup, bukan mustahil sekali waktu kita akan dapat bertemu dengannya," kata Kam Bi Eng.

"Nah, benar bukan apa yang kukatakan tadi, Paman dan Bibi!" seru Sian Li, mendapat ‘angin’ dan juga mendapat kesempatan untuk menyampaikan niat hatinya, yaitu bicara tentang Yo Han. "Tidak perlu putus harapan, apalagi sekarang ada Sin-ciang Taihiap (Pendekar Tangan Sakti) yang berusaha mencari puteri kalian itu!"

"Sin-ciang Taihiap?" Mereka berempat berseru heran.

"Aih, Paman dan Bibi, juga Kakek dan Nenek sudah lupa akan Si Tangan Sakti Yo Han? Percayalah, sekali Han-koko turun tangan, aku yakin enci Hui Eng pasti akan dapat ditemukan!" Sian Li berkata dengan bangga.

Kini teringatlah mereka semua.

"Aihhh, Sian Li! Bagaimana engkau dapat begitu yakin bahwa Yo Han akan mampu menemukan puteri mereka yang sudah hilang dua puluh tahun itu?" Suma Ceng Liong mencela, menganggap gadis itu terlalu yakin akan hal yang amat sulit dilaksanakan itu. Kalau tidak ada kemurahan Tuhan, tidak ada mukjijat Tuhan, bagaimana mungkin dapat menemukannya kembali?

"Ahhh, Kakek tidak percaya? Menurut ayah dan ibu, Han-koko memang mempunyai sesuatu yang mukjijat, semacam indera ke enam. Ketika aku masih kecil dan aku diculik oleh Ang-I Moli, ayah dan ibu sendiri tidak berhasil mencarinya. Akan tetapi Han-koko yang baru berusia belasan tahun tahu-tahu muncul di depan penculik itu dan minta agar aku dikembalikan kepada ayah ibu dan dia sendiri menyerahkan diri menjadi gantinya."

"Hemmm, pernah aku mendengar ayah ibumu bercerita tentang itu, akan tetapi tadinya kusangka bahwa hal itu hanya kebetulan saja," kata Suma Ceng Liong.

"Bukan kebetulan," bantah Sian Li. "Memang Han-koko memiliki kelebihan dari orang lain. Dia memang aneh sekali. Di waktu kecilnya, dia sama sekali tak mau berlatih silat, membuat ayah dan ibu sampai marah dan kecewa. Selama menjadi murid ayah dan ibu, dia hanya mempelajari teorinya saja, akan tetapi tidak suka berlatih silat. Bahkan dia membenci ilmu silat. Katanya dahulu, dia menganggap ilmu silat sebagai suatu bentuk kekerasan yang membuat orang menjadi jahat, suka bermusuhan dan suka membunuh. Ketika kecil dia tidak mau belajar silat, tapi setelah dewasa, tahu-tahu dia telah menjadi Sin-ciang Taihiap. Apakah itu tidak aneh? Tetapi, mengapa dia tidak datang sekarang? Apakah dia tidak dikirimi undangan?"

Suma Ceng Liong tertawa. "Kami tidak melupakan dia karena dia adalah murid orang tuamu. Akan tetapi tiada seorang pun mengetahui di mana dia sekarang. Bagaimana kami dapat mengirim undangan?"

"Betul juga...," kata Sian Li. "Akan tetapi dia dahulu sudah tahu akan perayaan ini. Kenapa dia tidak muncul dan di mana dia sekarang?" pertanyaan ini ditujukan kepada diri sendiri karena tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya.

Pada saat itu, semua orang yang duduknya agak di depan, menengok ke luar sehingga menarik perhatian mereka yang berada di sebelah dalam. Tak lama kemudian, semua orang, termasuk Suma Ceng Liong dan isterinya, juga Sian Li, ikut pula memandang ke luar.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Tangan Sakti