SI TANGAN SAKTI : JILID-07
Semua orang memandang dengan hati tegang kepada Yo Han yang kini berdiri seorang diri di atas panggung yang tadi dipergunakan untuk mengadu ilmu silat.
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, "Dia bocah iblis dari Thian-li-pang itu!"
Semua orang menengok dan yang berteriak itu adalah tosu Pek-lian-kauw, Kui Thiancu yang tadi dikalahkan Siangkoan Eng dalam pertandingan. Dia sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya dan menuding-nuding ke arah Yo Han. Kiranya tosu Pek-lian-kauw ini masih ingat kepada Yo Han yang kurang lebih tiga tahun yang lalu pernah dia jumpai di perkumpulan Thian-li-pang, yaitu pada saat dia berkunjung ke sana bersama rekannya, Kwan Thian-cu.
Belum juga gema suara Kui Thiancu hilang, terdengar seruan nyaring yang lain. “Tosu dari Pek-lian-kauw harap jangan menghina pemimpin kami! Saudara-saudara sekalian, perkenalkanlah, pemuda perkasa ini ialah pemimpin kami dari Thian-li-pang yang telah menyerahkan kedudukan ketua kepada ketua kami yang sekarang!"
Semua orang menengok dan melihat bahwa yang berbicara itu adalah seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun.
Laki-laki itu tidak peduli kepada semua orang, melainkan kini dari tempat duduknya menghadap ke arah Yo Han dan memberi hormat sambil berkata, "Yo-taihiap, maafkan kelancangan saya. Saya Thio Cu dari Thian-li-pang diutus ketua Lauw untuk mewakili Thian-li-pang hadir di sini."
Yo Han tidak mengenal orang itu, akan tetapi kini dia tahu bahwa Thio Cu itu tentulah seorang tokoh Thian-li-pang, maka dia pun mengangguk dengan sikap yang angkuh.
Siangkoan Kok memandang kepada Yo Han. "Orang muda, harap cepat perkenalkan diri dan nyatakan apa kehendakmu di sini," katanya.
Yo Han memandang ke empat penjuru, lalu menghadap pihak tuan rumah dan berkata sambil membusungkan dada. "Cuwi (Anda Sekalian), dengarkan aku memperkenalkan diri. Namaku Yo Han dan seperti dikatakan Paman Thio Cu dari Thian-li-pang tadi, aku adalah seorang pimpinan Thian-li-pang, tapi aku tidak mau memegang kedudukan ketua dan kuserahkan kepada Paman Lauw Kang Hui. Aku lebih senang pergi merantau untuk melaksanakan tugasku yang teramat penting. Kalau tosu Pek-lian-kauw itu merasa tidak suka kepadaku, hal itu tidak aneh karena aku pernah melarang Thian-li-pang untuk bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Kurasa, Thian-li-pang sama dengan Pao-beng-pai, yaitu sekelompok patriot yang menentang penjajah Mancu, bukan kelompok penjahat yang menggunakan kedok perjuangan untuk berbuat jahat. Aku sendiri pun bukan orang bersih, tapi aku pantang mengganggu rakyat jelata. Hendaknya Cuwi ketahui bahwa aku tidak mewakili siapa pun, ayah ibuku sudah tiada. Ayahku bernama Yo Jin dan ibuku tentu Cuwi sudah mengenalnya. Ia bernama Ciong Siu Kwi, berjuluk Bi Kwi."
Terdengar seruan di sana-sini karena nama Bi Kwi pernah menggemparkan seluruh dunia persilatan. Bi Kwi (Setan Cantik) terkenal sebagai seorang tokoh yang aneh dan kejam.
"Hemmm, Yo Han, kami ingat bahwa Bi Kwi dahulunya memang tokoh kang-ouw yang terkenal, murid Sam Kwi (Tiga Setan). Namun kemudian dia membalik dan bergabung dengan mereka yang menamakan diri para pendekar, memihak kepada orang Mancu!" teriak Siangkoan Kok dan terdengar banyak suara membenarkan.
"Itu hanya kabar bohong, Siangkoan Pangcu (Ketua Siangkoan)! Aku sebagai anaknya yang lebih tahu. Ayahku tewas, ibuku juga tewas membunuh diri, semua itu gara-gara mereka yang menamakan diri pendekar-pendekar keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir serta keluarga Lembah Naga. Aku mendendam kepada mereka, terutama aku benci sekali kepada bekas bibi guruku, adik seperguruan mendiang ibu yang bernama Can Bi Lan berjuluk Siauw Kwi! Can Bi Lan itulah yang telah membujuk suci-nya, yaitu ibuku, untuk bergabung dengan mereka, dan Can Bi Lan sendiri menjadi isteri pendekar Suling Naga Sim Houw! Aku hendak mengajak mereka yang menentang pemerintah Mancu untuk tidak saja menentang pemerintah itu, juga untuk membasmi para antek Mancu, terutama sekali Can Bi Lan dan suaminya, Sim Houw!"
Yo Han berbicara dengan semangat berapi-api, matanya mencorong seolah dia marah besar dan amat membenci nama-nama yang baru saja dia sebutkan. Inilah siasatnya. Dia ingin melacak jejak penculik puteri bibinya itu dengan cara mendekati orang-orang kang-ouw dan bersikap seolah dia memusuhi suami isteri yang kehilangan anaknya itu.
Kembali suasana menjadi gaduh setelah dia berhenti bicara. Para tamu saling bicara sendiri dan karena sebagian besar di antara mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang memang tidak suka kepada para pendekar dari tiga keluarga itu, maka kebanyakan di antara mereka setuju dengan pendapat Yo Han.
Akan tetapi, ada pula yang terkejut mendengar hal itu dan di antara mereka adalah para wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Juga Pangeran Cia Sun diam-diam terkejut sekali. Pemuda itu merupakan bahaya bagi kerajaan keluarga kakeknya!
Justru kerajaan di bawah pimpinan kakeknya selalu ingin mendekati para pendekar dan para tokoh kang-ouw untuk memanfaatkan kekuatan mereka, namun pemuda ini malah menghasut. Dia sendiri pun tadinya selain hendak menambah pengetahuan, ingin pula menyelidiki sampai berapa jauhnya gerakan Pao-beng-pai yang kabarnya merupakan perkumpulan yang hendak menentang pemerintah Mancu.
"Omitohud...!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan seorang pendeta berkepala gundul yang usianya sudah enam puluh tahun maju menghadapi Yo Han.
Dia adalah seorang di antara utusan Siauw-lim-pai yang merasa penasaran sekali ketika mendengar bahwa Yo Han hendak membasmi keluarga Pulau Es, Gurun Pasir serta Lembah Naga.
"Orang muda, engkau masih begini muda, akan tetapi sungguh tinggi hati dan sombong. Bagaimana mungkin engkau akan menghadapi para pendekar sakti dari ketiga keluarga itu? Lagi pula, mereka adalah pendekar-pendekar sakti yang bertindak demi membela mereka yang tertindas dan menentang kejahatan, sama sekali bukan antek pemerintah. Pinceng (aku) peringatkan agar engkau berhati-hati kalau bicara. Kami adalah sahabat baik dari para pendekar itu."
"Siancai...! Apa yang dikatakan Lo Kiat Hwesio dari Siauw-lim-pai memang benar sekali. Pemuda ini terlalu sombong dan lancang mulut. Kami dari Kun-lun-pai juga merupakan sahabat para pendekar itu dan pinto (aku) tidak suka mendengar ada orang menghina mereka. Mereka bukan antek pemerintah!"
Semua orang menengok dan yang bicara itu adalah seorang tosu (pendeta To) berusia lima puluh tahun lebih, yang tinggi kurus dan berjenggot panjang.
"Kalau orang muda she Yo tidak mau menghentikan bualannya, pinto Ciang Tojin dari Kun-lun-pai pasti tidak akah tinggal diam saja!"
Yo Han menoleh pula kepada tosu itu, kemudian dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kiranya Lo Kian Hwesio dari Siauw-lim-pai dan Ciang Tojin dari Kun-lun-pai mambela para pandakar itu. Mereka itu terang antek Mancu, bahkan Pendekar Super Sakti sendiri masih mempunyai hubungan keluarga dengan Kerajaan Mancu. Dia pun menikah dengan puteri Mancu! Pantas kalau Ji-wi (Kalian Berdua) membela, karena bukankah selama ini kuil-kuil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai menjadi makmur berkat bantuan pemerintah Mancu? Sayang sekali, Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang besar itu pun kini menjadi kecil karena diperbudak orang-orang Mancu."
"Keparat, betapa sombongnya engkau!"
Bayangan berkelebat dan tosu Kun-lun-pai itu sudah berada di depan Yo Han, berjajar dengan Lo Kian Hwesio. Kalau hwesio Siauw-lim-pai itu memegang seuntai tasbih hitam yang matanya besar-besar, tosu itu memegang sebatang tongkat berbentuk ular yang tingginya sepundak dan besarnya sepergelangan tangan.
Melihat mereka berdua, Yo Han sengaja tertawa lagi. "Ha-ha-ha-ha, kalian mau apa? Jangan dikira aku takut menghadapi kalian berdua. Kalian boleh maju berdua untuk mengeroyok aku. Kalau aku kalah, aku tidak akan banyak mulut lagi dan akan pergi dari sini. Kalau kalian kalah, jangan kalian ribut mencampuri urusanku lagi!"
Dua orang pendeta itu terpancing kemarahan mereka karena Yo Han sengaja menghina Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Mereka lupa bahwa tidaklah pantas bagi mereka dua orang tua yang berkedudukan tinggi mengeroyok seorang pemuda! Namun, kemarahan memang membutakan kesadaran dan mendengar tantangan itu, hwesio dan tosu itu semakin marah.
"Omitohud, bocah sombong ini agaknya perlu dibuat sadar dengan kekerasan, To-yu!" kata hwesio itu.
Dia pun mendahului tosu Kun-lun-pai itu, menggerakkan tasbih di tangannya menyerang Yo Han. Tosu itu pun menggerakkan tongkatnya dan memukulkannya ke arah tubuh Yo Han, seperti seorang ayah yang sedang marah-marah dan hendak menghajar anaknya yang bandel.
Yo Han memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaian untuk menarik perhatian, terutama sekali perhatian dari penculik puteri bibinya, atau setidaknya yang tahu akan peristiwa itu, dan supaya dia dipercaya dan ditarik sebagai sekutu mereka. Maka, begitu menghadapi serangan dari kedua orang ahli silat kelas tinggi sebagai tokoh-tokoh partai persilatan besar, dia pun meloncat ke belakang, kemudian ketika kedua orang lawannya maju mengejar, dia pun mengerahkan tenaga yang didapat dari Bu-kek Hoat-keng dan mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut mereka.
Bukan main kagetnya kedua orang tua itu ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari kedua tangan pemuda itu bagaikan badai. Mereka lantas berusaha menyambut dengan dorongan tangan kiri yang disertai pengerahan tenaga sinkang. Pertemuan antara dua hawa pukulan yang amat dahsyat terjadi dan akibatnya, kedua orang tua itu terdorong dan terjengkang roboh!
Tentu saja kejadian ini membuat semua orang terkejut. Bahkan Siangkoan Kok sendiri terbelalak. Dia tahu betapa lihainya tokoh Siauw-lim-pai dan tokoh Kun-lun-pai itu, akan tetapi dalam segebrakan saja mereka roboh oleh pukulan jarak jauh yang dahsyat!
Tiba-tiba terdengar suara lantang. "Ahhh, tidak salah lagi. Dia adalah Sin-ciang Taihiap yang pernah menggemparkan perbatasan barat!"
Semua orang menengok dan ternyata yang bicara itu adalah seorang laki-laki tua yang berjubah pendeta dan dia bukan lain adalah Hoat Cin-jin, tokoh Go-bi-pai!
"Pinto telah mendengar bahwa Pendekar Tangan Sakti yang tak pernah memperlihatkan mukanya itu bernama Yo Han, yang dulu pernah membantu para pendeta Lama di Tibet meredakan pemberontakan!"
Kini semua orang memandang lagi kepada Yo Han dan mereka tertegun. Mereka sudah mendengar kebesaran nama Sin-ciang Taihiap (Pendekar Tangan Sakti) yang membuat gempar di daerah barat itu, seorang pendekar yang tidak pernah mau memperlihatkan mukanya sehingga hanya dikenal namanya saja.
Juga Siangkoan Kok sudah pernah mendengar nama Sin-ciang Taihiap, maka kini dia memandang kepada Yo Han dengan penuh selidik. Sedangkan tokoh Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tadi terpaksa mengakui kekalahan mereka dan mereka kembali ke tempat duduk masing-masing. Siangkoan Kok kini maju menghampiri Yo Han.
"Saudara Yo Han, benarkah engkau ini yang berjulukan Sin-ciang Taihiap?" tanya ketua Pao-beng-pai itu.
Yo Han menghadapi pria tinggi besar yang gagah perkasa itu. "Memang benar, Pangcu. Akan tetapi orang terlalu membesarkannya. Aku bukanlah seorang pendekar seperti tiga keluarga besar itu! Aku hanya ingin menyadarkan orang-orang kang-ouw yang tersesat dan mengganggu rakyat, agar mereka itu tidak memusuhi rakyat melainkan memusuhi pemerintah Mancu dan antek-anteknya. Pernahkah Pangcu mendengar aku membunuh seorang kang-ouw seperti yang dilakukan para anggota tiga keluarga besar itu? Tidak, yang kumusuhi bukanlah orang-orang kang-ouw melainkan pemerintah Mancu bersama antek-anteknya. Karena itulah, maka aku sengaja datang untuk bekerja sama dengan orang-orang seperjuangan dan sehaluan."
Banyak di antara para tamu, orang-orang kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak terjang Sin-ciang Taihiap, menyambut ucapan itu dengan gembira. Hanya mereka yang merasa dekat dengan keluarga para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Naga saja yang memandang dengan wajah muram. Pemuda itu sungguh merupakan bahaya bagi para pendekar, terutama mereka yang tidak menentang pemerintah Mancu.
Sedangkan Siangkoan Kok justru merasa gembira bukan main. Inilah orang yang akan menjadi sekutu yang sangat berguna baginya. "Yo-sicu (orang gagah Yo), sudah lama kami mencari seorang sekutu yang baik dan agaknya engkaulah orangnya. Hayo, aku masih merasa penasaran jika tidak mengukur sendiri kekuatanmu, biar pun tadi engkau sudah memperlihatkan tenagamu yang dahsyat. Kami akan suka sekali menjadi kawan seperjuanganmu, Sicu, tetapi lebih dahulu aku ingin menguji kekuatanmu. Bersediakah engkau?"
"Hemmm, aku mendapatkan kehormatan besar sekali kalau Pangcu dari Pao-beng-pai sendiri suka memberi petunjuk kepada aku yang muda dan bodoh," kata Yo Han. "Nah, Pangcu, aku sudah siap."
"Bagus, aku pun hanya ingin mengukur tenagamu saja, Sicu. Sambutlah doronganku ini!"
Setelah berkata demikian, ketua Pao-beng-pai itu menekuk kedua lututnya dengan kaki terpentang, lalu kedua lengannya melakukan dorongan lurus ke depan yang dimulai dari bawah pangkal lengan, kedua tangannya terbuka, jari-jari tangan sedikit ditekuk dan dari kedua telapak tangannya itu lalu menyambar hawa pukulan dahsyat yang mengeluarkan bunyi berciut dan mengandung hawa dingin!
Maklum bahwa dia menghadapi serangan pukulan jarak jauh yang amat dahsyat dan berbahaya, Yo Han juga cepat menekuk kedua lutut dan seperti tadi ketika menyerang dua orang pendeta, dia pun mengerahkan tenaga dari Bu-kek Hoat-keng dan dari kedua telapak tangannya menyambar hawa pukulan yang tidak kalah hebatnya.
Dua tenaga yang tidak nampak bertemu di antara mereka dan nampak tubuh mereka tergetar hebat. Yo Han sengaja tidak menyerang, hanya mempertahankan ketika tenaga lawan mendorongnya, dan ketua Pao-beng-pai itu merasa betapa dorongannya bertemu dengan perisai yang kokoh kuat seperti batu karang! Dia kagum bukan main, kemudian mengerahkan seluruh tenaganya mendorong, sedangkan dari mulutnya terdengar suara menggereng.
Yo Han tetap mempertahankan. Biar tenaga lawan itu kuat sekali, jika dia menggunakan Bu-kek Hoat-keng dan membalas menyerang, dia merasa yakin akan mampu mengatasi lawan. Namun bukan itu yang dikehendakinya. Maka, dia pun hanya mempertahankan dan walau pun kedua kakinya tetap memasang kuda-kuda, namun tubuhnya terdorong sehingga kedua kaki itu tergeser ke belakang sampai tiga kaki!
Melihat hal ini, ketua Pao-beng-pai semakin kagum. Jarang ada tokoh persilatan mampu menahan dorongannya itu, dan melihat betapa pemuda itu tidak sampai mengangkat kakinya, tidak terjengkang melainkan hanya kedua kakinya tergeser ke belakang dalam keadaan kuda-kuda yang sama, hal ini saja membuktikan betapa kuatnya pemuda itu.
Dia pun segera berseru, "Cukup!" dan keduanya menarik tenaga masing-masing.
Siangkoan Kok agak terengah karena tadi dia sudah mengerahkan seluruh tenaga. Yo Han cepat membuat pernapasannya memburu agar jangan diketahui orang bahwa dia lebih kuat.
"Hebat! Engkau masih muda, tetapi sudah memiliki tenaga yang hebat, Sicu! Cukuplah, biar lain kali saja kita berlatih silat. Engkau cukup berharga untuk menjadi sekutu kami. Mari Yo-sicu, silakan duduk di atas bersama kami. Dan engkau juga, Cia-sicu. Engkau pun sudah mampu menandingi puteri kami, bararti engkau juga cukup berharga dan layak untuk duduk di tempat kehormatan dan semeja dangan keluarga kami!"
Ketua itu girang bukan main bahwa di antara para tamunya terdapat dua orang pemuda seperti Cia Ceng Sun dan Yo Han. Tinggal pilih saja salah satu di antara mereka untuk menjadi calon mantu. Keduanya sama tampannya dan sama gagahnya. Yo Han tentu saja lebih kuat, akan tetapi Cia Ceng Sun lebih berwibawa dan terpelajar.
Pesta pertemuan itu pun dimulai dengan meriah. Sebagai tamu-tamu kehormatan yang duduk di atas adalah tokoh besar dunia kang-ouw termasuk para tokoh Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Bu-tong-pai. Akan tetapi mereka itu duduk di meja lainnya, sedangkan Yo Han dan Cia Ceng Sun duduk semeja dengan Siangkoan Kok, isterinya dan puterinya.
Apa bila sikap Cia Ceng Sun sopan santun dan sungkan seperti seorang pemuda yang diharuskan duduk semeja dengan nyonya dan nona rumah, Yo Han menyesuaikan diri dengan perannya sebagai seorang berandalan kang-ouw. Ia acuh saja, bahkan bersikap agak dingin! Sikap seorang pemuda kang-ouw yang tinggi hati.
Mula-mula Siangkoan Eng juga kagum bukan main melihat kelihaian Yo Han, apa lagi nama besarnya sebagai Pendekar Tangan Sakti. Akan tetapi karena sikapnya itu, maka perhatian gadis itu lebih banyak tertuju kepada Cia Ceng Sun yang bersikap ramah, manis dan pandai membawa diri. Bahkan ibunya pun lebih suka kepada Cia Ceng Sun dari pada kepada Yo Han.
Karena mereka duduk semeja, mau tidak mau Yo Han terpaksa berkenalan pula dengan Cia Ceng Sun. Ketua Pao-beng-pai sambil makan minum dan mendengarkan musik dan nyanyian, mencoba untuk mengorek keterangan tentang riwayat kedua orang pemuda yang menarik hati itu.
Cia Ceng Sun menceritakan bahwa ia adalah seorang yatim piatu yang menerima harta warisan yang banyak dari mendiang orang tuanya yang hartawan di utara, dan sejak kecil ia suka mempelajari ilmu silat dari siapa saja sehingga tidak memiliki guru tertentu.
"Guru saya banyak sekali, tetapi bukan guru tetap. Ilmu silat apa saja saya pelajari, dan untuk itu saya telah menghamburkan hampir semua harta peninggalan ayah."
Tentu saja dia berbohong. Yang tidak bohong adalah bahwa dia memang mempelajari ilmu-ilmu silatnya dari banyak guru, tanpa ada guru tetap. "Sampai sekarang pun, saya merantau untuk menambah pengetahuan dan meluaskan pengalaman," tambahnya.
Ketika ditanya, Yo Han mengaku bahwa dia juga yatim piatu seperti telah diceritakannya tadi. Tentang ilmu silat, dia katakan bahwa dia mewarisi ilmu-ilmu ibunya, dan juga dia mempelajari ilmu silat dari para tokoh Thian-li-pang di Bukit Naga.
"Tadinya, aku dipilih untuk menjadi ketua, akan tetapi karena aku tidak suka terikat, aku lalu menyerahkan kedudukan itu kepada suheng-ku, Lauw Kang Hui." Dia mengakhiri ceritanya.
Siangkoan Kok memandang kagum. "Jadi Lauw Kang Hui adalah suheng-mu? Pantas saja engkau lihai. Kami pernah mendapat kehormatan bertemu dengan dua orang tokoh Thian-li-pang yang sakti, yaitu Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong."
Yo Han mengangguk. "Mereka adalah guru-guruku dan kini mereka sudah meninggal dunia."
Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan tidak mengherankan kalau sebentar saja, nampak keakraban antara Cia Ceng Sun dan Siangkoan Eng. Kebetulan Cia Ceng Sun duduk di sebelah gadis itu, dan Siangkoan Eng juga bukan seorang gadis pemalu, sehingga mereka pun becakap-cakap membicarakan ilmu silat.
Dari sikap dan pandang mata gadis itu, Yo Han saja dapat mengerti bahwa gadis itu tertarik kepada Cia Ceng Sun yang tampan dan gagah. Apa lagi orang tua gadis itu, mereka tentu saja lebih mengetahui.
Selain mengenalkan diri, di dalam pesta perjamuan itu Pao-beng-pai juga menawarkan kerja sama dengan semua pihak yang menentang penjajah Mancu, tidak peduli mereka itu dari golongan hitam atau putih, dari kelompok mana pun.
"Untuk mengusir penjajah dari tanah air kita, satu-satunya cara adalah bersatu padu di antara seluruh golongan. Bila kita bersatu padu, kita akan menjadi kuat dan pemerintah penjajah pasti dapat kita tumbangkan!" demikian antara lain ketua Pao-beng-pai berkata kepada para tamunya.
Pertemuan itu dibubarkan dengan kesan yang amat baik bagi para tamu. Pao-beng-pai mereka akui, bahkan kini semua orang tahu bahwa Pao-beng-pai dipimpin oleh keluarga yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Semua tamu lalu meninggalkan rumah besar di perkampungan Pao-beng-pai di Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) itu. Kecuali Yo Han dan Cia Ceng Sun!
Dua orang pemuda ini menerima undangan khusus dari pihak pimpinan Pao-beng-pai untuk tinggal selama beberapa hari di situ dengan alasan supaya perkenalan semakin menjadi akrab. Tentu saja hal ini amat menggembirakan hati Yo Han sebab dia memang ingin sekali memperoleh keterangan tentang penculik puteri bibinya yang dia harapkan dapat mendengar dari perkumpulan itu.
Juga Cia Ceng Sun merasa girang. Ia melihat bahwa Pao-beng-pai merupakan bahaya besar bagi pemerintahan kakeknya, maka sebagai seorang pangeran, dia berkewajiban untuk melakukan penyelidikan yang lebih mendalam agar dia memperoleh bahan untuk membuat pelaporan sehingga pemerintah dapat diselamatkan dan para pemberontak ini dapat dibasmi. Hanya ada sebuah hal yang membuat hati pangeran ini gelisah. Yaitu Siangkoan Eng! Dia merasa menyesal sekali, kenapa seorang gadis seperti itu menjadi puteri kepala pemberontak!
Dua orang pemuda itu masing-masing memperoleh sebuah kamar di bagian belakang, kamar yang cukup mewah. Dan biar pun mereka mendapatkan kamar sendiri, namun dua pemuda itu maklum bahwa diam-diam pihak keluarga tuan rumah selalu mengikuti gerak-gerik mereka.
Beberapa orang selalu memasang mata kalau mereka berada di dalam kamar. Hal ini membuat keduanya berhati-hati dan tidak berani sembarangan bertindak. Juga mereka maklum bahwa betapa pun ramahnya sikap keluarga tuan rumah, namun agaknya mereka masih belum percaya benar.....
********************
Pada senja hari itu, mereka duduk berdua saja di ruang depan. Yo Han dan Siangkoan Kok. Sudah dua hari Yo Han tinggal di rumah keluarga Siangkoan Kok dan dia mulai mengenal ketua itu sebagai seorang yang memiliki cita-cita besar, yaitu menumbangkan pemerintah Mancu.
Juga ketua itu mulai mengaku bahwa ia adalah keturunan keluarga Kerajaan Beng yang sudah dijatuhkan pasukan Mancu seratus tahun lebih yang lalu. Ketua Pao-beng-pai ini bercita-cita untuk membangun kembali Kerajaan Beng!
Yo Han melihat kenyataan bahwa yang dinamakan ‘perjuangan’ oleh Siangkoan Kok ini pada hakekatnya tiada lain hanyalah suatu usaha balas dendam dan ambisi pribadi. Alangkah banyaknya orang yang menggunakan kedok perjuangan, demi bangsa, demi rakyat dan sebagainya, yang pada hakekatnya menyembunyikan kepentingan pribadi.
Siangkoan Kok bukan berjuang melihat penderitaan rakyat, melainkan bercita-cita untuk merampas kembali kerajaan, dan tentu dia bercita-cita menjadi raja kalau dia berhasil membangun kembali Kerajaan Beng.
Perjuangan itu baru asli kalau dilakukan oleh seluruh rakyat sebagai akibat penderitaan atau penindasan. Perjuangan yang mengutamakan rakyat tapi tanpa mengikut sertakan rakyat sendiri, masih diragukan kemurniannya. Siangkoan Kok tidak mengajak rakyat, melainkan memiliki anak buah sendiri, dan merangkul orang-orang dari dunia persilatan, baik golongan hitam mau pun putih.
Akan tetapi bagaimana dengan rakyat jelata? Benarkah mereka itu kini dalam keadaan tertindas? Yang dia tahu, biar pun Kaisar Kian Liong seorang Mancu, namun dia dikenal sebagai seorang kaisar yang bijaksana, yang membangun dan berusaha memakmurkan rakyat, bukan dengan jalan penindasan. Karena itu, nama kaisar itu harum di kalangan rakyat, bukan sebagai kaisar penindas.
Yo Han setuju sekali jika pemerintah dipegang oleh bangsa sendiri, bukan oleh bangsa Mancu. Akan tetapi, dia tidak setuju kalau untuk menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah itu diadakan pemberontakan-pemberontakan kecil di sana sini yang bukan lain merupakan ambisi pribadi dari pemimpin-pemimpin kelompok yang tidak puas dan yang mencari kekuasaan bagi diri sendiri.
Pemberontakan kecil semacam itu hanya akan menyengsarakan rakyat belaka. Seperti halnya yang sudah-sudah, gerombolan pemberontak itu selalu mengganggu rakyat pula. Seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai, bahkan Thian-li-pang juga pernah menyeleweng.
Kalau perkumpulan yang bertujuan menumbangkan penjajah itu dimasuki orang-orang dari golongan sesat, sudah pasti akan terseret ke dalam kejahatan dan mengganggu rakyat dengan dalih perjuangan! Dan dia tidak setuju sama sekali!
Jika ada pemimpin sejati yang dapat membangkitkan rakyat untuk menentang penjajah, maka dia siap untuk berdiri di barisan terdepan! Akan tetapi karena kehadirannya di Pao-beng-pai bukan untuk urusan pemberontakan, melainkan dalam usahanya mencari jejak penculik puteri bibinya, ia pun tak banyak membantah ketika mendengarkan ketua itu bicara penuh semangat tentang gerakannya.
"Nah, bagaimana pendapatmu, Yo-sicu? Setelah engkau mendengarkan semua cita-cita dan rencanaku, bersediakah engkau bekerja sama dengan kami, baik engkau pribadi mau pun engkau sebagai pimpinan Thian-Li-pang? Kita akan berjuang bahu-membahu, menumbangkan penjajah dan kelak kita bersama pula yang akan memetik buahnya, kita yang akan menikmati hasilnya."
Nah, mulai tersembul sedikit setan itu, pikir Yo Han. Kita yang akan memetik buahnya, menikmati hasilnya! Jadi, apa yang dinamakan perjuangan itu hanya merupakan suatu cara untuk dapat mendatangkan atau menghasilkan buah yang nantinya bisa dinikmati! Dia menahan diri untuk tidak mengucapkan suara hatinya yang ingin membantah dan mencela.
"Pangcu (Ketua)..."
“Aihh, sesudah kita bergaul begini akrab sebagai kawan seperjuangan, engkau tak perlu lagi menggunakan sebutan yang asing itu. Sebut saja paman kepadaku, Yo Han!"
Hemmm, orang ini memang pandai mempergunakan orang lain, pandai memanfaatkan tenaga orang lain dengan sikap yang amat menyenangkan.
"Terima kasih, Paman Siangkoan Kok. Pengangkatan ketua di Thian-li-pang sendiri aku tolak. Bukan karena aku tidak suka kedudukan, melainkan karena aku ingin bebas agar aku dapat melakukan balas dendam untuk kematian ayah ibuku. Mereka tewas karena dijerumuskan oleh Setan Cilik (Siauw Kwi) Can Bi Lan! Sebaiknya aku dalam keadaan bebas dan tidak terikat dalam usahaku membalas dendam ini. Dan setelah aku berhasil membunuh Can Bi Lan beserta suaminya, mungkin saat itu barulah aku akan memimpin Thian-li-pang dan aku akan bekerja sama denganmu."
Siangkoan Kok mengangguk-angguk, lalu dua matanya menatap tajam wajah pemuda itu. "Yo Han, demikian besarkah kebencianmu terhadap Can Bi Lan dan Sim Houw?"
Yo Han balas memandang, memperlihatkan rasa heran dan alisnya berkerut. "Paman, kenapa Paman masih bertanya lagi? Kalau tidak karena ulah Can Bi Lan dan suaminya, dan seluruh anggota keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga, tentu sampai sekarang ibuku masih menjadi seorang tokoh kang-ouw yang disegani! Hemmm, kalau saja aku bisa mendapatkan seorang teman yang dapat dipercaya dan yang mempunyai ilmu kepandaian yang bisa diandalkan, ingin sekali aku mengajaknya untuk mendatangi suami isteri itu dan membunuh mereka!"
Ketua Pao-beng-pai itu tersenyum. "Heh-heh-heh, Yo Han, alangkah mudahnya engkau bicara! Mungkin kalau hanya Can Bi Lan atau Siauw Kwi, aku atau engkau akan mampu menandinginya bahkan mengalahkannya. Akan tetapi Sim Houw? Dia adalah Pendekar Suling Naga, dengan suling pedangnya yang terkenal di seluruh dunia dan sukar dicari bandingnya! Sungguh berbahaya sekali menghadapinya!"
"Aku tidak takut, Paman. Sudah pernah aku berusaha menyerbu mereka, akan tetapi aku seorang diri tidak mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, kalau saja aku dapat bertemu dengan seseorang yang kucari-cari dan sampai sekarang sayang sekali belum kutemukan, bersama dia rasanya sanggup aku membasmi keluarga Sim itu!" kata Yo Han penuh semangat.
"Hemmm, siapakah orang itu, Yo Han?"
"Namanya aku tidak tahu, Paman, bahkan aku juga tidak tahu apakah dia pria ataukah wanita. Yang kuketahui adalah bahwa dia pada dua puluh tahun yang lalu telah berhasil menculik puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan itu! Apakah Paman mengetahui siapa penculik itu?"
"Hemmm, apakah engkau datang ke sini sengaja hendak mencari penculik itu?"
"Memang telah lama sekali aku mencarinya, Paman. Aku mengunjungi pertemuan yang Paman adakan untuk mencari tahu tentang penculik itu, dan juga untuk mencari teman sehaluan."
"Kenapa engkau mencari penculik itu?"
"Karena, kalau dia sudah berani menculik puteri suami isteri itu, berarti dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan juga sangat membenci mereka. Nah, dengan orang seperti itu, kalau aku dapat mengajaknya, kiranya aku akan mampu untuk membalas dendam. Apakah Paman mengetahui siapa orangnya dan di mana aku dapat bertemu dan bicara dengannya?"
Yo Han sengaja menahan diri dan tidak bertanya tentang anak yang diculik, seolah dia tidak peduli dan tidak tertarik tentang anak itu. Yang diperlukan adalah si penculik untuk diajak kerja sama!
Ketua Pao-beng-pai menggeleng kepalanya. "Tentang penculikan itu pun baru sekarang aku mendengar darimu, Yo Han. Bahkan aku pribadi tidak pernah mempunyai urusan langsung dengan Sim Houw dan Can Bi Lan."
Yo Han mengerutkan alisnya, kecewa. "Kalau Paman tidak tahu, aku akan segera pergi dari sini untuk bertanya kepada tokoh-tokoh kang-ouw lainnya..."
"Nanti dulu, Yo Han. Kau bilang bahwa jika engkau sudah berhasil menemukan penculik itu dan kau ajak dia menyerang musuh-musuhmu, engkau akan memimpin Thian-li-pang dan bekerja sama dengan kami? Jika memang benar demikian, mungkin saja aku dapat membantumu. Anak buahku banyak, dan kami memiliki hubungan baik dengan dunia kang-ouw. Kalau kusebar mereka untuk melakukan penyelidikan, kiraku dalam waktu beberapa hari saja aku bisa menemukan siapa penculik itu."
"Terima kasih, Paman! Sebetulnya aku pun sudah mempunyai pikiran seperti itu, tetapi mana berani aku membikin repot Paman? Kalau Paman suka membantuku, sungguh aku merasa berterima kasih sekali dan aku pasti akan membalas budi itu dengan kerja sama!"
"Baiklah, aku akan membantumu. Sekarang juga akan kuperintahkan para anak buah Pao-beng-pai untuk mencari keterangan dan menyelidiki siapa adanya orang yang telah menculik anak dari Pendekar Suling Naga. Engkau tunggu saja dan tinggal di sini untuk beberapa hari lagi sampai kita mendapatkan hasilnya. Nah, mari kita minum, Yo Han!"
Mereka kemudian minum arak, dan tak lama kemudian Siangkoan Kok memanggil para pembantunya. Dia memerintahkan mereka menyebar anak buah untuk mencari berita tentang penculik anak Pendekar Suling Naga.
Sementara itu, pada senja hari itu juga, di dalam taman yang luas dari perkampungan Pao-beng-pai, nampak Siangkoan Eng berjalan-jalan bersama Cia Ceng Sun. Tidak ada seorang pun anggota Pao-beng-pai berani mengganggu atau mendekati kedua orang muda yang berjalan-jalan di taman sambil bercakap-cakap dan nampak akrab sekali itu. Memang kedua orang muda ini saling tertarik dan saling mengagumi.
Siangkoan Eng adalah seorang gadis yang hidup di tengah keluarga kang-ouw. Biar pun ayahnya seorang bekas bangsawan dan tetap berusaha sekuatnya untuk hidup seperti seorang bangsawan, namun karena lingkungannya adalah orang-orang kang-ouw yang menjadi anak buah ayahnya, maka dia sudah terbiasa hidup bebas tanpa ikatan segala macam peraturan.
Maka, sekarang dia dapat bergaul dengan Cia Ceng Sun dengan bebas tanpa rikuh dan sungkan. Bahkan ayah dan ibunya juga membiarkannya saja karena kedua orang tua ini tak keberatan kalau puteri mereka bergaul dengan seorang pemuda yang demikian baik seperti Cia Ceng Sun.
Setelah tiba di dekat kolam ikan yang indah, mereka lalu duduk di atas bangku panjang. Tempat itu memang sangat indah dan romantis. Bunga-bunga beraneka warna mekar semerbak. Di sana-sini telah dinyalakan lampu-lampu gantung beraneka warna pula dan pada pohon dekat kolam itu tergantung dua buah lampu berwarna kemerahan sehingga dalam keremangan senja, kedua orang muda-mudi itu nampak seperti diselimuti cahaya kemerahan.
"Kongcu, sesudah engkau berada di sini selama dua hari dua malam ini, bagaimana pendapatmu tentang keluarga kami, perkumpulan kami dan tempat ini?" Siangkoan Eng yang oleh ayah ibunya disebut Eng Eng dan oleh semua anak buahnya disebut Siocia (Nona) itu bertanya sambil menatap wajah pemuda yang tampan itu.
"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, bagaimana kalau engkau tidak menyebut aku kongcu (tuan muda) lagi? Terdengarnya begitu asing dan tak sepantasnya jika seorang gadis seperti engkau menyebut aku kongcu."
Eng Eng tersenyum. "Hemmm, engkau sendiri menyebut aku siocia (nona), tentu saja aku menyebutmu kongcu. Habis, kalau tidak menyebut kongcu, harus menyebut bagai mana?"
"Sebut saja kakak, dan aku akan menyebutmu adik. Bagaimana pendapatmu?"
"Tidakkah itu terbalik? Kurasa aku lebih tua darimu!"
"Tidak mungkin. Usiaku sudah dua puluh tiga tahun!"
"Kalau begitu sama, aku pun dua puluh tiga tahun. Baiklah, mulai sekarang, aku akan menyebutmu toako (kakak), Sun-toako."
"Dan aku akan menyebutmu Eng-moi (adik Eng)."
"Sun-toako..."
"Eng-moi..." Keduanya saling pandang dan tertawa gembira.
"Nah, sekarang kita merasa seperti adik kakak, bukan? Eng-moi, kini aku tidak merasa sungkan lagi untuk menanyakan hal-hal yang lebih bersifat pribadi, dan harap kau tidak marah kepadaku."
"Tanyalah, Toako."
"Engkau seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan gagah perkasa, puteri seorang ketua pula, dan usiamu sudah dua puluh tiga tahun. Akan tetapi kulihat engkau masih sendiri, belum berkeluarga sendiri. Kenapa, Eng-moi?"
Karena pandainya Cia Ceng Sun mengatur pertanyaan itu dengan sikap bersaudara dan kata-kata yang halus, Eng Eng tidak merasa tersinggung, walau pun kedua pipinya berubah kemerahan juga.
"Aih, itukah? Bagaimana aku dapat membangun rumah tangga sendiri kalau aku belum bertemu dengan orang yang cocok, Toako? Memang banyak pinangan terhadap diriku yang berdatangan, akan tetapi selama ini aku belum bertemu dengan seseorang yang berkenan di hatiku. Kalau aku sudah bertemu yang cocok, mengapa tidak? Dan engkau sendiri, bagaimana, Toako? Tentu engkau sudah berkeluarga dan mempunyai satu dua orang anak."
"Ha-ha-ha, dugaanmu keliru, Eng-moi. Seperti juga engkau, aku masih hidup sebatang kara, belum mendapatkan jodoh. Mungkin karena selama ini juga belum ada yang cocok bagiku seperti keadaanmu."
Hening sejenak, seakan keduanya sedang tenggelam dalam lamunan masing-masing. Sementara senja mulai ditelan keremangan menjelang malam tiba. Kemudian terdengar Eng Eng bicara lirih seperti kepada dirinya sendiri,
"Betapa serupa keadaan kita...," kemudian ia menghela napas panjang dan melanjutkan sambil memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah sinar matanya hendak menembus cuaca yang semakin remang. "Toako, wanita seperti apakah yang kiranya dapat kau anggap cocok untuk menjadi jodohmu?"
Mendengar pertanyaan ini dan melihat sikap gadis itu, berdebar rasa jantung Cia Ceng Sun. Dia merasa seperti ditodong dan rasanya sukar untuk mengelak atau menangkis. Sukar untuk tidak mengaku terus terang.
Sejak dia melihat gadis ini, dia sudah terpesona. Apa lagi setelah melihat sepak terjang gadis itu, kemudian sampai mereka mengadu ilmu, dia telah tergila-gila, dia telah jatuh cinta! Dengan kuat sekali perasaan ini menekannya dan terasa benar olehnya.
Biar pun dia tidak melupakan pesan ayahnya agar dia jangan jatuh cinta kepada wanita lain karena dia sudah ditunangkan dengan Si Bangau Merah, namun tetap saja dia tidak mampu menolak gelora hatinya, tidak dapat menipu diri sendiri. Dia jatuh cinta kepada Siangkoan Eng. Padahal, gadis ini adalah puteri seorang pemimpin pemberontak, masih keturunan keluarga kaisar Kerajaan Beng!
"Eng-moi, aku mau berterus terang saja, harap engkau tidak marah."
"Eh? Kenapa aku harus marah kalau engkau bicara terus terang tentang seorang wanita yang menurut pendapatmu cocok untuk menjadi jodohmu?"
"Eng-moi, setelah aku tiba di sini, bertemu denganmu, maka tahulah aku bahwa gadis yang kucari-cari untuk menjadi jodohku itu adalah... yang seperti engkau inilah..."
"Seperti aku? Apa maksudmu, Sun-ko?"
"Maksudku... ehhh, mana mungkin ada gadis yang sama denganmu. Maksudku, bahwa yang selama ini kucari-cari itu adalah engkau! Engkaulah gadis yang kuidam-idamkan menjadi jodohku. Eng-moi, tentu saja kalau engkau sudi menerimaku."
"Hemmm, engkau hendak meminangku? Kenapa? Apa karena aku seperti gadis dalam mimpimu?"
"Bukan begitu maksudku, ehh... ahhh, terus terang saja, sejak aku bertemu denganmu, aku terpesona dan aku jatuh cinta padamu, Eng-moi. Nah, aku sudah berterus terang, terserah kepadamu."
Hening pula, sekali ini agak lama dan keduanya menundukkan muka. Seakan lenyap semua kegagahan dan keberanian mereka. Untuk dapat mengangkat muka dan saling pandang pun merupakan hal yang bagi mereka membutuhkan keberanian besar sekali pada saat seperti itu.
Dan akhirnya, setelah beberapa kali meragu karena mendengar gadis itu berulang kali menghela napas panjang, Cia Ceng Sun memberanikan diri berkata, "Eng-moi, harap engkau suka memaafkan aku kalau aku menyinggung perasaanmu."
Memang sungguh aneh sekali pengaruh cinta terhadap diri seseorang. Cia Ceng Sun ialah Pangeran Cia Sun, cucu kaisar! Padahal, dalam kedudukannya sebagai pangeran, dengan kegagahan dan ketampanannya, biasanya seorang pangeran seperti dia tinggal menunjuk saja gadis mana yang disukainya dan gadis itu akan datang kepadanya, baik dengan suka rela mau pun atas kehendak orang tua si gadis.
Dan sekarang, dia bersikap seperti seorang pemuda yang malu-malu dan gelisah ketika menyatakan cintanya pada seorang gadis biasa, bukan puteri bangsawan, bukan puteri istana! Dan sikapnya ini bukan sekali-kali disesuaikan dengan penyamarannya sebagai pemuda biasa. Memang sesungguhnya dia merasa lemah dan tak berdaya menghadapi Siangkoan Eng!
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Toako. Sesungguhnya, aku sendiri merasa bahwa sekarang setelah bertemu denganmu, aku pun telah menemukan pria yang selama ini kuharapkan..."
Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya, malah menundukkan mukanya yang berubah merah. Biar pun Eng Eng seorang gadis yang gagah perkasa yang wataknya dingin dan aneh, namun kali ini ia merasa sedemikian malu dan salah tingkah sehingga jantungnya berdebar keras. Seluruh tubuhnya seperti panas dingin dan kedua kakinya gemetar!
"Eng-moi...!" Bukan main girangnya rasa hati Cia Ceng Sun mendengar pengakuan itu. Dia bukanlah seorang pemuda yang sama sekali belum pernah bergaul dengan wanita, walau pun dia bukan tergolong pemuda yang mata keranjang dan suka pelesir seperti para pangeran lainnya.
Mendengar pengakuan Siangkoan Eng yang sama sekali tidak pernah disangkanya, dia kemudian menggeser duduknya dan memegang kedua tangan gadis itu. Mereka saling berpegang tangan. Gadis itu mengangkat mukanya dan pandang matanya sayu, bahkan seperti hendak menangis. Keempat buah tangan yang saling berpegangan itu menggigil dan menggetar.
"Eng-moi, terima kasih, Eng-moi! Aihhh, engkau membuat aku berbahagia sekali. Aku cinta padamu, Eng-moi."
Biar pun Eng Eng amat mengharapkan kata-kata itu, tapi setelah diucapkan, ia merasa lucu dan ia pun tersenyum. "Sun-ko, kita baru dua hari ini berkenalan dan sudah saling mengaku cinta."
"Apa salahnya? Kita saling mencinta, baru bertemu sedetik pun apa bedanya? Aku akan mengirim wali untuk meminangmu kepada orang tuamu, Eng-moi."
"Aku hanya akan menunggu, Sun-ko..."
Hening kembali sejenak dan mereka masih saling berpegang tangan. Tetapi mendadak Cia Ceng Sun melepaskan tangannya dan menunduk, seperti orang melamun dengan alis berkerut.
"Kenapa, Koko?" tanya Eng Eng khawatir.
"Ada satu hal yang mengganjal hatiku, Eng-moi. Yaitu cita-cita ayahmu. Biar pun sejak kecil aku suka sekali mempelajari ilmu silat, akan tetapi aku tidak pernah dan tidak suka bermusuhan. Aku tak ingin terlibat pemberontakan terhadap pemerintah, juga tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun, maka tidak mungkin aku dapat membantu keluargamu. Aku lebih suka berterus terang, Eng-moi, dari pada berpura-pura dan palsu."
Gadis itu tersenyum dan kembali dia menangkap kedua tangan pemuda itu yang tadi melepaskan diri. "Koko, aku justru bangga sekali karena sikapmu yang berterus terang ini. Aku sendiri pun hanya melaksanakan kewajiban. sebagai puteri ayah. Aku tak peduli tentang perjuangan dan hanya membantu ayah sebagaimana patutnya seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya. Ada pun tentang permusuhan antara keluarga kami dengan tiga keluarga besar itu, aku sendiri sudah sering memberi tahu kepada ayah betapa tidak wajarnya memusuhi seluruh anggota keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga. Tidak wajar dan juga sangat berbahaya karena tiga keluarga besar itu mempunyai orang-orang yang sakti dan amat sukar untuk dikalahkan."
"Hemmm, mengapa ayahmu memusuhi mereka?"
"Menurut ayah, semenjak orang-orang Mancu menyerbu dan menumbangkan Kerajaan Beng, semua anggota keluarga-keluarga itu tak pernah menentang, bahkan membantu orang Mancu."
"Eng-moi, aku adalah orang yang menghargai kejujuran. Aku pun sudah berterus terang kepadamu mengatakan bahwa aku tidak mungkin dapat membantu ayahmu. Nah, bagai mana tanggapanmu, Eng-moi? Bila kita sudah berjodoh, maukah engkau meninggalkan ini semua dan tak lagi mencampuri urusan pemberontakan dan permusuhan, melainkan hidup dalam suasana tenteram dan damai di sampingku?"
"Koko, betapa sudah lama sekali aku merindukan ketenteraman dan kedamaian itu. Aku akan berbahagia sekali kalau hidup dengan tenteram dan damai di sampingmu, akan tetapi... tentu ayah dan ibu tidak akan mau membiarkan..."
"Percayalah kepadaku, Eng-moi. Aku yang akan melindungimu," berkata Cia Ceng Sun dengan sikap gagah.
Baru sekali ini selama hidupnya Eng Eng merasa lemah sekali dan amat membutuhkan perlindungan orang lain kecuali ayah ibunya. Ketika Cia Ceng Sun menariknya, dia pun merebahkan diri di atas dada pemuda itu, menyembunyikan mukanya di bawah dagu. Mereka pun tenggelam dalam kemesraan. Kelelep.....
********************
Komentar
Posting Komentar