SI TANGAN SAKTI : JILID-09
Sepasang mata Yo Han terbelalak. "Si Bangau Merah...?"
Pangeran itu tersenyum. "Ya, tunanganku adalah seorang gadis pendekar yang berjuluk Si Bangau Merah, namanya Tan Sian Li. Ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong dan ibunya adalah puteri bekas panglima Kao Cin Liong. Ia masih keturunan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Kenalkah engkau kepadanya, Twako?"
Yo Han dapat menenangkan kembali hatinya yang terguncang keras mendengar bahwa tunangan pangeran ini adalah Tan Sian Li, kekasihnya! Ia mendengar keterangan orang tua Sian Li bahwa kekasihnya itu sudah ditunangkan dengan seorang pangeran, akan tetapi siapa dapat menduga bahwa pangeran itu adalah pemuda ini, Cia Sun yang kini menjadi adik angkatnya?
"Aku mengenal nama besarnya. Cia-te, apakah engkau pernah melihatnya sekarang?" tanyanya.
Diam-diam dia membandingkan antara Sian Li dan Siangkoan Eng. Memang keduanya cantik jelita, keduanya memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi bagi dia, tentu saja Sian Li lebih hebat, lebih segala-galanya. Biar pun demikian, dia yakin bahwa jika pangeran ini sebelumnya telah melihat Sian Li, belum tentu dia akan mudah terpikat oleh gadis lain yang secantik Siangkoan Eng sekali pun.
"Sudah kukatakan tadi bahwa aku baru bertemu satu kali dengannya, itu pun saat kami masih remaja. Bahkan aku sudah hampir lupa bagaimana wajahnya, dan tidak tahu pula bagaimana wataknya."
"Cia-te, lanjutkanlah ceritamu. Sesudah engkau bertemu dengan kedua orang perwira pengawal itu, lalu bagaimana?"
"Selagi mereka bercakap-cakap dengan aku, mendadak saja muncul Eng-moi bersama empat orang pelayannya. Aku terkejut dan mencoba untuk memberi penjelasan. Akan tetapi dia sudah marah sekali, menganggap aku sebagai pangeran yang menjadi mata-mata dan tentu akan memusuhi Pao-beng-pai. Ia lalu merobohkan aku dan menawanku, sedangkan dua orang perwira itu diserang oleh empat orang pelayannya. Mereka tentu telah tewas. Nah, segala penjelasanku tidak diterima oleh ketua Pao-beng-pai mau pun Siangkoan Eng sendiri, dan aku lalu dimasukkan ke dalam kamar tahanan ini. Eh, belum lama aku berada di sini, engkau digotong masuk dalam keadaan pingsan."
Setelah saling mendengar pengalaman mereka yang diceritakan dengan sejujurnya itu, segera dua orang pemuda yang mengangkat saudara dalam keadaan aneh itu menjadi akrab sekali. Mereka bercakap-cakap saling menceritakan riwayat mereka.
Akan tetapi ada satu hal yang masih tetap dirahasiakan oleh Yo Han, yaitu mengenai hubungannya dengan Tan Sian Li, Si Bangau Merah yang menjadi tunangan pangeran itu. Dia merahasiakan hal ini karena dia tidak ingin menimbulkan suasana yang tak enak di antara mereka.
Kenyataan bahwa pangeran ini tidak saling mencinta dengan Sian Li, bahkan pangeran itu kini jatuh cinta kepada Siangkoan Eng, menimbulkan perasaan senang dan harapan baru dalam hatinya. Dan timbul pula tekad dalam hatinya untuk membantu pangeran itu supaya dapat melangsungkan perjodohannya dengan Siangkoan Eng. Tentu saja, tanpa dia sadari, tanpa dia sengaja, dibalik sikapnya ini terdapat dasar kuat dari hasrat hatinya agar pangeran itu dapat terlepas dari ikatannya dengan Sian Li.....
********************
Tengah malam telah lewat, akan tetapi Siangkoan Eng masih belum juga tidur. Ia sejak sore tadi mondar-mandir dalam kamarnya dengan wajah muram. Ia menderita tekanan batin dan kebingungan semenjak ia menangkap Cia Ceng Sun dan memasukkannya ke dalam kamar tahanan, kemudian melapor kepada ayahnya bahwa Cia Ceng Sun itu sebenarnya adalah seorang pangeran Mancu. Ayahnya marah bukan main.
"Jahanam, aku sudah curiga! Pantas dia enak saja menerima syaratku bahwa dalam pesta pernikahan harus hadir kaisar! Kiranya kaisar adalah kakeknya sendiri! Dia tentu datang untuk memata-matai kita! Celaka! Kalau begitu, bagus sekali bila engkau sudah menawannya, anakku. Kita dapat mempergunakannya sebagai sandera penting untuk melindungi diri kalau-kalau ada penyerangan dari pemerintah. Dan kalau dia sudah tidak ada gunanya lagi, akan kusiksa dia sampai mampus!"
Setelah Siangkoan Eng berada di dalam kamarnya sendiri, ucapan terakhir ayahnya itu selalu terngiang di telinganya. Cia Ceng Sun yang ternyata adalah Pangeran Cia Sun itu akan disiksa ayahnya sampai mati! Dan dia tidak dapat menipu diri. Dia tetap mencinta pemuda itu, pangeran atau pun bukan!
Apa lagi kalau ia teringat akan percakapannya dengan Cia Sun, teringat betapa pemuda itu berjanji akan membawanya ke dalam kehidupan yang tenteram penuh kedamaian, tak mau terlibat dalam pemberontakan dan permusuhan. Ia bahkan hampir yakin bahwa pemuda itu bukan datang untuk memata-matai Pao-beng-pei.
Akan tetapi, karena terkejut dan marah mendengar pemuda itu seorang pangeran yang menyamar sebagai pemuda biasa, ia telah menangkapnya. Sekarang pemuda itu sudah menjadi tawanan ayahnya, tawanan penting dan dia tidak mungkin dapat minta kepada ayahnya untuk mengampuni atau membebaskan Cia Sun.
Kini Siangkoan Eng menjatuhkan diri duduk di tepi pembaringan, wajahnya muram dan sedih hampir menangis. Dia bertepuk tangan dua kali, dan sesudah seorang pelayan menjawab dengan ketukan pada pintu dalam, dia memerintahkan pelayan itu memasuki kamar. Pelayan itu kelihatan heran melihat nonanya belum tidur.
"Panggil Sui Lan ke sini!" katanya singkat.
Pelayan itu mengangguk dan cepat keluar. Tak lama kemudian, terdengar ketukan daun pintu sebelah luar dan suara pelayan tadi melapor bahwa Nona Sui Lan telah datang.
"Sui Lan, masuklah!" berkata Siangkoan Eng.
Daun pintu depan terbuka dan masuklah seorang gadis cantik berusia dua puluh satu tahun. Gadis itu kelihatan baru bangun tidur, agaknya tadi sedang tidur ketika pelayan memanggilnya. Gadis bernama Tio Sui Lan ini adalah seorang murid yang pandai dari Siangkoan Kok dan merupakan teman bermain bagi Siangkoan Eng, juga menjadi orang kepercayaannya, bahkan juga sumoi-nya (adik seperguruan).
"Suci, tengah malam begini memanggilku, ada kepentingan apakah gerangan yang bisa kulakukan untukmu?" Dan karena mereka memang bergaul akrab, ia pun menghampiri lalu duduk di tepi pembaringan, di sebelah suci-nya itu.
"Duduklah, dan maaf kalau aku mengganggu tidurmu, Sui Lan."
"Aih, Suci, kenapa sungkan kepadaku? Engkau kelihatannya belum tidur, dan wajahmu kusut serta muram seperti orang bersedih. Ada apakah, Suci?"
Siangkoan Eng memegang lengan gadis manis itu. "Sumoi, engkau adalah orang yang paling kupercaya. Kini hatiku sedang risau. Engkau tahu sendiri bahwa pemuda yang tadinya kita kenal sebagai Cia Ceng Sun itu sudah ditunangkan denganku. Kami saling mencinta. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa dia seorang pangeran dan aku sendiri yang telah menawannya sehingga kini dia dikurung di dalam tahanan."
"Akan tetapi, itu sudah benar, Suci. Bukankah dia dapat menjadi orang berbahaya sekali dan sudah merugikan kita? Dia memata-matai kita dan dia bahkan sudah menipu Suci. Aku yakin bahwa cintanya pun hanya pura-pura."
"Diam! Jangan lagi berkata demikian atau aku akan lupa bahwa engkau sumoi-ku dan akan kuhajar kau!" mendadak Siangkoan Eng membentak dan gadis itu memandang dengan wajah pucat.
"Maafkan aku, Suci..."
Siangkoan Eng menghela napas panjang dan kembali dia memegang lengan gadis itu. "Engkaulah yang harus memaafkan aku. Aku begini bingung sehingga sangat mudah tersinggung. Ketahuilah, sampai detik ini aku tak dapat menghilangkan cintaku padanya, apa lagi membencinya. Aku yakin bahwa dia bukan mata-mata, dan dia benar-benar mencintaiku. Aku menyesal sekali telah terburu nafsu sehingga menangkapnya."
Diam-diam Siu Lan terkejut, akan tetapi ia tidak berani menyatakan pendapatnya, takut salah. Dia terharu karena suci-nya atau juga nonanya yang biasanya keras hati itu kini menjadi lemah oleh cinta!
"Akan tetapi, Suci sudah terlanjur menangkap dia, lalu hal apa yang dapat aku lakukan untukmu?"
"Engkau adalah satu-satunya murid ayah yang dipercaya oleh ayah. Semua anggota Pao-beng-pai juga tunduk padamu. Apa lagi baru saja engkau berjasa dalam menjebak dan menangkap Pendekar Tangan Sakti Yo Han, tokoh pimpinan Thian-li-pang itu. Nah, karena Cia Sun ditahan dalam satu kamar tahanan dengan Yo Han, maka aku minta engkau suka berkunjung ke sana dan melihat keadaan Cia Sun."
Sui Lan membelalakkan matanya. "Malam-malam begini? Saat ini sudah tengah malam, Suci. Lalu apa alasanku tengah malam begini berkunjung ke tempat tahanan?"
"Katakan saja kepada penjaga bahwa engkau sedang mendapat tugas dari ayah untuk mengamati penjagaan supaya kedua orang tahanan itu tidak sampai lolos. Perhatikan apakah Cia Sun telah diperlakukan dengan baik oleh para penjaga seperti yang sudah aku perintahkan kepada mereka, apakah ia mendapatkan makanan sepantasnya, bagai mana keadaannya. Kemudian, engkau harus dapat menyerahkan ini kepada Cia Sun tanpa diketahui penjaga." Siangkoan Eng menyerahkan sebuah surat yang dilipat-lipat menjadi kecil kepada sumoi-nya.
"Suci, engkau melibatkan aku dalam pekerjaan yang amat berbahaya, sebab kalau suhu tahu tentu aku akan dibunuhnya. Setidaknya, aku berhak mengetahui, apa yang akan kau lakukan agar aku dapat menyesuaikan sikapku. Aku pasti akan membantumu, Suci. Akan tetapi, apakah maksudmu memberiku tugas ini? Apa artinya semua ini dan apa rencanamu?"
Siangkoan Eng merangkul sumoi-nya. "Sumoi, kalau engkau berkhianat kepadaku dan melaporkan kepada ayah, aku akan celaka. Engkau saja yang dapat kupercaya. Aku memberi surat kepada Cia Sun, minta supaya dia bersiap-siap menyambut rencanaku malam ini."
"Dan apa rencanamu itu, Suci?"
Siangkoan Eng mengusir semua keraguannya. Memang berbahaya sekali. Kalau dia memberi tahu kepada sumoi-nya dan gadis itu melaporkan kepada ayahnya, bukan saja rencananya gagal, akan tetapi bahkan amat membahayakan keselamatan Cia Sun dan dia sendiri. Akan tetapi, dia tidak melihat jalan lain.
"Sumoi, setelah larut malam nanti, aku akan membebaskan Cia Sun."
Gadis itu terbelalak, kaget dan heran.
"Suci! Engkau yang menangkapnya dan melaporkannya kepada suhu, dan engkau pula yang kini akan membebaskannya. Bagaimana pula ini?"
"Sudahlah, Sumoi. Ini demi cintaku, dan untuk itu aku siap mempertaruhkan nyawaku. Maukah engkau membantuku? Atau engkau akan melaporkan kepada ayah?"
Sui Lan merangkul suci-nya. "Suci, engkau tahu bahwa aku menganggapmu bagaikan kakak sendiri. Aku hidup sebatang kara dan di dunia ini hanya engkaulah satu-satunya sahabatku, juga saudaraku. Percayalah, aku akan melaksanakan tugasmu dengan baik. Akan tetapi, dia satu kamar dengan orang she Yo itu. Bagaimana?"
"Justru aku ingin memanfaatkan dia. Kita tahu, ilmu silat Si Tangan Sakti itu amat hebat. Kalau mereka berdua melarikan diri bersama, aku yakin ayah sendiri tidak akan mampu menangkap mereka dan Cia Sun tentu akan dapat terbebas." Siangkoan Eng lalu turun dari pembaringan. "Nah, lakukanlah tugasmu, Sumoi. Hati-hati, jangan ada yang melihat ketika engkau menyerahkan surat itu karena kalau ketahuan penjaga, semua rencanaku dapat gagal sama sekali!"
"Percayalah padaku, Suci." Sui Lan meninggalkan kamar suci-nya dan setelah Sui Lan pergi, Siangkoan Eng duduk termenung.
Sementara itu, dengan langkah biasa Sui Lan pergi ke sebuah bangunan khusus yang berada di perkampungan Pao-beng-pai itu, bangunan yang digunakan sebagai tempat tawanan. Para penjaga tentu saja tidak melarang dia masuk, bahkan memberi hormat, apa lagi ketika Sui Lan mengatakan bahwa ia mendapat tugas khusus dari ketua untuk memeriksa keadaan tawanan.
Juga para penjaga sebelah dalam yang berlapis-lapis, semuanya mengenal baik siapa gadis ini. Murid tersayang dari Siangkoan Kok, sekaligus orang kepercayaan pimpinan Pao-beng-pai. Bahkan semua orang tahu bahwa Pendekar Tangan Sakti Yo Han, tokoh Thian-li-pang, dapat ditawan berkat pancingan nona ini.
Diam-diam Sui Lan meragukan kemungkinan berhasilnya rencana yang dibuat suci-nya. Bagaimana mungkin tawanan dapat lolos dari tempat ini? Selain penjagaan ketat yang berlapis-lapis, juga satu-satunya jalan keluar harus melalui rintangan-rintangan berupa jebakan-jebakan rahasia yang sukar ditembus.
Akhirnya tibalah ia di depan kamar tahanan yang berjeruji tebal itu. Dan ia melihat dua orang tawanan itu sedang duduk bersila, saling berhadapan dan mengobrol! Kelihatan mereka demikian tenangnya! Pangeran itu bahkan nampak gembira. Ketika ia berdiri di depan jeruji kamar itu, mereka berdua menoleh kemudian memandang dirinya.
Melihat Sui Lan, Yo Han lalu tersenyum masam. "Nah, itulah dia gadis lihai yang sudah digunakan sebagai umpan sehingga aku terjebak," kata Yo Han tanpa terdengar suara atau pandang mata yang membenci gadis itu.
Sesuai dengan perintah suci-nya, Sui Lan memperhatikan keadaan dua orang tawanan itu, terutama Cia Sun. Dia melihat betapa mereka dalam keadaan sehat, bahkan wajah mereka sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut atau murung. Jelas bahwa mereka diperlakukan dengan baik oleh para penjaga seperti yang telah diperintahkan suci-nya.
Sui Lan memberi isyarat kepada para penjaga untuk menjauh. Mereka mentaati, akan tetapi tentu saja memandang dari jauh sambil mendengarkan. Sui Lan mengambil sikap seperti orang mengejek.
"Hemmm, kalian sudah tertangkap seperti dua ekor tikus, masih berlagak. Akuilah saja bahwa kalian sudah memata-matai Pao-beng-pai. Benar, tidak? Kalian menyamar dan berpura-pura, sungguh licik dan pengecut!"
Sui Lan sengaja mengejek dan memaki dengan suara nyaring sehingga terdengar oleh para petugas yang melakukan penjagaan di bagian terdalam tempat itu.
Yo Han tersenyum. Dia seorang yang cerdik dan dia melihat sikap yang tidak wajar dari gadis itu, bahkan dapat merasakan betapa suara gadis itu sengaja ditinggikan supaya terdengar oleh semua orang. Apa yang tersembunyi di balik sikap yang disengaja itu? Pasti ada! Karena itu, dia segera menanggapi, disesuaikan dengan sikap gadis itu yang sengaja menghina mereka. Kesengajaan yang dapat dia lihat dari suara dan sikap gadis itu yang tidak sewajarnya.
"Aha, kiranya engkau gadis palsu, gadis licik dan curang! Bukannya kami yang curang, melainkan Pao-beng-pai. Kalau tidak licik, pengecut dan curang, coba bebaskan kami dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!"
Sui Lan semakin marah. "Jahanam! Engkau telah merobek bajuku, engkau pun melepas sepatuku. Engkau laki-laki mesum dan kurang ajar! Kalau tidak dihalangi suhu, tentu engkau sudah kubunuh!"
"Ha-ha-ha, engkau mampu membunuhku? Kita lihat saja!" kata Yo Han.
Cia Sun memandang kakak angkatnya itu dengan mata terbelalak. Ia mengenal Yo Han tidak seperti itu! Begitu kasar kata-katanya terhadap seorang gadis!
"Keparat busuk, rasakan dan makan jarumku ini!"
Tangan kiri gadis itu bergerak dan sinar lembut meluncur ke dalam kamar tahanan itu melalui celah-celah jeruji yang cukup lebar. Jika dipandang oleh para penjaga dari jauh, jelas bahwa gadis itu menyerang Yo Han dengan jarum rahasia yang ampuh!
Akan tetapi, Yo Han menangkap sinar putih yang menyambarnya, dan menyimpannya ke dalam saku bajunya dengan kecepatan yang tidak dapat terlihat oleh para penjaga. Memang jarum yang disambitkan Sui Lan, namun jarum yang membawa lipatan kertas kecil!
Melihat sambitannya tidak mengenai sasaran, Sui Lan memaki-maki lalu meninggalkan tempat itu, memesan kepada para penjaga agar menjaga dengan ketat. "Kecuali Suhu sendiri, suci Siangkoan Eng, dan aku sendiri, siapa pun dilarang memasuki tempat ini! Mengerti?!" bentaknya kepada para penjaga sebelum ia pergi dari situ.
Dua jam kemudian, malam sudah sangat larut dan hawa yang dingin membuat semua orang mengantuk. Demikian pula para penjaga di bangunan tempat tahanan itu. Akan tetapi mereka tidak berani tidur dan melakukan penjagaan ketat secara bergantian.
Ketika Siangkoan Eng muncul dan membentak para penjaga yang sedikit mengantuk, mereka terkejut dan cepat mengambil sikap tegak dan siap. Sikap Siangkoan Eng galak terhadap para penjaga. Dia memarahi setiap orang penjaga yang kelihatan mengantuk atau habis tidur.
"Kalian tak boleh lengah sedikit pun! Dua orang tawanan ini amat lihai dan amat penting. Kini aku harus memeriksa segala kemungkinan, jangan sampai mereka lolos!" katanya dengan suara galak.
Suaranya terdengar sampai kamar tahanan di mana kedua orang pemuda itu sedang duduk bersila. Mendengar suara ini, berubah wajah Cia Sun dan jantung kedua orang tawanan itu berdebar tegang.
Tidak lama kemudian, setelah memeriksa di sepanjang jalan, tibalah Siangkoan Eng di lorong terakhir yang menuju ke kamar-kamar tahanan. Dua belas orang penjaga lorong itu menyambut dengan sikap yang tegak dan siap.
"Tidak ada yang tertidur di antara kalian?" bentak Siangkoan Eng.
"Tidak, Nona."
"Bagus! Siapa yang memegang kunci kamar tahanan?” bentaknya pula. "Ia mempunyai tanggung jawab yang amat penting!"
"Saya, Nona!" kata seorang di antara para penjaga yang bertubuh tinggi besar, bermuka bopeng, yaitu kepala regu yang menjaga kamar tahanan dan lorong itu. "Apakah sudah kau periksa benar bahwa pintu itu terkunci rapat?"
"Sudah, Nona."
"Berikan kuncinya kepadaku. Hendak aku periksa sendiri!" kata Siangkoan Eng. "Awas kau kalau menguncinya tidak benar!"
"Silakan, Nona!" kata si bopeng sambil menyerahkan sebuah kunci yang besar.
Karena sikap Siangkoan Eng yang amat galak dan keras itu, para penjaga nampak takut kepadanya, tak berani mendekat sehingga ketika gadis itu menghampiri pintu jeruji besi kamar tahanan, para penjaga hanya melihat dari jarak sepuluh meter.
Pada saat gadis itu menghampiri pintu jeruji, mereka melihat betapa dua orang tawanan itu tidur di lantai, di tengah kamar, agak mendekat pintu. Mereka tidur mendengkur, dan Siangkoan Eng mencoba kunci pintu, apakah terkunci dengan benar atau tidak.
Pada saat itu, dua orang tawanan itu bergerak cepat bagaikan kilat dan Yo Han sudah menotok gadis itu melalui celah jeruji, lantas mencengkeram pundaknya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mengancam lehernya. Cia Sun juga cepat mencabut pedang yang terselip di pinggang Siangkoan Eng, lalu menghardik kepada para penjaga yang berloncatan mendekat.
"Semua berhenti dan jangan ada yang bergerak. Kalau ada yang bergerak, kami akan membunuh Siangkoan Eng!"
Bentakan itu berpengaruh karena para penjaga yang dua belas orang banyaknya itu tak berani berkutik, seperti telah berubah menjadi arca di tempat masing-masing. Tentu saja mereka tidak menghendaki nona mereka dibunuh.
Nampaknya nona mereka memang sama sekali tidak dapat menyelamatkan diri. Sudah ditotok, dicengkeram lagi. Dan mereka semua juga tahu atau sudah mendengar betapa lihainya dua orang tawanan itu, terutama sekali Yo Han yang kini mencengkeram nona mereka.
Cia Sun merampas kunci dan melalui celah jeruji, dia membuka kunci pintu, lalu mereka berdua keluar. Yo Han menelikung kedua lengan gadis itu ke belakang punggung, lalu membebaskan totokannya.
"Hayo antar kami keluar. Bergerak sedikit saja melawan, lehermu akan kupatahkan!" katanya geram.
Siangkoan Eng kelihatan terkejut dan marah, akan tetapi dia pun tahu bahwa dia tidak berdaya. Ketika melihat para penjaga memandangnya dengan bingung, dia pun berkata gemas, “Biar mereka lewat. Lain kali masih ada kesempatan bagi kita untuk menangkap mereka kembali dan kalian akan mendapat bagian menyiksa mereka!"
Para penjaga terpaksa membiarkan gadis itu digiring keluar oleh dua orang tawanan itu. Demikian pula para penjaga di tengah dan di luar, tidak ada yang berani berkutik melihat nona mereka diancam seperti itu. Siangkoan Eng juga menyuruh mereka mundur dan membiarkan dua orang tawanan itu lewat sambil mengeluarkan ancaman bahwa kelak mereka semua pasti akan dapat menangkap kembali dan membalas kedua orang itu.
Karena menggiring Siangkoan Eng, tentu saja para penjaga tidak berani menggunakan alat rahasia untuk menjebak. Nona mereka terancam dan sekali menggerakkan tangan, kedua orang tawanan itu dapat membunuhnya dengan mudah. Tentu saja mereka tidak berani berkutik, bahkan membunyikan tanda bahaya pun tidak berani. Apa lagi nona mereka sudah memerintahkan agar mereka tidak melawan dan membiarkan dua orang tawanan itu lewat.
Karena tidak ada penjaga yang berani menghalangi, dengan sangat mudahnya Yo Han dan Cia Sun dapat keluar dari perkampungan Pao-beng-pai itu menggiring Siangkoan Eng. Setelah mereka keluar dari pintu gerbang, barulah para penjaga berani berlari-lari untuk memberi laporan kepada Siangkoan Kok.
Akan tetapi, ketika Siangkoan Kok terbangun dan terkejut, juga marah sekali mendengar betapa kedua orang tawanan itu lolos bahkan menggiring Siangkoan Eng yang dibuat tidak berdaya, kedua orang tawanan itu telah lari jauh.
Setelah tiba di luar pintu gerbang, agak jauh di tempat sepi, Yo Han melepaskan kedua tangan Siangkoan Eng.
"Eng-moi..." Cia Sun memegang kedua lengan gadis itu.
Siangkoan Eng memandang dengan muka sedih, kemudian berkata dengan suara lirih, "Engkau pergilah..."
"Eng-moi, mengapa engkau tidak ikut kami saja pergi meninggalkan neraka itu?" bujuk Cia Sun.
"Neraka itu tempat tinggal ayah ibuku, Koko. Bagaimana aku dapat meninggalkan ibuku begitu saja? Tidak, kalian pergilah cepat sebelum ayah dan para anggota Pao-beng-pai datang."
"Eng-moi, aku bersumpah akan kembali dan membawamu sebagai isteriku. Aku cinta padamu, Eng-moi."
"Aku pun cinta padamu, tidak peduli engkau ini pangeran atau pengemis...,” Siangkoan Eng berkata dalam isaknya, akan tetapi isaknya terhenti ketika Cia Sun, tanpa sungkan dan malu di depan Yo Han, merangkul dan menciumnya.
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut yang datangnya dari perkampungan itu hingga mereka berdua saling melepaskan rangkulan.
"Pergilah sebelum terlambat," kata Siangkoan Eng.
"Benar, Cia-te, kita harus cepat-cepat pergi. Nona, maafkan kami, terpaksa aku harus menotokmu."
"Silakan," kata Siangkoan Eng.
Yo Han cepat menotok gadis itu sehingga lemas tak mampu bergerak, bahkan dia pun menotok mulutnya sehingga gadis itu tidak dapat bersuara pula. Cia Sun menyambut tubuh yang lemas itu agar tidak terjatuh, lalu merebahkannya telentang di atas rumput. Setelah menciumnya sekali lagi, Cia Sun terpaksa melompat dan mengejar Yo Han yang sudah lari terlebih dahulu karena kini terdengar langkah kaki orang-orang berlari datang dan nampak pula mereka membawa obor.
Siangkoan Kok dan isterinya yang memimpin para anak buah Pao-beng-pai melakukan pengejaran, menemukan puteri mereka dalam keadaan telentang di atas rumput, tanpa dapat bersuara mau pun bergerak. Dengan marah Siangkoan Kok memerintahkan anak buahnya mencari dan melakukan pengejaran sampai ke bawah bukit, sementara dia dan isterinya membebaskan totokan pada diri Siangkoan Eng.
Dengan muka merah dan mata berkilat menahan kemarahannya, Siangkoan Kok yang tak mau ribut-ribut memarahi puterinya di tempat terbuka, kemudian mengajak isteri dan puterinya kembali ke rumah mereka, dan memerintahkan semua anak buahnya untuk terus mencari.
Sekarang mereka bertiga berada di dalam rumah, di ruangan dalam di mana tidak ada pelayan yang boleh masuk. Semua pelayan diperintahkan untuk keluar dari ruangan itu, dan mereka menanti di luar dengan wajah pucat karena mereka maklum bahwa ketua mereka marah bukan main.
"Nah, sekarang katakanlah terus terang, apa yang sudah kau lakukan!" Siangkoan Kok membentak puterinya yang telah duduk di samping ibunya.
Siangkoan Eng mengangkat muka menatap wajah ayahnya, sedikit pun tidak merasa takut walau pun ia tahu bahwa ayahnya marah sekali karena kedua orang tawanan itu dapat meloloskan diri.
"Apa yang harus kukatakan, Ayah? Tadi, untuk merasa yakin bahwa dua orang tawanan itu tidak dapat melarikan diri, aku memeriksa tempat tawanan itu. Mendadak, ketika aku memeriksa kunci pintu kamar tahanan itu, Pendekar Tangan Sakti yang tadinya kukira tidur pulas, meloncat dan telah menyergapku melalui celah jeruji besi. Gerakannya tak terduga dan cepat bukan main sehingga aku dapat ditotoknya. Mereka membuka piritu dengan kunci setelah membuat aku tidak berdaya, dan mengancam para penjaga untuk membunuhku apa bila mereka mencoba menghalangi larinya kedua orang tawanan itu. Nah, setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, mereka lalu menotok dan meninggalkan aku, sampai Ayah menemukanku."
"Kau bohong! Kau pembohong besar!" Siangkoan Kok membentak dan matanya melotot lebar.
Dalam kemarahannya, pria yang tinggi besar dan gagah ini kelihatan semakin besar dan garang menyeramkan. Akan tetapi Siangkoan Eng tenang-tenang saja.
"Ayah, kenapa Ayah mengatakan aku bohong? Untuk apa aku berbohong? Kenapa aku harus membohongi Ayah?"
"Mengapa…?! Karena engkau sudah jatuh cinta kepada pangeran Mancu itu! Karena engkau sudah tergila-gila padanya! Tak tahu malu, merendahkan diri tergila-gila kepada seorang pangeran Mancu!"
"Hemmm, apa alasan Ayah menuduhku berbohong?"
"Apa alasannya…?! Bocah murtad, pengkhianat! Seumur hidupku, belum pernah aku melihat engkau sedemikian penakut dan bodoh sehingga dapat dikelabui musuh, dapat disergap dan ditundukkan dari dalam kamar tahanan, lalu sedemikian penakut sehingga ketika engkau ditawan dan digiring keluar, engkau memerintahkan para anak buah kita untuk membiarkan kedua orang itu pergi! Kau boleh mengelabui orang lain, akan tetapi tidak mungkin mampu membohongi aku! Aku sudah sangat mengenal watakmu. Engkau tak mengenal takut, engkau cerdik, tak mungkin dapat ditundukkan dua orang tawanan semudah itu, kecuali kalau engkau memang sengaja hendak membantu mereka lolos!"
"Itu hanya dugaan Ayah belaka. Mana buktinya?" tantang Siangkoan Eng yang memang sejak kecil digembleng oleh ayah ibunya agar tidak mengenal takut.
"Bocah setan. Engkau masih mau menantangku untuk menunjukkan bukti? Kau kira aku belum melakukan penyelidikan dan belum membongkar rahasiamu yang busuk dan memalukan?" Siangkoan Kok membentak ke arah pintu memanggil pelayan dan ketika seorang pelayan wanita masuk dengan sikap takut-takut, dia membentak, "Panggil Sui Lan ke sini! Cepat!!"
Pelayan itu lari tunggang langgang dan diam-diam Siangkoan Eng terkejut. Apakah Sui Lan telah mengkhianatinya dan melapor kepada ayahnya? Rasanya hal itu tak mungkin terjadi. Ia hampir yakin akan kesetiaan sumoi-nya itu kepadanya.
Tidak lama kemudian Sui Lan masuk dan memberi hormat kepada suhunya. Dengan suara biasa ia berkata seperti orang melapor, "Maaf, Suhu. Sudah teecu (murid) dengar dari laporan anak buah bahwa pencarian itu tidak berhasil..."
“Diam kau!" Siangkoan Kok membentak. "Jangan bicara kalau tidak kutanya, dan setiap jawaban harus kau jawab sejujurnya!"
"Baik, Suhu."
Gadis itu pun lalu duduk di atas bangku yang ditunjuk oleh gurunya. Berbeda dengan Siangkoan Eng yang nampaknya masih tenang, Tio Sui Lan kelihatan agak pucat dan matanya mengandung kegelisahan ketika melihat kemarahan gurunya.
Setelah melihat muridnya yang sebenarnya merupakan murid yang paling disayangnya itu duduk, Siangkoan Kok lalu menghadapi puterinya lagi. Dia tetap berdiri, bagaikan gunung karang di depan puterinya yang duduk di samping ibunya. Lauw Cu Sin, wanita berusia empat puluh lima tahun yang masih cantik itu, mengerutkan alisnya dan hanya mendengarkan, pandang matanya juga gelisah.
"Nah, sekarang Sui Lan telah berada di sini. Eng Eng, apakah engkau masih tidak mau mengakui pengkhianatan terhadap Pao-beng-pai dan bahwa engkau sudah membantu kedua orang itu membebaskan diri?"
"Ayah hanya menuduh tanpa bukti," kembali Siangkoan Eng atau Eng Eng membantah, sikapnya tetap berani.
"Brakkkk…!!"
Meja di samping kirinya dihantam tangan kiri Siangkoan Kok sehingga papan meja itu hancur berkeping-keping.
"Engkau masih berani mengatakan aku menuduhmu tanpa bukti? Anak durhaka, dengar baik-baik. Aku telah menyelidiki dan menanyai para penjaga. Dua jam sebelum engkau muncul, si iblis cilik Sui Lan ini sudah datang lebih dahulu ke tempat tahanan, memasuki tempat tahanan dan mengatakan kepada para penjaga bahwa aku sengaja memerintah dia agar menjaga para tawanan. Para penjaga lalu melihat Sui Lan cekcok dengan para tahanan, kemudian ia menyambitkan jarum ke arah para tahanan. Para penjaga melihat berkelebatnya sinar putih halus! Sui Lan, jawab. Benarkah itu?"
"Benar, Suhu. Teecu marah dan menyerang orang she Yo dengan jarum teecu dan..."
"Bohong! Ingin kau kurobek mulutmu? Mana mungkin jarum rahasiamu bersinar putih? Tentu bukan jarum yang kau sambitkan, melainkan surat, gulungan kertas atau alat lain untuk mengirim pesan!"
"Suhu..."
"Diam!"
Tangan Siangkoan Kok menyambar ke arah muridnya sehingga gadis itu terpelanting dari bangkunya dan bajunya robek lebar memperlihatkan sebagian dadanya. Sui Lan bangkit dan berlutut sambil membetulkan letak bajunya. Untung gurunya tidak berniat membunuhnya sehingga ia tidak terluka.
"Eng Eng, engkau masih hendak membantah? Engkau sudah mengirim pesan lewat Sui Lan kepada pangeran Mancu itu. Kemudian, dua jam setelah itu, engkau sendiri yang datang berkunjung ke sana, berpura-pura melakukan pemeriksaan dan sengaja engkau membiarkan dirimu dibuat tak berdaya! Engkau bahkan membantu mereka lolos karena engkau sudah tergila-gila kepada seorang pangeran Mancu. Tak tahu malu!"
Kini tahulah Eng Eng bahwa Sui Lan tidak berkhianat. Rahasianya
terbongkar semata-mata karena kecerdikan ayahnya yang memang luar biasa.
Ia menghela napas panjang.
"Ayah, aku melakukan hal itu demi menjaga baik nama Ayah."
Mata itu melotot. "Apa kau bilang? Menjaga nama baikku?" Karena heran, maka untuk sementara kemarahannya tertunda.
"Ayah adalah ketua Pao-beng-pai yang baru saja mengenalkan diri kepada para tokoh kang-ouw, dikenal sebagai pemimpin perkumpulan patriot yang gagah perkasa. Akan tetapi, Ayah sudah menawan Pendekar Tangan Sakti secara curang. Bagaimana kalau sampai terdengar dunia persilatan? Apa lagi aku yakin bahwa Pangeran Cia Sun bukan seorang mata-mata Mancu. Biar pun dia pangeran Mancu, akan tetapi dia bukan mata-mata, melainkan seorang pemuda yang ingin meluaskan pengetahuan dan pengalaman di dunia kang-ouw. Mana mungkin seorang pangeran melakukan pekerjaan mata-mata yang berbahaya? Tentu keluarganya tidak akan menyetujuinya."
"Cukup! Katakan saja engkau tergila-gila kepada pangeran Mancu itu!"
Siangkoan Eng yang yakin bahwa ayahnya amat menyayangnya dan tidak mungkin dia sampai terancam malapetaka oleh tangan ayahnya, kemudian menjawab dengan sama lantangnya, "Tidak kusangkal, Ayah. Memang aku mencinta Cia Sun dan dia pun amat mencintaku. Akan tetapi, bukankah Ayah juga sudah menerima pinangannya, menerima pula tanda pengikat perjodohannya, dan bahkan Ayah mengajukan syarat yang sudah disanggupinya? Apakah Ayah ingin menarik kembali janji dan ucapan Ayah?"
"Jahanam kau! Kau ingin Ayah mempunyai mantu seorang pangeran Mancu?"
"Mengapa tidak, Ayah? Dia pangeran biasa, bukan calon kaisar!"
"Keparat, anak durhaka, engkau memang patut dihajar!" bentak Siangkoan Kok dan dia pun menerjang ke depan, tangannya terayun memukul ke arah kepala Eng Eng.
Gadis itu terkejut. Ia sama sekali tak pernah menduga bahwa ayahnya akan sedemikian marahnya sehingga mau memukulnya, hal yang selama ini belum pernah dilakukan oleh ayahnya. Yang mengejutkan hatinya adalah ketika melihat betapa tangan ayahnya itu memukul ke arah kepalanya. Pukulan maut!
Kalau kepalanya terkena pukulan itu, tentu akan pecah dan ia pun akan tewas seketika! Otomatis, sebagai seorang ahli silat yang gerakannya serba otomatis, dengan cepat dia menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis karena untuk mengelak, ia tidak berani dan hal itu tentu akan membuat ayahnya menjadi semakin marah.
"Desss...!!"
Meski ia telah menangkis, karena ia tidak berani pula mengerahkan seluruh tenaganya, hantaman ayahnya itu tetap saja hebat bukan main. Tenaga yang dahsyat menerpa dan menerjang dirinya sehingga membuat kursi yang didudukinya patah-patah dan tubuhnya terjengkang sampai berguling-guling. Sungguh hal ini tidak disangkanya sama sekali.
Kepalanya terasa pening, dadanya pun nyeri karena hawa pukulan itu menerjang masuk lewat lengannya. Dari mulutnya keluar darah segar dan Eng Eng yang kemudian rebah menelungkup itu, menggerakkan tubuh telentang dan ia bertopang pada siku kanannya. Ia kemudian mengangkat tangan kiri ke arah ayahnya, bibirnya berdarah dan matanya terbelalak.
"Ayah...?!" terkandung penasaran, keheranan dan kekagetan dalam suara itu.
Melihat keadaan Eng Eng, kemarahan Siangkoan Kok bukan mereda, namun menjadi semakin marah karena tangkisan puterinya tadi dianggapnya sebagai perlawanan.
"Engkau memang patut dibunuh!" bentaknya lagi dan dia sudah mencabut pedangnya, menerjang ke depan dan mengayun pedangnya untuk memenggal leher Eng Eng yang masih bertopang pada sikunya.
"Singgg...! Tranggg...!"
Pedangnya tertangkis pedang lain dan dia cepat meloncat ke belakang. Mukanya merah sekali saat ia melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah isterinya sendiri, Lauw Cu Si! Wanita cantik itu berdiri dengan pedang di tangan, dan dengan mata mencorong ia menghadapi suaminya.
"Engkau harus melangkahi mayatku terlebih dulu jika hendak membunuhnya!" katanya, suaranya tenang akan tetapi mengandung ancaman yang mengerikan.
Kalau saja yang menantang itu orang lain, tanpa banyak cakap lagi tentu Siangkoan Kok akan membunuhnya. Akan tetapi, isterinya adalah keturunan Beng-kauw. Biar pun Beng-kauw telah hancur, namun di dunia persilatan masih terdapat banyak sekali bekas tokoh Beng-kauw yang lihai sekali. Kalau dia membunuh isterinya, apa lagi tanpa sebab yang kuat, tentu dia akan berhadapan dengan banyak musuh yang amat berbahaya dan ini berarti akan melemahkan Pao-beng-pai.
Melihat keraguan ayahnya, Eng Eng yang masih merasa sesak dadanya dan kini sudah bangkit duduk berkata memelas. "Ayah, bukankah aku ini anakmu, darah-dagingmu? Seekor binatang buas sekali pun tidak akan membunuh anak sendiri..."
"Dia bukan ayahmu! Engkau bukan anaknya!" Tiba-tiba Lauw Cu Si berkata dan wajah Eng Eng seketika pucat sekali, matanya terbelalak dan hampir ia jatuh pingsan.
"Ibu... dia... dia bukan ayahku...?" Ia berbisik-bisik berulang-ulang. Ibunya sudah berlutut dan merangkulnya.
"Tenanglah, tidak akan ada manusia di dunia ini dapat membunuhmu tanpa melangkahi mayatku!" kata ibu itu sambil merangkul puterinya dan memandang suaminya dengan sinar mata menantang.
Siangkoan Kok menjadi merah sekali mukanya. "Baiklah, kalian ibu dan anak memang jahanam! Memang kau bukan anakku! Ketika menjadi isteriku, ibumu telah membawa engkau! Seorang gadis sudah mempunyai anak tanpa ayah. Huh, perempuan macam apa itu! Dan sekarang, kalian hendak mengkhianati aku!"
Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok menyarungkan pedangnya, kemudian hendak melangkah keluar. Akan tetapi dia melihat Sui Lan yang masih berlutut dengan muka pucat dan baju robek.
"Engkau juga mengkhianatiku. Mestinya engkau kubunuh! Akan tetapi, aku tidak akan membunuhmu, tetapi mulai sekarang, engkau menggantikan perempuan laknat itu dan melayaniku sebagai isteriku!" Sekali tangannya bergerak dia telah menyambar tubuh Sui Lan dan memondongnya keluar dari kamar itu.
"Tidak, Suhu...! Jangan, Suhu...! Tidaaaaakkk...!"
Gadis itu menjerit-jerit, namun Siangkoan Kok tidak peduli dan melangkah lebar menuju ke kamarnya sendiri, menutupkan daun pintu dengan keras dan tangis Sui Lan semakin sayup terdengar.
"Ibu... ahh, Ibu... aku… aku harus menolong sumoi...," Eng Eng mencoba untuk bangkit berdiri, akan tetapi ia terhuyung dan jatuh ke dalam rangkulan ibunya.
"Hemmm, apa yang dapat kau lakukan, Eng Eng? Marilah kurawat lukamu, kita masuk ke kamarmu. Aku tidak sudi lagi memasuki kamar yang tadinya menjadi kamar kami itu. Mulai sekarang aku pindah ke kamarmu."
"Tapi, Ibu...! Kasihan Sui Lan. Ibu, tolonglah sumoi. Setidaknya, ayah... ahh, suami Ibu masih memandang muka Ibu. Tolonglah, cegahlah agar sumoi tidak menjadi korban."
Ibunya menggoyang kedua pundak, sikapnya acuh saja. Ia adalah seorang bekas tokoh besar Beng-kauw, sebuah perkumpulan sesat. Ia adalah seorang tokoh sesat sehingga peristiwa seperti itu tidak ada artinya baginya. Ia tidak peduli seujung rambut pun.
"Tidak ada sangkut pautnya dengan aku. Kalau dia hendak membunuhmu, barulah aku akan bangkit. Akan tetapi Sui Lan? Huh, aku tahu bahwa sudah lama Siangkoan Kok memandang padanya penuh birahi. Agaknya sekarang ini kesempatan baginya. Sui Lan bersalah, kalau aku mencegahnya sekali pun, tentu dia akan dibunuh gurunya. Biarlah, jangan ambil peduli!" Ibu itu menarik Eng Eng ke kamar puterinya yang berada agak jauh di samping kiri.
Eng Eng menangis karena merasa tidak berdaya. "Lebih baik dia mati... lebih baik dia mati..." Ia berulang-ulang berbisik, akan tetapi ibunya tidak mempedulikannya dan tetap melanjutkan membawanya ke kamar.
Eng Eng mencoba untuk mengusir bayangan sumoi-nya yang meronta-ronta dalam pondongan pria yang selama ini dianggapnya ayahnya, ditaatinya dan disayangnya.
"Ibu, kenapa selama ini Ibu tidak pernah memberi tahu kepadaku bahwa dia itu bukan ayahku?" tanya Eng Eng ketika ibunya memeriksa tubuhnya, lalu menyalurkan tenaga sinkang untuk menyembuhkan luka di dalam tubuhnya karena terguncang hawa pukulan Siangkoan Kok yang kuat. Kemudian ia pun minum obat yang diberikan ibunya.
Setelah puterinya menelan obat, barulah Lauw Cu Si menjawab. "Untuk apa? Selama ini dia menyayangmu seperti anak sendiri. Baru setelah kalian bertentangan dalam urusan gerakan Pao-beng-pai, dia hampir membunuhmu. Engkau masih terlalu kecil ketika aku menjadi isterinya, maka kupikir sebaiknya tak perlu kau tahu bahwa dia bukan ayahmu, sampai tadi ketika dia hampir membunuhmu."
"Kalau begitu... nama keluargaku bukan Siangkoan?"
"Tentu saja bukan!"
"Lalu siapa? Siapakah nama ayah kandungku dan di mana dia, Ibu?"
"Hemmm, dia sudah mati. Kalau engkau tidak suka nama marga Siangkoan boleh kau pakai nama keluargaku, yaitu Lauw. Namaku Lauw Cu Si dan kalau engkau tidak suka nama Siangkoan, boleh kau ganti Lauw, jadi namamu Lauw Eng."
"Tapi, siapa nama ayah kandungku, Ibu? Aku ingin menggunakan nama marganya!"
"Sudahlah aku tidak mau bicara tentang dia. Aku tak suka mengingatnya!" Suara wanita itu mulai terdengar ketus sehingga Eng Eng merasa heran sekali.
"Akan tetapi, kenapa, Ibu? Kalau pun ayah kandungku sudah mati, kenapa Ibu tak mau memberi tahukan namanya? Dan di manakah kuburannya? Aku ingin bersembahyang di depan kuburannya."
"Cukup! Aku tidak sudi menyebut namanya. Aku juga sudah lupa namanya. Aku benci padanya!" Suara itu semakin galak.
Eng Eng terkejut dan semakin heran. "Tapi, dia sudah mati, Ibu..."
"Dia sudah mati atau masih hidup, tetap saja aku paling benci kepadanya. Sudah, kalau engkau bicara tentang dia lagi, aku akan marah sekali!"
Eng Eng tidak berani melanjutkan lagi. Dia sudah kehilangan ayahnya, atau orang yang selama ini dianggap ayahnya yang disayangnya dan ditaatinya, dan kini dia tidak ingin kehilangan ibunya pula. Pasti pernah terjadi sesuatu yang hebat, sesuatu yang sangat menyakitkan hati ibunya yang telah dilakukan ayah kandungnya sehingga ibunya begitu membencinya setengah mati. Kalau benar demikian, berarti ayah kandungnya juga telah melakukan sesuatu yang amat jahat.
Hatinya terasa perih dan nyeri sekali. Orang yang selama ini dianggap ayahnya sendiri akan tetapi ternyata hanya ayah tiri itu seorang jahat, dan ayah kandungnya sendiri pun dahulunya orang jahat. Ketika ia terkenang kepada Pangeran Cia Sun, Eng Eng merasa jantungnya seperti ditusuk. Ia merasa rendah diri.....
********************
Dua orang pemuda itu berhasil meninggalkan Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Iblis) yang berada di bagian barat Kwi-san (Bukit Iblis), bahkan kini mereka mulai turun dari bukit itu. Setelah jauh, menjelang tengah hari, mereka lalu duduk beristirahat di bawah pohon besar di dalam sebuah hutan kecil yang sunyi.
Melihat betapa wajah Cia Sun agak murung, Yo Han lantas berkata, "Mengapa engkau kelihatan murung, Cia-te? Bukankah sepatutnya kita bersyukur karena sudah terhindar dari ancaman maut di sana?"
Pangeran itu memandang kakak angkatnya. "Yo-twako, aku takut. Aku khawatir sekali apa yang akan terjadi dengan Eng-moi. Aku amat mencintanya..."
Yo Han tersenyum. "Engkau aneh sekali, Cia-te. Ketika engkau dan aku berada dalam tahanan dan dalam keadaan tidak berdaya, setiap saat dapat saja kita dibunuh, engkau sama sekali tidak merasa takut, bahkan selalu nampak gembira. Akan tetapi sekarang, setelah terbebas dari bahaya, engkau malah begitu takut."
Cia Sun menghela napas panjang. "Biasanya aku tidak pernah takut, Yo-twako. Akan tetapi sekarang, aku gelisah sekali dan aku tidak tahu bagaimana caranya aku dapat menghilangkan perasaan takut atau gelisah ini."
"Tidak ada cara untuk menghilangkan takut, Cia-te. Takut adalah perasaan kita sendiri, dan yang ingin menghilangkan itu pun perasaan kita sendiri. Takut timbul karena ulah pikiran, dan keinginan menghilangkan juga ulah pikiran, Cia-te. Kalau kita tidur, pikiran kita tidak bekerja, maka takut pun tidak ada. Pikiran menimbulkan rasa takut, duka, dan sebagainya. Namun, kesadaran akan rasa takut itu sendiri, tanpa adanya usaha untuk melenyapkan, akan mendatangkan perubahan, mendatangkan kesadaran dan dengan sendirinya takut pun tidak nampak bekasnya."
Apa yang dikatakan Yo Han bukanlah teori, melainkan pengalaman yang sudah dialami sendiri oleh pemuda itu.
Takut bersumber dari pikiran, dan pikiran bergelimang nafsu, membentuk aku. Keakuan inilah yang menjadi sumber segala perasaan. Aku terancam, pikiran membayangkan segala hal buruk yang dapat menimpa diriku, maka timbullah takut.
Aku yang mengaku-aku adalah pikiran bergelimang nafsu. Nafsu membuat kita selalu ingin senang, tidak mau susah. Maka, membayangkan kesusahan yang akan menimpa diri inilah yang kemudian menimbulkan rasa takut.
Takut adalah ulah pikiran yang membayangkan hal yang belum terjadi, membayangkan hal buruk yang mungkin menimpa kita. Yang sehat takut sakit. Bila sudah datang sakit, bukan sakit lagi yang ditakuti, melainkan mati, lalu takut akan keadaan sesudah mati dan selanjutnya. Membayangkan hal-hal yang belum terjadi, itulah penyebab rasa takut. Kalau pikiran tidak membayangkan hal-hal yang belum terjadi, takut pun tidak ada.
Iblis menggoda kita manusia melalui nafsu-nafsu kita sendiri. Sebenarnya nafsu adalah anugerah Tuhan yang disertakan pada kita sejak kita lahir. Nafsu diikut sertakan untuk menjadi alat kita, menjadi budak kita yang membantu kita dalam kehidupan di dunia lain. Tuhan Maha Murah, Tuhan Maha Asih.
Dengan memiliki nafsu, kita bisa menikmati kehidupan di dunia ini melalui panca indera kita, melalui semua alat tubuh kita lahir batin. Iblis melihat ketergantungan kita kepada nafsu, mempergunakan nafsu untuk menyeret kita sehingga kita bukan lagi memperalat dan memperbudak nafsu, melainkan kita yang diperalat dan diperbudak. Dan jika sudah begitu, kita tidak berdaya, menjadi permainan nafsu yang akan menyeret kita ke dalam kesengsaraan, menjadi seperti kanak-kanak yang diberi makanan enak, tidak mengenal batas makan sebanyaknya untuk kemudian menderita sakit yang menyengsarakan.
Kalau sudah menderita akibat menuruti nafsu, barulah timbul penyesalan, dan alat lain dalam tubuh memprotes, akal sehat melihat betapa merugikan dan tidak menyenangkan akibat dari menuruti dorongan nafsu tadi. Akan tetapi, usaha menghentikan pengaruh nafsu itu tak akan berhasil, atau sukar sekali mendatangkan hasil.
Usaha itu datang dari hati akal pikiran pula, padahal hati akal pikiran sudah bergelimang nafsu. Bagaimana mungkin nafsu meniadakan nafsu, atau nafsu mengalahkan dirinya sendiri? Tidak mungkin! Bahkan akal pikiran yang sudah dipengaruhi nafsu daya rendah itu membela pekerjaan nafsu.
Contohnya banyak kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan kita ini. Adakah manusia yang tidak menyadari akan perbuatannya yang benar? Adakah seorang pencuri yang tidak tahu bahwa mencuri itu buruk? Adakah seorang koruptor yang tidak tahu bahwa korupsi itu jahat dan buruk? Semua tahu belaka!
Seperti contoh terdekat dan teringan, adakah seorang perokok atau pemabuk yang tidak tahu bahwa merokok atau bermabukan itu tidak baik? Tentu tidak ada! Setiap orang pasti tahu, akan tetapi apa daya? Pengetahuan ini tidak mampu menghentikan ikatan pengaruh nafsu.
Yang berjudi, walau tahu benar bahwa berjudi itu tidak baik, tidak mampu menghentikan kebiasaannya berjudi! Demikian pula halnya dengan perampok, pencuri, koruptor dan sebagainya! Kenapa begitu? Karena pengetahuan itu ada di pikiran, dan pikirannya pun sudah bergelimang nafsu. Bahkan hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu akan membela perbuatan-perbuatan itu.
Seorang pencuri dibela pikirannya sendiri bahwa ia mencuri karena terpaksa, karena tak ada pekerjaan, karena ia ingin menghidupi keluarga, dan sebagainya. Seorang koruptor dibela oleh pikirannya sendiri bahwa ia korupsi karena semua orang pun melakukannya, karena gajinya tak mencukupi, karena keluarganya ingin hidup mewah, dan seribu satu macam alasan lagi.
Jika semua usaha sudah gagal, lalu apa yang harus kita lakukan untuk menanggulangi pengaruh nafsu kita sendiri? Di dalam pertanyaan ini sudah terkandung jawabannya. Selama kita berusaha melakukan sesuatu, kita tak akan berhasil, karena yang berusaha menundukkan nafsu adalah nafsu itu sendiri. Bila kita sudah ingin menundukkan nafsu, kita hanya waspada mengamati gejolak nafsu kita, tanpa ada keinginan mengubahnya, maka baru akan terjadi perubahan!
Tanpa adanya si-aku yang berusaha, tanpa adanya si-aku alias nafsu melalui pikiran yang merajalela, nafsu menjadi bagaikan api yang tidak ditambah minyak. Kekuasaan Tuhan akan bekerja!
Dalam urusan kehidupan sehari-hari, mencari sandang, pangan, papan, hidup sebagai manusia yang berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tentu saja kita harus mempergunakan hati akal pikiran. Akan tetapi dalam urusan rohanian, alat-alat jasmani kita tidak berdaya. Hanya kekuasaan Tuhan yang mutlak berkuasa. Maka, kita hanya menyerah! Kekuasaan Tuhan yang akan mengembalikan nafsu-nafsu kita pada kedudukan asalnya, yaitu menjadi peserta dan alat kita, bukan sebaliknya kita yang diperalat
.....
Komentar
Posting Komentar