SI TANGAN SAKTI : JILID-05
Setelah tiba di seberang, dengan sekali ayun tali itu terlepas dari kaitannya di seberang situ dan gadis berpakaian kuning itu menggulung kembali talinya. Tiga orang itu melihat bahwa gadis berpakaian serba kuning ini pun masih muda dan cantik sehingga si muka hitam dan si gendut menjadi makin gembira. Jika Pao-beng-pai memiliki prajurit seperti ini semua, tanpa ditanya lagi mereka siap untuk menjadi sahabat!
"Nona, bila tak ada orang yang mengaitkan tali di seberang sana, lalu bagaimana kalian dapat menyeberang?" tanya si tinggi kurus.
Sekarang si pakaian kuning tersenyum dan nampak sekilas giginya yang putih dan rapi. "Tentu saja kami mempunyai suatu cara, akan tetapi hal itu merupakan rahasia kami," ia saling pandang dengan yang pakaian putih, lalu keduanya tersenyum geli.
"Marilah, Tiat-liong Sam-heng-te, silakan mengikuti kami menghadap pemimpin kami," kata si baju putih.
Mereka melanjutkan perjalanan. Si baju putih berjalan di depan, diikuti tiga orang tamu itu, dan si baju kuning berjalan paling belakang. Tak lama kemudian, nampaklah gedung besar yang tadi kelihatan oleh si tinggi kurus dari puncak pohon.
Ketiga orang itu tercengang. Dari atas pohon tadi, mereka sudah melihat bahwa sarang Pao-beng-pai merupakan gedung besar yang megah. Akan tetapi setelah dekat, baru mereka melihat dengan jelas. Pekarangan depan yang luas, dan di luar pagar nampak hamparan rumput yang luas dan terawat baik. Taman bunga yang indah, pohon-pohon yang terawat dan gedung yang bersih dan seperti istana!
Kalau tadi dari atas pohon mereka tidak melihat seorang pun di situ, begitu kini mereka muncul, bagaikan semut saja nampak pasukan-pasukan kecil yang berbaris rapi. Ada yang terdiri dari pria yang bertubuh kokoh, berpakaian seragam abu-abu, ada pula yang seragamnya hitam, ada yang biru. Namun, para prajurit itu bertubuh kokoh kuat dan dari langkah mereka, jelas nampak bahwa mereka itu sangat berdisiplin.
Saat Tiat-liong Sam-hengte memasuki pekarangan, bermunculan penjaga-penjaga yang berpakaian abu-abu. Mereka berkelompok mulai di pintu gerbang, di pekarangan dan di pendopo bagian luar gedung itu. Mereka berdiri dengan sikap tegak laksana arca, dan ketika tiga orang tamu itu lewat, mereka memberi hormat kepada gadis berpakaian putih seperti prajurit memberi hormat kepada seorang yang lebih tinggi pangkatnya.
Tiga orang itu pun dapat menduga bahwa gadis baju putih yang menjemput mereka itu bukan seorang prajurit rendahan, melainkan seorang perwira pula.
Setelah tiba di pendapa, gadis baju putih berkata, "Pertemuan belum dimulai dan para tamu yang sudah datang dipersilakan untuk berada di ruangan tamu yang berada di bangunan darurat sebelah kiri. Mari, kita persilakan Sam-wi untuk menanti pula di sana seperti para tamu yang lain."
Tiat-liong Sam-hengte hanya mengangguk. Begitu memasuki gedung seperti istana itu, mereka telah kehilangan wibawa. Gedung itu memang megah, dengan perabot-perabot yang pantasnya berada di istana kaisar atau pangeran. Juga adanya pasukan penjaga yang demikian tertib dan penuh wibawa, membuat mereka diam-diam merasa jeri dan maklum bahwa mereka memasuki sarang sebuah perkumpulan yang besar dan kuat.
Kiranya, dalam sebuah ruangan yang amat luas, yang agaknya sengaja dibangun untuk keperluan itu, sekarang sudah berkumpul banyak sekali tamu. Dengan girang Tiat-liong Sam-hengte dapat mengenali beberapa orang segolongan, yaitu orang-orang kang-ouw yang terhitung sebagai golongan hitam atau golongan sesat.
Mereka melihat adanya orang Pek-lian-kauw, orang-orang Pat-kwa-pai, dan tokoh-tokoh sesat yang terkenal. Tentu saja mereka merasa seperti ikan yang dilepas di air, merasa cocok dan senang. Apa lagi di ruangan itu, para tamu yang dipersilakan menanti tibanya saat pertemuan, mendapat hidangan arak dan kue serba melimpah.
Setelah gadis baju putih mempersilakan mereka masuk, tiga orang Naga Besi ini segera bertemu dan bercakap-cakap dengan akrab bersama orang-orang yang sudah mereka kenal. Dan di ruangan ini, mereka baru mendapatkan keterangan dari para tamu siapa orang-orang yang berdiri di belakang Pao-beng-pai ini.
Pao-beng-pai yang kini berdiri lagi dengan kokoh kuatnya ini adalah perkumpulan yang tadinya telah mati akibat dihancurkan pasukan pemerintah, seperti banyak perkumpulan lain yang memberontak terhadap Kerajaan Ceng (Mancu).
Telah muncul seorang yang gagah perkasa. Dialah yang mengumpulkan kembali bekas para anak buah Pao-beng-pai, menggunakan uang untuk menghimpun tenaga-tenaga baru sehingga Pao-beng-pai bangkit kembali dan kini bahkan menjadi perkumpulan yang lebih besar dan lebih kuat dari pada dulu.
Tokoh itu bernama Siangkoan Kok, seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah seperti tokoh Kwan In Tiang dalam dongeng Sam Kok. Dia mengaku sebagai keturunan keluarga kaisar Kerajaan Beng yang telah jatuh oleh orang-orang Mancu. Tentu saja tidak ada bukti-bukti bahwa dia keturunan kerajaan yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu, tetapi karena dia kaya raya dan berilmu tinggi, maka orang-orang yang ditarik menjadi anggota Pao-beng-pai percaya saja.
Di samping harta kekayaan yang amat banyak, yang tidak seorang pun mengetahui dari mana datangnya, namun menurut Siangkoan Kok harta benda itu adalah peninggalan keluarga Kaisar Beng, tokoh ini pun memiliki kepandaian silat yang hebat. Telah banyak jagoan yang tadinya menentangnya, sebab tidak percaya akan kepemimpinannya, jatuh di tangannya dan banyak yang menakluk lalu menjadi pembantunya dengan imbalan yang cukup besar sehingga kedudukannya semakin kuat dan Pao-beng-pai semakin terpandang karena di situ berkumpul banyak tokoh yang berilmu tinggi.
Siangkoan Kok memiliki seorang isteri yang selain cantik juga lihai bukan main. Isterinya itu bernama Lauw Cu Si dan kini berusia empat puluh lima tahun. Ia pun terkenal karena mengaku sebagai keturunan keluarga pimpinan Beng-kauw, sebuah perkumpulan para tokoh-tokoh sesat yang pernah menjagoi dunia kang-ouw. Kalau Siangkoan Kok disebut ‘pangcu’ (ketua), maka isterinya, Lauw Cu Si ini memerintahkan semua anak buahnya agar menyebutnya ‘toanio’ (nyonya besar).
Masih ada lagi seorang tokoh di dalam keluarga pimpinan Pao-beng-pai, yaitu seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun yang cantik jelita, akan tetapi tidak kalah lihainya dibandingkan ayah ibunya, yaitu ketua Pao-beng-pai dan isterinya itu. Namanya adalah Siangkoan Eng.
Ayah ibunya menyebutnya Eng Eng, tetapi semua anak buah Pao-beng-pai diharuskan menyebutnya Siocia (Nona) saja tanpa sebutan lain. Gadis yang cantik, anggun tetapi dingin inilah yang pernah dengan berani mendatangi pesta tiga keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong dan menantang untuk mengadu ilmu silat.
Lima tahun yang lalu, keluarga ini menguasai atau lebih tepat lagi membangun kembali Pao-beng-pai. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, ayah, ibu dan anak yang ketika itu baru berusia delapan belas tahun, berhasil membangkitkan Pao-beng-pai menjadi sebuah perkumpulan yang kuat.
Anak buah mereka tidak kurang dari seratus orang, akan tetapi rata-rata anak buah ini memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh karena selain para anggota itu dipilih, juga mereka dilatih ilmu silat selama lima tahun ini. Lebih dari separuh jumlah itu adalah anggota pria yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok seragam abu-abu dan kelompok berseragam hitam-hitam yang tingkatnya lebih tinggi dari pada yang abu-abu.
Ada pun sisanya, empat puluh orang, terdiri dari gadis-gadis yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, rata-rata cantik dan mereka digembleng secara khusus sehingga merupakan pasukan yang lihai, lebih lihai dibandingkan para anggota pria. Para anggota wanita ini memiliki dua tingkat pula. Yang pertama adalah mereka yang berpakaian putih-putih, di antara mereka hanya terdapat empat orang sebagai pimpinan, selebihnya dibagi menjadi pasukan yang berseragam hitam, kuning, dan biru.
Para anggota yang seratus orang lebih jumlahnya itu masih muda-muda dan tidak ada yang lebih dari tiga puluh tahun usianya. Mereka itu tertib dan berdisiplin sekali, karena Pao-beng-pai mempunyai peraturan yang amat keras. Mereka itu mendapat upah yang besar, hidup serba kecukupan, tetapi mereka harus taat akan semua peraturan dengan ancaman hukuman berat kalau mereka melanggar.
Di antara peraturan itu terdapat suatu ketentuan bahwa selama mereka masih menjadi anggota Pao-beng-pai, mereka tidak diperbolehkan menikah! Juga bagi para anggota wanitanya, selain tidak boleh menikah, tidak boleh pula melahirkan anak.
Bisa dibayangkan apa akibatnya dengan adanya peraturan ini. Para anggota itu adalah orang-orang yang sudah dewasa, maka peraturan ini tentu saja sangat menyiksa. Tetapi karena mereka merasa sayang kehilangan kemewahan yang mereka nikmati sebagai anggota Pao-beng-pai, juga karena mereka takut akan ancaman hukuman, mereka pun tidak ada yang berani melanggarnya.
Akan tetapi, larangan itu hanyalah larangan menikah bagi semua anggota, dan larangan melahirkan bagi anggota wanita. Akibatnya, untuk penyaluran kebutuhan birahi mereka, terjadilah hubungan gelap yang tidak wajar, bahkan kadang-kadang amat jahat.
Karena mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi bagi orang awam, maka banyak di antara para anggota pria mempunyai kekasih di luar, bahkan ada pula yang melakukan perkosaan terhadap para wanita di dusun-dusun yang berada di luar daerah Ban-kwi-kok, yaitu yang berada di lereng dan kaki Gunung Setan.
Juga para anggota wanita yang tidak lagi dapat menahan gejolak nafsu mereka, diam-diam menjalin hubungan gelap dengan sesama anggota pria, atau mempunyai kekasih gelap yang mereka pilih dari para penduduk dusun. Tentu saja para wanita ini berusaha agar jangan sampai hamil sebagai hubungan gelap itu.
Mereka adalah orang-orang dari golongan sesat, maka perbuatan semacam itu mereka anggap wajar saja. Maka tersohorlah nama Pao-beng-pai sebagai perkumpulan yang amat ditakuti oleh penduduk di pegunungan itu.
Siangkoan Kok dan anak isterinya tentu saja tahu akan perbuatan anak buah mereka, namun mereka bersikap tidak peduli. Selama para anggota tidak melanggar peraturan dan larangan, cukuplah sudah.
Selain itu, Siangkoan Kok yang meski pun kaya raya namun harus mengeluarkan biaya cukup besar untuk perkumpulannya, segera mengambil tindakan untuk mendatangkan dana. Caranya adalah menundukkan dan menalukkan semua gerombolan penjahat di kota-kota dan dusun-dusun sekitar Kui-san, lalu memaksa mereka mengakui kekuasaan Pao-beng-pai. Siapa pun yang membangkang dihancurkan, dan yang takluk diharuskan membayar semacam ‘upeti’ setiap bulan. Bahkan Pao-beng-pai juga menguasai banyak tempat perjudian dan pelacuran di berbagai kota, sehingga dari semua penghasilan itu keuangan Pao-beng-pai menjadi kuat.
Semua sepak terjang Pao-beng-pai selalu digembar-gemborkan sebagai suatu usaha untuk perjuangan, yaitu menghancurkan pemerintah penjajah Mancu dan membangun kembali Kerajaan Beng yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu!
Mungkin orang lain akan menganggap bahwa cita-cita Siangkoan Kok terlalu tinggi, bahkan mimpinya terlalu muluk. Tetapi, Siangkoan Kok berusaha sungguh-sungguh dan kini dia mulai hendak mendekati semua golongan untuk diajak bekerja sama. Kalau dia berhasil, maka usahanya itu akan menjadi bahaya yang cukup besar bagi pemerintah Mancu.
Dia mengirim undangan ke seluruh penjuru, mengundang semua pihak yang merasa tak rela tanah air dan bangsa ini dijajah orang Mancu, untuk berkunjung ke Ban-kwi-kok di Gunung Setan dan mengadakan pertemuan besar.
Dan pada hari itu, banyak sekali tamu berdatangan, mengunjungi sarang Pao-beng-pai. Seperti juga halnya Tiat-liong Sam-hengte, para pengunjung itu tercengang dan kagum. Setelah tiba di perbatasan wilayah Pao-beng-pai, mereka disambut oleh seorang murid Pao-beng-pai dan diantar sampai ke gedung yang megah bagai istana itu. Di sepanjang perjalanan ini saja mereka bisa melihat kenyataan betapa tempat itu merupakan sebuah tempat pertahanan yang sukar diserang musuh, berbahaya dan penuh jebakan alam.
Tidak kurang dari seratus orang wakil dari pelbagai golongan datang sebagai tamu pada hari itu. Bukan hanya dari perkumpulan-perkumpulan yang terkenal sebagai golongan yang anti pemerintah Mancu seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, akan tetapi juga dari gerombolan orang-orang sesat, bahkan ada pula golongan pendekar yang datang berkunjung.
Mereka ini pada umumnya merasa tertarik dan ingin mengenal Pao-beng-pai lebih dekat karena mereka merasa heran mendengar bahwa perkumpulan yang sudah mati itu kini bangkit kembali. Jika golongan para pendekar ini datang untuk mencari tahu, sebaliknya mereka yang datang dari golongan sesat tentu saja datang untuk melihat apakah di situ terdapat harapan bagi mereka untuk memperoleh keuntungan besar. Tanpa keuntungan bagi mereka, golongan sesat ini tentu saja tidak sudi melelahkan diri.
Karena undangan itu tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu, melainkan undangan untuk umum, yaitu para tokoh dunia persilatan, maka bermacam orang yang datang berkunjung. Asalkan dia merasa bahwa dirinya termasuk golongan dunia persilatan, ikut pula datang, walau pun tingkat ilmu silat mereka itu masih jauh dari pada pantas untuk menghadiri pertemuan seperti itu.
Siangkoan Kok memang pandai mengambil hati orang. Sebelum pertemuan dimulai, sebelum dia keluar menemui para tamu, mereka itu sudah disuguhi arak dan anggur yang baik, makanan yang lezat. Setelah menjelang tengah hari, dihidangkanlah makan siang yang amat royal.
Berpestalah para tamu itu, melebihi pesta pernikahan atau pesta lain. Daging segala macam binatang berlimpah ruah, guci arak tak pernah kosong, dan masakan-masakan termahal dihidangkan. Banyak di antara para tamu yang tercengang dan terheran-heran melihat masakan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Setelah selesai makan siang, barulah Siangkoan Kok bersama isterinya dan puterinya muncul! Memang aneh, akan tetapi cara seperti ini sangat menyenangkan para tamu. Tadi tanpa merasa sungkan mereka dijamu hidangan secara royal, karena pihak tuan rumah hanya mewakilkan kepada para gadis cantik yang menjadi anggota Pao-beng-pai.
Para gadis cantik itu melayani para tamu sambil tersenyum manis dan bersikap ramah. Bahkan mereka tidak menjadi marah kalau di antara para tamu ada yang mencoba menggoda mereka dengan ucapan yang kadang membikin merah wajah para pendekar yang juga hadir di situ. Hal ini saja sudah menunjukkan betapa taatnya para anggota Pao-beng-pai.
Biasanya, para anggota wanita itu merupakan orang-orang yang galak. Bukan mustahil mereka ini membunuh seorang pria yang berani menggoda mereka, kalau mereka tidak menyukai pria itu. Akan tetapi, dalam melayani para tamu itu, mereka tak pernah marah, bahkan tidak berani marah karena mereka sudah dipesan oleh ketua mereka supaya melayani para tamu baik-baik dan manis, dan dilarang untuk bersikap keras terhadap mereka.
Dalam suasana gembira dan sesudah puas makan minum sampai kenyang, para tamu menyambut munculnya Siangkoan Kok dengan tepuk tangan. Ketua Pao-beng-pai itu muncul sambil tersenyum, namun sikapnya yang gagah berwibawa membuat semua orang memandang kagum dan segan. Orang tinggi besar dan gagah ini memang tidak terkenal di dunia persilatan, namun namanya secara tiba-tiba menjulang tinggi ketika dia membangun kembali Pao-beng-pai dan kabar angin menyiarkan betapa ketua ini dan anak isterinya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebat!
Siangkoan Kok memang gagah. Tubuhnya yang tinggi besar itu kokoh kuat seperti batu karang. Wajahnya yang tampan gagah itu berwibawa dan keningratan, langkahnya pun mantap dan gagah seperti seekor singa.
Sebatang pedang tergantung di pinggang serta pakaiannya rapi dan terbuat dari sutera mahal, meski tidak berkesan mentereng. Rambutnya tidak dikuncir, melainkan digelung kemudian diikat ke atas. Ini saja merupakan tanda bahwa dia tidak mentaati peraturan pemerintah Mancu bahwa semua pria harus menguncir rambutnya! Usianya sekitar lima puluh lima tahun.
Di samping kirinya melangkah seorang wanita yang umurnya empat puluh lima tahun, akan tetapi masih nampak cantik dan tubuhnya masih padat dengan pinggang ramping. Sepasang mata wanita ini jeli dan bersinar tajam, mulutnya selalu dihias senyum yang membayangkan kebanggaan, seperti senyum seorang puteri kerajaan yang menyadari akan kekuasaannya, kemuliaannya dan kecantikannya.
Dia adalah Lauw Cu Si, isteri ketua Pao-beng-pai yang selalu disebut Toanio oleh para anggotanya. Semua mata memandang kagum karena wanita ini memang pantas untuk menjadi seorang wanita bangsawan tinggi.
Akan tetapi yang paling menarik perhatian semua tamu adalah gadis yang melangkah perlahan di belakang suami isteri itu. Gadis ini memang merupakan tontonan yang amat menarik hati. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun, pakaiannya lebih mewah dari pada pakaian ibunya.
Rambutnya yang hitam lebat dan panjang itu digelung ke atas dan dihias sebuah tiara kecil penuh permata berkilauan. Wajah itu cantik jelita, anggun, akan tetapi amat dingin. Pandang matanya lebih banyak menunduk, akan tetapi kalau ia mengangkat muka dan sinar matanya menyambar, banyak orang langsung merasa ngeri karena sinar mata itu mencorong seperti mata seekor naga.
Di punggung gadis ini nampak sebatang pedang beronce merah, sedang tangan kirinya memegang sebuah hud-tim berbulu merah. Kebutan pendeta ini benar-benar membuat orang merasa heran. Bagaimana seorang gadis cantik membawa sebuah kebutan yang biasanya dibawa oleh seorang pendeta? Gadis ini adalah Siangkoan Eng, gadis yang pernah menggemparkan pesta pertemuan tiga keluarga besar di rumah pendekar Suma Ceng Liong.
Di belakang ayah, ibu dan anak ini berjalan dengan sikap hormat empat orang gadis yang berpakaian serba putih, yaitu empat orang gadis yang merupakan pimpinan dari semua anggota wanita dari Pao-beng-pai. Mereka dapat juga dianggap sebagai murid-murid yang paling pandai dari Siangkoan Kok dan isterinya. Tingkat kepandaian mereka hanya di bawah tingkat kepandaian Siangkoan Eng yang oleh para anggotanya disebut Siocia atau Nona.
Para tamu bertepuk tangan menyambut munculnya keluarga tuan rumah, dan sesudah tepuk tangan itu reda barulah Siangkoan Kok, isterinya dan puterinya mengambil tempat duduk yang sudah disediakan, yaitu di sudut yang agak lebih tinggi dari lantai ruangan luas itu sehingga semua tamu dapat melihat mereka.
Dengan isyarat tangannya, Siangkoan Kok mempersilakan para tamu untuk duduk, dan seorang di antara empat wanita berpakaian putih yang berdiri di belakang keluarga itu, kini berseru dengan suaranya yang merdu dan lantang sekali karena diteriakkan dengan pengerahan khikang.
"Cuwi (Anda Sekalian) yang terhormat. Pangcu kami mempersilakan Cuwi untuk duduk kembali dan diharap supaya masing-masing memperkenalkan diri. Sebutkan nama, dari perkumpulan atau aliran mana, dan bertempat tinggal di mana."
Semua tamu saling pandang dan ada di antara mereka yang merasa kurang senang. Betapa angkuhnya sikap tuan rumah ini. Seperti seorang raja saja! Akan tetapi sebagian besar di antara mereka segera memperkenalkan diri.
Satu per satu kepala rombongan para tamu memperkenalkan nama, nama perkumpulan yang diwakilinya, dan tempat tinggal mereka. Dengan cara demikian, tuan rumah dapat mengenal siapa tamu-tamunya, dan seorang gadis berpakaian putih sibuk menuliskan nama-nama dari para tamu yang memperkenalkan diri.
Lebih dari delapan puluh orang telah memperkenalkan diri masing-masing, mewakili tiga puluh perkumpulan atau rombongan. Mereka adalah orang-orang dunia kang-ouw yang sebagian besar dari golongan sesat. Tinggal dua puluh orang lebih yang masih belum memperkenalkan diri karena mereka ini termasuk mereka yang menganggap sikap tuan rumah itu sombong dan angkuh.
Saat melihat kenyataan ini, gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya kembali bangkit berdiri dan berteriak dengan suaranya yang lantang.
"Para tamu lain yang belum memperkenalkan diri, diharap suka memperkenalkan diri secepatnya agar perkenalan ini dapat segera selesai!"
Di antara tiga puluh orang lebih itu, terdapat pula wakil-wakil dari partai persilatan yang besar. Dua orang murid Siauw-lim-pai, dua orang murid Go-bi-pai, juga dua orang murid Bu-tong-pai dan dua orang murid dari Kun-lun-pai. Empat perkumpulan besar ini telah memiliki nama besar di dunia persilatan dan mereka memiliki murid-murid yang pandai dan yang terkenal sebagai golongan pendekar.
Untuk menjaga kebesaran nama partai masing-masing, delapan orang ini sudah saling pandang. Dari pandang mata saja mereka sudah maklum bahwa mereka berpendapat sama, maka mereka pun diam saja di tempat duduk mereka, tidak memperkenalkan diri dan akan melihat perkembangan selanjutnya.
Sisa dari mereka yang belum memperkenalkan diri nampak ragu-ragu, karena mereka pun bersandar pada sikap para wakil empat partai besar itu. Untuk berdiam diri seperti mereka delapan orang itu, mereka merasa tidak enak juga.
Mereka adalah tamu-tamu yang diundang dan pihak tuan rumah telah menjamu mereka secara royal sekali. Jika sekarang tuan rumah bersikap angkuh dan minta mereka untuk memperkenalkan diri, tentu saja mereka merasa sungkan untuk tidak melakukan hal itu. Akan tetapi kalau melakukannya juga, berarti mereka sudah merendahkan diri kepada pimpinan Pao-beng-pai yang sama sekali belum mereka kenal orang-orang macam apa adanya mereka itu.
Mendadak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka bulat, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit berdiri, diikuti dua orang kawannya. Agaknya mereka mewakili pula satu rombongan, dan si muka bulat itu lalu berkata, suaranya tidak kalah lantang dibandingkan suara gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya.
"Kami bertiga mewakili sebuah perguruan silat, dan sebelum memperkenalkan diri, kami ingin memprotes cara perkenalan diri ini! Kami adalah tamu-tamu yang diundang, bukan orang-orang yang diperintah untuk datang menghadap. Oleh karena itu, kami menolak cara perkenalan seperti ini, dan kami menuntut supaya pihak tuan rumah terlebih dahulu memperkenalkan diri, baru kami akan memperkenalkan diri kami!"
Agaknya ucapan gagah ini disetujui oleh mereka semua yang belum memperkenalkan diri, bahkan para wakil keempat partai besar mengangguk-angguk dan tersenyum. Hati mereka tertarik sekali dan ingin melihat bagaimana sikap tuan rumah.
Semua orang memandang ke arah tempat duduk tuan rumah. Tapi ketua Pao-beng-pai itu, isterinya, dan puterinya bersikap tenang dan acuh, seolah-olah tidak terjadi sesuatu dan mereka menyerahkan saja kepada gadis berpakaian putih yang mewakili Siangkoan Kok bicara.
Dengan sinar matanya yang tajam, gadis berpakaian putih itu memandang kepada si muka bulat, juga ia melihat sikap mereka yang belum memperkenalkan diri.
"Kami melihat betapa para tamu yang belum memperkenalkan diri agaknya telah setuju dengan usul saudara yang baru saja berbicara. Baiklah, jika begitu kami akan memberi penjelasan. Semenjak kedatangan para Cuwi, ketua kami telah menyambut Cuwi (Anda Sekalian) dengan penuh kehormatan dan keramahan. Cuwi dijemput dan diantar ke sini, lalu disuguhi hidangan makanan yang sebaik mungkin..."
"Kami tidak pernah minta makanan, kalian sendirilah yang menghidangkan!" bantah si muka bulat dan banyak di antara para tamu tersenyum lebar mendengar ucapan itu.
"Begitukah?" Gadis berpakaian putih itu memandang dan sinar matanya mulai marah. "Kalau begitu dengarlah baik-baik. Pangcu (Ketua) kami menganggap sudah sepatutnya kalau beliau yang lebih tinggi tingkatnya menerima perkenalan diri kalian. Beliau hanya mau berkenalan secara langsung dengan mereka yang sederajat!"
"Wahh!" Si muka bulat kini terbelalak dan mukanya yang putih itu berubah merah akibat darah sudah naik ke kepalanya. "Sombong amat! Kalau begitu, begini saja. Biar kami semua yang belum mengenalkan diri menguji kepandaian para pimpinan Pao-beng-pai yang tinggi hati itu, untuk melihat apakah benar derajat dan tingkat mereka lebih tinggi dari pada kami!"
Kembali banyak orang mengangguk menyetujui usul ini. Dan melihat betapa banyak di antara para tamu menyetujuinya, si muka bulat memberi isyarat kepada dua orang adik seperguruannya, dan mereka bertiga tiba-tiba meloncat dengan gerakan ringan ke sudut ruangan yang kosong dan tempat itu merupakan tempat yang cukup luas untuk dipakai bertanding silat.
Suasana menjadi tegang. Namun, karena mereka semua adalah orang-orang kang-ouw yang tentu saja gemar melihat pi-bu (adu silat), maka pada wajah mereka terbayang kegembiraan karena mereka mengharapkan akan dapat melihat pertandingan silat yang menarik antara orang-orang pandai. Juga para tamu kini ingin sekali melihat bagaimana sikap dan jawaban para pimpinan Pao-beng-pai terhadap tantangan si muka bulat dan dua orang kawannya itu.
Gadis berbaju putih yang mewakili para pimpinan Pao-beng-pai, yang juga merupakan murid ketua dan pelayan terdekat dan terpercaya, menoleh ke arah sang ketua. Namun ketua itu hanya tersenyum dan mengangguk, tanda bahwa dia merestui sikap muridnya itu.
Melihat tanda ini, gadis berpakaian putih itu lalu berkata, "Kami menerima usul itu, dan menyambut tantangan siapa saja yang hendak menguji kepandaian!"
Si muka bulat yang sekarang menjadi perhatian para tamu merasa bangga dan dengan membusungkan dada dia berkata, "Kami bertiga pengurus Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) mohon petunjuk dari ketua Pao-beng-pai!"
Tetapi, tantangan terhadap ketua itu disambut oleh gadis pakaian putih tadi. Ia memberi isyarat kepada tiga orang temannya dan sekali melompat, tiga orang berpakaian putih itu sudah berhadapan dengan tiga orang penantang. Gadis yang tadi berbicara tidak ikut maju, dan ia yang bicara menjawab.
"Tak mudah untuk mengadu ilmu dengan ketua kami, harus bisa mengalahkan wakilnya, yaitu Toanio, dan untuk menandingi Toanio harus lebih dulu mengalahkan Siocia. Akan tetapi sebelum dapat pi-bu dengan Siocia harus lebih dahulu dapat mengalahkan kami dan beberapa orang murid lain!" Gadis itu tersenyum mengejek. "Sam-wi sudah maju, dan tiga orang rekan kami pun sudah maju menyambut tantangan. Nah, kami persilakan apa bila Sam-wi hendak bertanding.”
Tentu saja tiga orang tokoh dari Perguruan Silat Garuda Putih itu marah sekali. Mereka merasa diremehkan. Padahal, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak membual atau meremehkan, karena dari gerakan tiga orang pria ketika meloncat tadi, ia sudah tahu bahwa tiga orang rekannya akan mampu menandingi mereka.
"Bagus, kalian orang-orang Pao-beng-pai sungguh memandang rendah pada orang lain. Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian!" bentak si muka bulat.
Seorang di antara tiga wanita berpakaian putih yang berdiri di depan mereka itu berkata tenang, "Kami bertiga sudah siap."
"Sambut serangan kami!" bentak si muka bulat dan bersama dua orang rekannya dia sudah menyerang gadis yang bicara itu.
Dua orang rekannya juga menyerang dengan pukulan yang mendatangkan angin kuat. Namun, tiga orang gadis pakaian putih itu dengan mudah sekali mengelak dan gerakan mereka ringan sekali, juga amat cepat saat mereka membalas. Terjadilah pertandingan tiga lawan tiga.
Agaknya tiga orang gadis berpakaian putih itu maklum bahwa kalau mengadu tenaga kasar, mereka jelas kalah kuat. Maka mereka menggunakan kecepatan dan keringanan gerakan mereka, dan dalam hal ini mereka memang lebih unggul. Tubuh mereka lantas berkelebatan menjadi bayangan putih yang sulit sekali diserang oleh tiga orang pria itu, seperti tiga orang anak-anak yang mencoba untuk menangkap tiga ekor dara putih yang gesit sekali.
Para ahli silat yang menjadi tamu di situ diam-diam mengikuti jalannya pertandingan dan mereka mencurahkan perhatian mereka untuk mengamati gerakan tiga orang gadis itu. Mereka ingin mengenal ilmu silat mereka supaya mereka dapat menentukan dari aliran mana ilmu itu sehingga dengan sendirinya dapat pula mengenal ilmu silat para pimpinan Pao-beng-pai.
Akan tetapi, mereka menjadi bingung dan heran sekali karena mereka sama sekali tidak mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh ketiga orang gadis berpakaian putih. Kadang nampak dasar gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai, namun dengan gerakan tangan yang mirip dengan aliran silat Bu-tong-pai, lalu berubah dan bercampur dengan aliran lain.
Agaknya ilmu silat yang mereka mainkan itu merupakan gabungan dari semua aliran! Hanya dipilih gerakan yang baik dan menguntungkan. Kalau benar demikian, tentu yang merangkai ilmu silat itu seorang ahli yang mahir semua ilmu silat!
Pertandingan sudah berlangsung dua puluh jurus lebih dan semua orang melihat betapa tiga orang tokoh Pek-eng Bu-koan itu mulai terdesak. Karena kalah cepat gerakannya, maka tiga orang jagoan dari Garuda Putih itu lantas terdesak dan mereka lebih banyak mengelak serta menangkis dari pada menyerang. Mereka tidak diberi kesempatan untuk membalas, dan serangan tiga orang gadis berpakaian putih itu datang bertubi-tubi.
Tiba-tiba tiga orang gadis itu melompat ke belakang dan tiga orang Pek-eng Bu-koan menghentikan gerakan mereka. Muka mereka nampak merah.
Kiranya, di tangan gadis pertama terdapat kain kepala yang sudah dapat direnggutnya lepas dari kepala lawan. Di tangan gadis ke dua terdapat sobekan baju di bagian dada lawannya, dan biar pun gadis ke tiga tidak merampas sesuatu, namun lawannya sibuk membereskan rambutnya yang riap-riapan karena pengikat kuncirnya terlepas. Jelaslah bahwa kalau tiga orang gadis berpakaian putih itu menghendaki, tentu tangan mereka akan bergerak lebih jauh dan dapat merobohkan tiga orang lawan dengan pukulan.
"Maafkan kami," kata seorang di antara tiga gadis itu mewakili teman-temannya.
Si muka bulat menghela napas panjang. Dia tahu diri dan mengangkat kedua tangan ke depan dada, lalu menghadap pihak tuan rumah sambil berkata, "Kami bertiga adalah pimpinan Pek-eng Bu-koan, dan saya Liu Pin sebagai ketuanya. Kami mengaku kalah."
Dia dan dua orang sute-nya lalu mengundurkan diri dan duduk di tempat semula, tidak berani lagi mengeluarkan kata-kata. Melawan tiga orang gadis yang menjadi anak buah Pao-beng-pai saja mereka kalah. Apa lagi melawan pimpinannya!
Mereka yang telah mengenal kelihaian Pek-eng Bu-koan dan melihat kekalahan mereka di tangan tiga orang gadis anak buah Pao-beng-pai sekarang tidak merasa ragu lagi dan mereka segera memperkenalkan diri seperti yang telah dilakukan para tamu lain. Hanya tinggal masing-masing dua orang wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai yang belum memperkenalkan diri, di samping para wakil dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai. Juga masih ada lagi tiga orang lelaki muda yang nampaknya belum mau memperkenalkan diri.
Melihat masih ada belasan orang yang belum memperkenalkan diri, gadis pakaian putih itu kembali berseru, "Apakah masih ada di antara Cuwi (Anda Sekalian) yang sebelum memperkenalkan diri ingin menantang pi-bu?"
Tiba-tiba ketua Pao-beng-pai yang sejak tadi duduk diam saja dengan tegak, berbisik kepada si gadis pakaian putih. Gadis itu menghampiri dan berlutut di depan ketuanya, menerima pesan dalam bisikan.
Gadis itu mengangguk, lalu bangkit lagi dan memandang ke arah kelompok yang belum memperkenalkan diri, lalu berkata dengan suara lantang.
"Pangcu (Ketua) kami memandang partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai sebagai setingkat dan sederajat. Karena itu, wakil dari masing-masing partai itu dimohon suka maju untuk berkenalan langsung dengan keluarga Pangcu yang menjadi pimpinan Pao-beng-pai!"
Kebetulan ada dua orang wakil dari masing-masing partai besar itu adalah orang-orang muda. Tadinya mereka tak mau memperkenalkan diri seperti para tamu lain karena hal itu dianggap terlalu merendahkan diri, seperti orang-orang bawahan menghadap orang atasan saja.
Akan tetapi kini, mendengar ucapan gadis pakaian putih, mereka merasa tidak enak bila tak mau berkenalan. Mereka adalah tamu yang diundang, sudah makan hidangan tuan rumah, dan memang mereka diutus hadir di situ untuk mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng-pai.
Berturut-turut, didahului wakil dari Siauw-lim-pai, mereka datang menghampiri tempat duduk keluarga ketua Pao-beng-pai dan berkenalan, saling menyebutkan nama. Para wakil itu sekarang baru tahu bahwa ketua Pao-beng-pai atau pendiri baru ini bernama Siangkoan Kok. Bersama isteri dan puterinya yang diperkenalkan sebagai Siangkoan Eng, mereka bertiga inilah merupakan pimpinan Pao-beng-pai. Sedangkan undangan itu dilakukan untuk saling berkenalan dan menghimpun persahabatan di antara tokoh-tokoh persilatan masa itu.
Setelah para wakil dari empat partai besar itu duduk kembali ke tempat mereka tanpa merasa direndahkan, kini gadis pakaian putih bangkit dan berseru lagi, ditujukan kepada para wakil Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
"Pangcu kami menganggap bahwa Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai sebagai rekan-rekan seperjuangan. Oleh karena itu, Pangcu mengharap agar para wakil mereka suka maju untuk saling berkenalan dengan Pangcu sekeluarga."
"Siancai, siancai...!" Terdengar suara pujian dan sesosok bayangan berkelebat ke sudut ruangan di mana tadi diadakan pertandingan silat.
Kiranya dia seorang di antara para wakil Pat-kwa-pai. Tanda Pat-kwa-pai dapat terlihat di bajunya, di dada kiri yang disulam dengan benang emas berbentuk sebuah pat-kwa (segi delapan).
Dia seorang pria berusia lima puluh tahun, bertubuh gendut dengan jubah lebar, dan nampak kokoh kuat. Di punggungnya tergantung pedang. Matanya lebar, hidungnya pun besar dan mulutnya berbibir tebal. Segalanya pada orang ini nampak kokoh dan besar.
"Pat-kwa-pai kami juga memiliki peraturan, yaitu sebelum berkawan, haruslah mengenal isi perutnya lebih dahulu. Oleh karena itu, kami sebagai wakil Pat-kwa-pai ingin sekali mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng-pai melalui pertandingan silat." Dia menjura ke arah tempat duduk tuan rumah.
Semua orang kini memandang ke arah keluarga tuan rumah dan melihat betapa gadis cantik jelita tuan rumah hendak bangkit, tetapi dilarang ayahnya. Kemudian, dengan hati gembira semua tamu melihat betapa Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai sendiri yang bangkit dan dengan langkah tenang berjalan menghampiri wakil Pat-kwa-pai yang telah berdiri menanti.
Sekarang semua orang melihat betapa ketua itu mempunyai gerak-gerik yang anggun dan berwibawa, tetapi wajahnya cerah. Dia tersenyum ketika berdiri berhadapan dengan tokoh Pat-kwa-pai.
"Saudara wakil dari Pat-kwa-pai, jika kami boleh bertanya, apakah hubunganmu dengan Thian Ho Sianjin?" Suara Siangkoan Kok halus dan ramah, juga sangat sopan seperti cara bicara seorang yang terpelajar tinggi.
Diam-diam utusan Pat-kwa-pai itu terkejut. Sikap ketua Pao-beng-pai ini seakan-akan sudah mengenal baik ketuanya, yaitu Thian Ho Sianjin! Ketua Pat-kwa-pai itu adalah gurunya, dan dia merupakan murid pertama. Dia mewakili gurunya datang bersama tiga orang sute-nya dan mereka berempat merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-pai yang kuat.
"Kami yang menjadi utusan adalah murid-murid suhu yang menjadi ketua Pat-kwa-pai," katanya.
"Ahh, kiranya murid-murid Thian Ho Sianjin. Sahabat, kalian kami undang ke sini untuk persahabatan dan kerja sama, bukan untuk saling bertanding," ucapan itu seperti suatu teguran.
"Akan tetapi, Pangcu, kami harus mendapat bahan untuk laporan kepada ketua kami tentang Pao-beng-pai," bantah tokoh Pat-kwa-pai itu.
Siangkoan Kok tersenyum. "Baiklah, kalau begitu marilah kita latihan sebentar. Berapa orang dari Pat-kwa-pai yang datang?"
"Kami datang berempat."
"Silakan yang tiga orang lagi ke sini ikut latihan."
Mendengar ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menggapai ke arah tiga orang sute-nya. Lebih kuat keadaan mereka lebih baik, pikirnya. Ketiga orang murid Pat-kwa-pai itu bangkit dan nampak tubuh mereka melayang ke sudut itu. Gerakan mereka ringan, dan ketika sudah berdiri di situ, nampaklah betapa tiga orang ini pun bertubuh tegap dan nampak kokoh kuat.
"Bagus, Thian Ho Sianjin memiliki murid-murid yang gagah sekali. Nah, sekarang kalian berempat boleh menyerangku sekuat kalian. Aku tak akan mengelak, takkan membalas pula, hanya menangkis saja. Kalau dalam dua puluh jurus kalian berhasil memukulku, berarti aku kalah."
Empat orang itu tercengang, juga semua tamu terbelalak. Orang itu terlalu sombong! Semua orang mengetahui betapa lihainya orang-orang Pat-kwa-pai, apa lagi empat orang itu adalah murid-murid ketua Pat-kwa-pai. Kepandaian mereka tentu sudah tinggi.
Tidak akan mengherankan kalau ketua Pao-beng-pai ini lebih lihai dari mereka. Akan tetapi menghadapi pengeroyokan mereka selama dua puluh jurus tanpa mengelak dan tanpa membalas, hanya menangkis saja? Ketua Pao-beng-pai itu pasti akan celaka oleh kesombongannya sendiri.
"Baik, kami setuju!" kata si gendut dengan penuh semangat. Guru mereka sendiri belum tentu akan dapat bertahan, apa lagi orang sombong ini, pikirnya.
"Nah, mulailah, aku sudah siap." Kata Siangkoan Kok dengan sikap tenang sekali.
Keempat orang murid Pat-kwa-pai itu sudah memasang kuda-kuda serta menghimpun tenaga sakti. Akan tetapi Siangkoan Kok masih tenang saja, berdiri seenaknya, bahkan melirik pun tidak ketika salah seorang di antara empat orang lawan itu melangkah ke belakangnya. Sekarang ia dikepung empat orang yang mengambil kedudukan di depan, belakang, kanan dan kirinya.
"Pangcu, jaga serangan kami!" seru si gendut yang berada di depan.
Dia mulai menyerang dengan pukulan yang kuat sekali dari depan, ke arah dada lawan. Bertubi-tubi tiga orang pengeroyok lainnya juga mengirim pukulan dan rata-rata pukulan mereka itu kuat sekali, mendatangkan angin pukulan yang membuat baju Siangkoan Kok berkibar.
Ketua Pao-beng-pai ini tidak mengelak, sesuai dengan janjinya tadi. Akan tetapi kedua tangannya bergerak cepat menangkisi pukulan-pukulan itu sambil memutar tubuhnya.
"Duk-duk-duk-plakkk!" Empat orang itu terpental ke belakang!
Mereka terkejut dan maklum bahwa ketua Pao-beng-pai ini mempunyai tenaga sinkang yang hebat bukan main. Pantas saja berani menghadapi mereka tanpa mengelak hanya mengandalkan tangkisan.
Akan tetapi, karena mereka tidak khawatir kalau dibalas seperti yang sudah dijanjikan, mereka pun memperhebat serangan, menghantam atau menendang bertubi-tubi sambil mengerahkan seluruh tenaga mereka. Bahkan mereka juga mengerahkan tenaga yang mengandung hawa beracun!
Namun, Siangkoan Kok dapat menangkis semua pukulan itu dan agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh hawa beracun yang terkandung dalam tangan mereka dan setiap kali tertangkis, tentu si pemukul sendiri yang terpental dan lengan mereka terasa nyeri bukan main.
Sepuluh jurus sudah lewat dan mereka belum juga dapat menyentuh tubuh Siangkoan Kok, apa lagi memukulnya. Padahal, ketua Pao-beng-pai itu tidak pernah mengelak! Si gendut memberi isyarat kepada tiga orang sute-nya untuk mempercepat serangan. Dia hanya memiliki dua buah tangan, kalau diserang secara cepat oleh empat orang, tidak akan dapat menangkis lagi dan terpaksa harus mengelak. Sekali saja mengelak berarti dia melanggar janji dan dapat dianggap kalah!
Akan tetapi, sebelum isyarat ini dilaksanakan, tiba-tiba Siangkoan Kok mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya berputar seperti gasing! Sukar bagi empat orang itu untuk mengetahui kedudukan badan lawan, karena tubuh itu berputar sangat cepat dan kedua tangannya menjadi banyak sekali.
Mereka masih mencoba untuk memukul tubuh yang berputar itu. Akan tetapi setiap kali pukulan mereka bertemu dengan tangkisan lawan lantas membuat mereka terpelanting. Kini kedua lengan mereka sudah bengkak-bengkak karena berkali-kali bertemu dengan lengan Siangkoan Kok.
Si gendut lalu memberi isyarat kepada tiga orang sute-nya untuk memasang kuda-ruda dan berdiam diri, tak menyerang lagi. Melihat ini, Siangkoan Kok menghentikan putaran tubuhnya dan begitu dia berhenti, empat orang itu menyerang pada detik yang sama! Inilah siasat terakhir para murid Pat-kwa-pai itu untuk mengalahkan lawan. Tak mungkin dua lengan lawan itu dapat menangkis empat pukulan dari depan dan belakang dengan berbareng pada saat yang sama!
Tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat ke atas. Di udara tubuhnya merentang, kedua tangan menangkis ke depan dan kedua kaki menangkis ke belakang. Dan sekali ini, tenaganya sedemikian besar dan kuatnya sehingga empat murid Pat-kwa-pai itu terjengkang dan roboh!
Tentu saja semua tamu kagum bukan main, bahkan beberapa orang bertepuk tangan memuji, memancing yang lain untuk bertepuk tangan pula.
Empat orang tokoh Pat-kwa-pai itu bangkit, mengebut-ngebutkan pakaian yang terkena debu sambil mengerang kesakitan karena kedua lengan mereka biru-biru dan bengkak-bengkak, lalu dipimpin oleh si gendut, mereka memberi hormat.
"Kami mengakui kelihaian Pangcu dan kini kami mempunyai bahan untuk menceritakan kepada para pimpinan Pat-kwa-pai," kata si gendut.
"Sampaikan salamku kepada Thian Ho Sianjin," kata ketua Pao-beng-pai itu. Dengan tenang dia duduk kembali ke tempatnya semula, tidak nampak sedikit pun keringat pada wajah dan lehernya.
"Siancai..., tenaga sinkang Pangcu dari Pao-beng-pai memang hebat bukan main. Kami semua merasa kagum!" Tiba-tiba terdengarlah suara yang diikuti berkelebatnya sesosok bayangan orang ke sudut ruangan di mana pertandingan tadi berlangsung.
Semua orang memandang. Dia adalah seorang pria berpakaian pendeta dengan jubah panjang. Usianya sudah enam puluh empat tahun. Tubuhnya pendek kurus tetapi masih nampak segar seperti tubuh kanak-kanak, akan tetapi mukanya keriputan dan kelihatan sudah tua sekali. Di punggungnya tergantung sebatang pedang yang kelihatan terlalu panjang karena tubuhnya yang pendek kecil.
Melihat pria itu, gadis berpakaian putih segera berkata, "Totiang (Pak Pendeta) tentunya wakil dari Pek-lian-pai. Apa kehendak Totiang?"
"Siancai...! Seperti juga saudara dari Pat-kwa-pai tadi, kami dari Pek-lian-pai ingin pula membuktikan sendiri kelihaian pimpinan Pao-beng-pai. Akan tetapi pinto (aku) tidak mau melakukan pengeroyokan, pinto hanya ingin membuktikan kelihaian kalian bila bermain pedang. Nah, siapa di antara para pimpinan Pao-beng-pai yang berani melayani pinto bermain pedang?"
Sekali tangan kanannya bergerak, pendeta Pek-lian-kauw itu telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Cara dia mencabut pedang saja menunjukkan kemahirannya.
Tentu saja dia lihai karena tosu ini adalah Kui Thian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw yang lihai dan dipercaya oleh para pimpinan perkumpulan pemberontak itu. Sekarang ia datang sebagai wakil Pek-lian-pai bersama dua orang sute-nya. Dia tadi sudah melihat betapa hebat tenaga sinkang dari ketua Pao-beng-pai, oleh karena itu, dia menantang untuk bertanding ilmu pedang yang menjadi andalannya.....
Komentar
Posting Komentar