SI TANGAN SAKTI : JILID-12


"Ouw-sute, apa yang telah terjadi?"

"Ouw-suheng, siapa pembunuh mereka?"

Demikian pertanyaan yang datang dari para suheng-nya, sute-nya atau suci-nya, juga para paman dan bibi gurunya. Seng Bu mengangkat kedua tangan ke atas.

"Harap kalian suka tenang dahulu. Dalam keadaan gaduh begini, bagaimana aku dapat bicara? Tenanglah, tenang dan hentikan lolong dan tangis itu!"

Suaranya halus namun tegas dan mengandung kekuatan yang membuat semua orang menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara agar dapat mendengarkan dengan jelas. Setiap orang anggota Thian-li-pang merasa marah, sedih dan ingin sekali tahu apa yang telah terjadi.

"Tadi aku bangun pagi-pagi sekali dan berjalan-jalan, seperti sering kulakukan. Ketika tiba di dekat tempat ini, aku melihat sesosok bayangan berlari cepat menuruni lereng. Aku segera mengejarnya karena curiga, akan tetapi aku hanya dapat mengenalnya dari jauh saja. Pagi masih terlampau gelap dan dia menghilang di dalam hutan di kaki bukit itu. Aku lalu kembali ke sini, untuk melihat mengapa orang itu datang ke sini dan aku menemukan Suhu, Suci dan Suheng telah menggeletak dan tak bernyawa lagi. Aku lalu cepat turun dan memukul kentungan untuk memberi tahu kepada kalian."

"Tapi siapakah orang yang melarikan diri itu? Apakah dia pembunuh jahanam itu?"

"Meski pun tidak melihat dia membunuh Suhu bertiga, akan tetapi aku yakin dia yang membunuh."

"Siapa dia? Kau tadi mengatakan, mengenalnya dari jauh. Siapakah pembunuh itu?"

"Dia adalah... Si Tangan Sakti Yo Han!" kata Seng Bu dengan suara tegas.

"Yo Taihiap...?!"

"Ahh, tidak mungkin!"

"Bagaimana dia yang mengangkat Lauw Pangcu menjadi ketua malah membunuhnya?"
"Aku tidak percaya!"

Riuh rendah suara mereka yang menyanggah dan menentang keterangan Seng Bu. Tak seorang pun di antara para anak buah Thian-li-pang percaya bahwa Yo Han yang telah melakukan pembunuhan terhadap tiga orang pimpinan Thian-li-pang itu.

Kembali Seng Bu mengangkat kedua tangan ke atas, minta agar semua orang tenang dan mendengarkannya. Setelah semua orang diam, Seng Bu berkata, "Kalian percaya atau tidak, akan tetapi aku yakin bahwa Yo Han yang telah membunuh Suhu, Suci dan Suheng."

"Tapi engkau tidak melihat dia dengan jelas!"

Kini majulah Thio Cu, yaitu seorang yang termasuk tokoh Thian-li-pang dan masih adik seperguruan Lauw Kang Hui walau tingkatnya kalah jauh. Thio Cu ini adalah seseorang yang mewakili Thian-li-pang ketika menghadiri pertemuan antara para tokoh di sarang Pao-beng-pai. Dia memberi isyarat kepada semua orang untuk tidak membuat gaduh lagi.

"Ouw Seng Bu, bagaimana engkau dapat merasa begitu yakin bahwa Yo Taihiap yang melakukan pembunuhan itu? Coba jelaskan alasanmu!"

Seng Bu mengangguk. "Begini, Thio-susiok (paman guru Thio). Kita semua mengetahui belaka bahwa Yo Han adalah murid mendiang kakek guru Ciu Lam Hok, bukan? Nah, kakek paman guru Ciu Lam Hok pernah dibuntungi dan dihukum ke dalam sumur tua oleh kedua kakek guru pendiri Thian-li-pang. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kalau kini kita mencurigai Yo Han. Dia tentu mendendam kepada Thian-li-pang dan kini dia datang membunuh para pimpinannya."

Semua orang terdiam, akan tetapi Thio Cu mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya.

"Alasan itu kurang kuat. Kalau memang dia mendendam kepada Thian-li-pang kenapa tidak dari dulu dia membasmi Thian-li-pang? Dia bahkan menunjuk suhu Lauw Pangcu menjadi ketua. Tidak, Seng Bu. Itu bukan merupakan bukti bahwa pembunuhnya adalah Yo Taihiap."

Mendengar ucapan Thio Cu ini, para anggota Thian-li-pang menyatakan persetujuan mereka.

"Kalian minta bukti bahwa pembunuhnya adalah Yo Han? Lihat saja keadaan tiga mayat itu. Tubuh mereka hangus, jelas akibat pukulan beracun yang sangat hebat. Aku yakin bahwa hal itu hanyalah dapat dilakukan oleh seseorang yang sudah menguasai Bu-kek Hoat-keng dan ilmu itu, seperti kita telah mendengarnya, dikuasai oleh Yo Han ketika dia belajar di dalam sumur. Bukti itu sudah amat kuat. Yo Han yang membunuh Suhu, Suci dan Suheng. Dan aku yang kelak akan membalaskan sakit hati ini!"

"Hemmm, Ouw Seng Bu, jangan takabur kau! Andai kata benar pembunuhnya adalah Yo-taihiap, jelas bahwa mereka bertiga ini saja tidak mampu mengalahkan Yo Taihiap, apa lagi engkau! Lagi pula, tidak ada yang dapat membuktikan bahwa mereka ini tewas karena pukulan Bu-kek Hoat-keng yang dilakukan oleh Yo Taihiap."

"Thio-suciok, lupakah engkau bahwa aku adalah pembantu dari ketua baru, mendiang Lu-suci? Setelah Lu-suci dan Lauw-suheng sebagai ketua dan wakilnya di Thian-li-pang tewas, maka aku sebagai pimpinan ke tiga, berhak untuk menggantikan mereka menjadi pemimpin di Thian-li-pang! Nah, dengan demikian, akulah orangnya yang berhak untuk menyelidiki urusan pembunuhan ini."

Thio Cu mengerutkan alisnya. "Tidak, urusan ini terlalu besar! Pembunuhan ini harus dibongkar! Dan tentang pemilihan ketua baru, sebaiknya bila kita menunggu munculnya Yo Taihiap agar dia yang mengadakan pemilihan ketua baru!"

"Thio-susiok, aku sudah dipilih Suhu untuk menjadi orang ke tiga di Thian-li-pang, dan engkau berani memandang rendah kepadaku? Sekarang begini saja. Siapa di antara para anggota Thian-li-pang yang menyetujui pendapat susiok Thio Cu, silakan berdiri di belakangnya! Dan yang menganggap aku sebagai pemimpin Thian-li-pang sehubungan dengan kematian Suhu, Suci dan Suheng, harap jangan mendekati mereka!"

Ada lima orang yang kini berdiri di belakang Thio Cu. Mereka adalah orang-orang yang masih disebut paman guru oleh Seng Bu. Tentu karena mereka merasa lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya sebagai anggota Thian-li-pang, mereka berpihak kepada Thio Cu. Kini enam orang itu, dipimpin oleh Thio Cu, berdiri berhadapan dengan Seng Bu.

Melihat sikap mereka yang menantang, Seng Bu mendadak tertawa sehingga semua orang terkejut. Suara tawa itu amat menyeramkan, dan kini mereka melihat betapa mata pemuda itu mencorong aneh, sedangkan senyumnya dingin mengerikan.

"Paman Thio Cu dan kelima Paman lain, kalian berenam tetap tidak percaya bahwa Yo Han yang membunuh Suhu, Suci dan Suheng? Tak percaya bahwa ilmu pukulan Bu-kek Hoat-keng yang telah dipergunakan Yo Han membunuh mereka?"

"Kami tidak percaya karena tidak ada buktinya. Siapa dapat membuktikan tuduhanmu itu?" tanya Thio Cu.

"Akulah orangnya yang dapat membuktikannya! Aku menguasai ilmu itu, bukan hanya Yo Han, maka aku yakin benar bahwa Yo Han menggunakan ilmu Bu-kek Hoat-keng untuk membunuh mereka bertiga!"

Tentu saja ucapan ini sangat mengejutkan dan mengherankan semua orang. Thio Cu dan kawan-kawannya mengerutkan alisnya, kemudian memandang aneh kepada Seng Bu, menyangka bahwa pemuda itu telah menjadi gila.

"Ouw Seng Bu, jangan engkau bicara yang bukan-bukan. Siapa dapat mempercayai omonganmu yang seperti orang gila itu?"

Kembali Beng Bu tertawa dan kini dia menoleh ke arah semua anggota Thian-li-pang. "Kalian semua lihat baik-baik. Thio Cu dan lima orang ini tetap tidak percaya. Biarlah mereka membuktikan sendiri dan kalian menjadi saksi. Aku akan menggunakan Bu-kek Hoat-keng kepada mereka seperti yang dilakukan Yo Han terhadap Suhu, Suheng dan Suci, dan kalian nanti lihat akibatnya!"

"Seng Bu, apakah engkau sudah gila?" Thio Cu berseru lagi.

"Kalian berenam, bersiaplah untuk membuktikan kebenaran tuduhanku!"

Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking yang amat menyeramkan, seperti suara iblis dari neraka atau seekor binatang buas sedang menderita hebat. Tubuhnya bergerak ke depan secara aneh, kedua tangannya bergerak seperti orang mabuk. Thio Cu dan lima orang saudaranya yang mengira Seng Bu telah menjadi gila, cepat bersiap siaga untuk menangkap dan menundukkan murid keponakan yang mendadak menjadi gila itu.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget perasaan hati mereka pada saat mereka dilanda angin topan yang dahsyat. Mereka sudah berusaha menangkis, namun semua tangkisan itu sia-sia belaka, lengan mereka seperti lumpuh dan enam orang itu terkena tamparan tangan kiri Seng Bu pada dada mereka.

Bagaikan daun-daun kering yang dihembus angin badai, tubuh mereka terlempar dan terjengkang, roboh malang-melintang, lalu berkelojotan dan tewas! Dan yang membuat semua anggota Thian-li-pang terbelalak dan memandang ngeri adalah ketika mereka melihat betapa wajah dan tubuh enam orang itu menjadi kehitaman dan hangus!

Seng Bu telah biasa kembali. Kini dengan penuh wibawa dia berdiri bertolak pinggang, menghadapi semua anggota Thian-li-pang dan suaranya terdengar halus namun penuh wibawa. "Ada lagi di antara kalian yang tidak percaya kepadaku bahwa pembunuh Suhu, Suheng dan Suci adalah Yo Han? Dan apakah ada lagi yang tidak setuju kalau aku mulai saat ini menjadi ketua Thian-li-pang dan memimpin kalian?"

Tak ada seorang pun berani menjawab. Peristiwa itu terlampau hebat dan semua orang masih tertegun, hanya berdiri diam seperti patung.

"Hayo jawab, apakah ada yang hendak menentangku?!" Seng Bu membentak, sekarang suaranya terdengar menyeramkan, mengejutkan semua orang.

Mereka itu serentak menjatuhkan diri berlutut menghadap Seng Bu, seakan-akan takut kalau-kalau pemuda itu menjadi marah kemudian menjatuhkan tangan saktinya kepada mereka.

"Tidak ada... tidak ada..."

"Kami semua tunduk kepada Pang-cu..."

"Hidup Ouw-pangcu!"

Seng Bu tersenyum, senyum biasa yang membuat wajahnya nampak tampan menarik. "Bagus, aku akan memimpin kalian, membawa Thian-li-pang maju, tidak seperti saat sekarang ini. Thian-li-pang akan menjadi perkumpulan terbesar! Kalau Yo Han berani datang, aku akan membunuhnya dengan ilmu yang sama! Sekarang, kita bereskan semua jenazah ini. Tidak perlu dikubur, kita mesukkan saja ke dalam sumur tua itu!"

Semua orang terbelalak dan bergidik, akan tetapi tidak ada yang berani membantah. Melihat sikap para anggota itu ragu-ragu, Seng Bu tidak sabar dan dia menghampiri jenazah-jenazah itu, lalu sekali angkut, kedua tangannya sudah mencengkeram empat batang tubuh, masing-masing tangan mengangkat dua mayat. Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri semak belukar, dan melempar-lemparkan empat batang tubuh itu ke dalam sumur tua! Dua kali dia membawa delapan mayat, dan mayat terakhir, yaitu mayat Lauw Kang Hui, dibawanya dan dimasukkannya pula ke dalam sumur tua!

Semua orang hanya terbelalak, bergidik dan takut sekali kepada pemuda yang biasanya lembut dan ramah itu. Mereka kini memandang Seng Bu seolah-olah pemuda itu kini berubah menjadi iblis yang amat menakutkan.

"Kalian tahu mengapa aku tidak mengubur jenazah mereka dan membiarkan mereka menjadi penunggu sumur tua?" tanya Seng Bu kepada para anah buah Thian-li-pang.

Tidak ada seorang pun dapat menjawab, bahkan tidak berani membuka mulut, hanya menggelengkan kepala menyatakan bahwa mereka tidak tahu.

"Aku bukanlah orang yang tak mengenal aturan. Aku melempar semua mayat ke dalam sumur tua dengan maksud tertentu," kata Seng Bu dengan sikap biasa, ramah lembut dan berwibawa. "Biarlah mereka itu menjadi arwah penasaran, hal ini kusengaja. Nanti kalau aku sudah berhasil menangkap Yo Han, dia akan kulemparkan ke dalam sumur, baik masih hidup atau pun telah mati. Dengan demikian, arwah Suhu, Suci dan Suheng akan merasa senang, bisa membalas dendam kepada Yo Han. Juga arwah enam orang anggota Thian-li-pang semua akan ikut mengeroyok dan menyiksa Yo Han."

Semua anggota diam saja, masih tertegun dan masih terkejut dan ketakutan.

"Sekarang semua kembali dan berkumpul di ruangan besar. Sebagai ketua baru aku akan mengadakan peraturan baru. Kita harus dapat menjadikan Thian-li-pang sebagai perkumpulan yang besar dan makmur, tidak seperti sekarang ini. Miskin dan tak pernah melakukan apa-apa yang sesuai dengan perjuangan kita dalam menentang pemerintah Mancu."

Sesudah mereka berada di sarang Thian-li-pang, Seng Bu lalu mengumpulkan seluruh anggota dan dia membuat peraturan baru yang membongkar semua peraturan lama. Dan mulai hari itu, Thian-li-pang kembali seperti sebelum Yo Han memasukinya, yaitu menjadi perkumpulan yang dengan kedok perjuangan melakukan apa saja untuk dapat mengumpulkan harta.

Mereka menguasai tempat-tempat pelesir di kota-kota dan menundukkan jagoan-jagoan yang memimpin kelompok-kelompok penjahat hingga semua penjahat harus mengakui Thian-li-pang sebagai pimpinan dan menyerahkan sebagian dari hasil kejahatan mereka sebagai tanda menakluk atau pajak. Mereka yang berani menentang lalu dihancurkan dengan mudah karena selain Thian-li-pang mempunyai banyak anggota yang tangguh, juga ketuanya adalah seorang yang lihai.

Tidak sukar bagi para anggota Thian-li-pang untuk mengambil cara hidup baru ini, yang sebetulnya hanya merupakan pengulangan atau kambuhan saja dari cara hidup mereka yang terdahulu. Dan memang hasilnya dapat segera dirasakan oleh para anggota, yakni kemakmuran dan serba kecukupan, walau pun uangnya didapat dari hasil kekerasan dan kejahatan. Dalam waktu beberapa bulan saja, nama Thian-li-pang semakin tersohor dan perkumpulan ini menjadi perkumpulan yang amat kaya dan berpengaruh, juga amat ditakuti orang.

Ouw Seng Bu mempunyai alasan sendiri untuk membenarkan tindakannya itu. Pernah ia mengumpulkan semua anggotanya, kemudian dengan panjang lebar ia menandaskan bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar.

Mereka yang tadinya merasa penasaran juga melihat bahwa ketua mereka kini menjalin hubungan baik lagi dengan Pek-lian-kauw, Pat-kwa-pai serta gerombolan-gerombolan lainnya yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai gerombolan jahat dan golongan hitam, menjadi hilang perasaan penasaran itu setelah mendengar keterangan ketua mereka yang baru dan masih muda itu.

"Perjuangan menentang pemerintah penjajah Mancu adalah perjuangan yang suci," demikian antara lagi Seng Bu berkata. “Cita-citanya hanya satu, yaitu menentang dan menggulingkan pemerintah penjajah, mengusir penjajah Mancu dari tanah air dan dapat membebaskan bangsa dari belenggu penjajah! Perjuangan tidak mengenal golongan putih atau golongan hitam. Yang terpenting adalah cita-cita tercapai. Demi tercapainya cita-cita perjuangan, apa pun boleh kita lakukan, tidak ada pantangan lagi!"

Ucapan Seng Bu disambut dengan gembira oleh semua anak buah Thian-li-pang. Cara yang dipakai ketua mereka itu tentu saja membuka kesempatan besar bagi mereka untuk memuaskan keinginan mereka sendiri dengan membonceng perjuangan! Mereka dapat saja menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada rakyat, dapat melakukan perampokan atau pencurian karena semua itu menjadi benar dan baik kalau mereka menggunakan alasan demi perjuangan!

Tujuan menghalalkan segala cara! Itulah pendirian mereka yang telah dicengkeram oleh nafsu. Nafsu selalu menghendaki supaya keinginannya dapat tercapai, tersalurkan dan terpuaskan. Mengejar keinginan atau ambisi berarti membiarkan nafsu untuk merajalela menguasai diri sehingga kesadaran lenyap, akal sehat menjadi sakit, dan pertimbangan patah-patah. Nafsu untuk mendapatkan apa yang diinginkan menyeret kita melakukan segala macam perbuatan yang merugikan orang lain, yang sifatnya merusak.

Tujuan mengumpulkan harta sebanyaknya akan menghalalkan kita melakukan korupsi, perampokan, penipuan, pencurian dan sebagainya, sebab harta akan dianggap sebagai sumber kesenangan. Tujuan mendapatkan kedudukan yang dianggap sebagai sumber kemuliaan, kehormatan dan kesenangan menghalalkan kita melakukan pengkhianatan, kelicikan, penipuan dan menghantam siapa saja yang menghalangi kita, dan kalau perlu membunuh penghalang itu!

Semua ambisi dan semua keinginan, tidak lain hanyalah pengejaran terhadap apa yang dianggap menjadi sumber kesenangan. Sementara itu, pikiran yang sudah bergelimang nafsu akan membela semua perbuatan itu, dengan memberi istilah yang indah-indah dan muluk-muluk terhadap pengejaran keinginan itu, misalnya perjuangan, cita-cita dan sebagainya.

Yang terpenting justru terletak kepada cara itu. Cara berarti tindakan, cara berarti saat ini, sekarang. Tujuan hanya merupakan khayal, belum ada. Yang menentukan adalah cara itu, tindakan itu, sekarang ini. Yang sekarang ini menentukan yang nanti, karena yang nanti hanya merupakan akibat dan kelanjutan dari yang sekarang. Tidak mungkin mencapai tujuan yang baik dengan cara yang buruk, tidak mungkin mencapai tujuan yang bersih dengan cara yang kotor. Kalau caranya kotor, akhirnya yang didapat sebagai akibat cara itu pun pasti kotor.

Kalau orang melakukan sesuatu sambil membayangkan tujuan yang hendak dicapai oleh tindakannya itu, maka besar kemungkinan dia terseret oleh nafsu dan dibutakan oleh kemilau tujuan yang hendak dicapai. Tindakan yang benar adalah tindakan yang tidak terbimbing nafsu, melainkan tindakan yang dasarnya penyerahan kepada Tuhan sehingga tindakan itu akan selalu terbimbing oleh kekuasaan Tuhan. Tindakan seperti ini merupakan tindakan yang dilakukan demi tindakan yang penuh kasih terhadap tindakan itu, karena kekuasaan Tuhan berlimpahan dengan kasih.

Kalau kita mencintai apa yang kita lakukan, mencintai apa yang kita kerjakan, demi pekerjaan itu sendiri tanpa membayangkan hasilnya, maka apa yang akan kita lakukan itu sudah pasti benar dan baik, sebagai kemampuan kita. Jika kita belajar dan mencintai apa yang kita lakukan, sudah pasti dengan sendirinya kita memperoleh kemajuan dan ijazah tanpa kita mengejarnya. Ijazah itu hanya merupakan akibat atau buah dari pada pohon yang kita tanam sendiri, yaitu mengerjakan pelajaran itu.

Sebaliknya, kalau kita belajar demi mendapatkan ijazah, maka kita akan mudah terseret karena yang kita pentingkan hanya ijazahnya, bukan pelajarannya sehingga mungkin kita akan melakukan penyelewengan dengan menyontek, dengan membeli, menyogok dan sebagainya.

Bukan berarti bahwa kita harus menolak kesenangan. Sama sekali bukan. Menikmati kesenangan merupakan anugerah dari Tuhan! Kalau Tuhan tidak menghendaki, tentu kita tidak diberi perlengkapan sebagai sarana untuk dapat menikmati kesenangan itu. Kita berhak menikmati kesenangan karena itu pemberian dari Tuhan, tetapi kesenangan yang tidak dibuat-buat, tidak dicari-cari, tidak dikejar-kejar.

Kesenangan letaknya di dalam perasaan hati. Rasa senang yang menyelinap di dalam hati tanpa dikejar-kejar, itulah kesenangan sejati yang biasa kita namakan kebahagiaan. Kesenangan yang dikejar dan diberi adalah kesenangan nafsu. Biasanya kesenangan seperti ini lebih nikmat dikenang dan dibayangkan dari pada dialami pada saatnya. Hal ini timbul karena perbandingan dengan apa yang kita kenang, apa yang kita bayangkan.

Seolah-olah semua kenikmatan itu sudah menjadi hambar, dihisap habis oleh kenangan dan bayangan masa lalu dan masa depan. Tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan, pada saat itu, kalau kesenangan menyelinap di hati, itulah kebahagiaan.

Seperti melihat penglihatan indah, mendengar suara merdu, mencium bau harum. Kita mendapatkan kebahagiaan pada saat itu juga, dan habis pula pada saat itu. Kalau kita menyimpannya dalam ingatan, maka kebahagiaan itu berubah menjadi kesenangan.

Pikiran dan ingatan paling suka menguyah-nguyah pengalaman yang nikmat, kemudian membayangkan dengan latar belakang kenangan. Dari sini timbulnya pengejaran, dan bila yang dikejar sudah dapat, akan terasa hambar karena tidak seindah yang dikenang dan dibayangkan!

Kebahagiaan adalah saat demi saat, tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Bahkan hidup adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Yang lalu sudah mati dan hanya kenangan, yang akan datang hanya bayangan khayal

.

Ouw Seng Bu telah mendapatkan ilmu yang luar biasa, ilmu yang menjadi aneh karena dia mempelajarinya dari catatan yang tidak lengkap, dipelajari tanpa bimbingan guru sehingga pelajaran yang tidak lengkap dan terbalik-balik itu menyeretnya ke alam yang mendekati kegilaan.

Memang dia menjadi lihai bukan main, akan tetapi, ilmu itu pun mempengaruhi hati akal pikirannya, membuat dia kadang-kadang kumat seperti orang gila, bahkan dapat lebih mengerikan lagi, seperti iblis sendiri yang menjelma ke dalam tubuh manusia.....

********************

"Apa kau bilang? Heh, Sun-ji (anak Sun), lupakah engkau siapa dirimu ini? Engkau adalah cucu Kaisar, tahu? Engkau adalah seorang pangeran, cucu kaisar sendiri! Dan kau berani katakan bahwa engkau jatuh cinta kepada puteri ketua Pao-beng-pai, kaum pemberontak itu? Gila!"

"Ayah, apakah cucu kaisar itu bukan manusia? Dan puteri Pao-beng-pai juga bukan manusia? Kami berdua sama-sama manusia, pria dan wanita, maka apa yang perlu diherankan kalau kami saling jatuh cinta?" bantah Pangeran Cia Sun di depan ayahnya dan ibunya.

Dia baru saja pulang dan langsung melapor kepada ayah ibunya bahwa dia jatuh cinta kepada Siangkoan Eng, puteri ketua Pao-beng-pai dan minta kepada orang tuanya agar meminang gadis itu untuk menjadi isterinya.

"Anakku, bagaimana engkau bisa berkata seperti itu?" Ibunya membujuk dengan lembut dan meletakkan tangannya di pundak puteranya. "Tentu saja engkau tak mungkin dapat disamakan dengan pemuda biasa yang lain, dapat menikah dengan sembarang gadis saja."

"Akan tetapi, Ibu. Kami sudah saling mencinta, dan cinta tidak mengenal pangkat atau derajat!" bantah Cia Sun.

"Cia Sun!" Ayahnya, Pangeran Cia Yan, membentak marah. "Ingat, sejak engkau masih kecil, kami telah mengikat tali perjodohanmu dengan puteri Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong. Puterinya itu seorang gadis yang cantik jelita, berbudi, gagah perkasa dan bahkan mendapat julukan Si Bangau Merah. Kami bangga sekali mempunyai mantu seperti gadis itu. Baru-baru ini ayah ibu gadis itu datang ke sini. Mereka menantimu, akan tetapi sia-sia saja mereka menanti walau pun kami sudah mengirim orang untuk mencarimu dan memanggilmu pulang. Dalam pertemuan itu kami sudah mematangkan urusan itu, dan dengan resmi kami mengambil keputusan untuk menjodohkan engkau dengan Tan Sian Li. Ialah calon jodohmu, bukan wanita lain!"

"Tetapi, Ayah. Aku dan dia tidak saling mencinta, bahkan bertemu muka pun belum pernah!" Cia Sun membantah.

"Sudah cukup!" Pangeran Cia Yan membentak marah. "Engkau yang belum pernah membalas budi ayah ibumu, sekarang bahkan hendak menjadi anak yang murtad dan tidak berbakti? Pendeknya, Tan Sian Li adalah calon isterimu, bukan perempuan lain!"

Ibunya cepat melerai. "Anakku, kenapa engkau menjadi bingung? Tentu saja engkau dapat mengambil wanita lain sebagai selir kalau engkau menyukai gadis-gadis lain..."

Ayahnya memotong. "Tentu saja engkau boleh memiliki selir, akan tetapi selir-selirmu pun harus gadis baik-baik supaya jangan menodai nama keluarga kita. Kita ini keluarga Cia, keluarga Kaisar, tahu? Kalau engkau mencinta gadis lain, tentu boleh kau jadikan selir, dan gadis itu... siapa tadi kau bilang? Ahhh, puteri dari ketua Pao-beng-pai? Kau maksudkan perkumpulan pemberontak yang baru saja mengadakan pertemuan rahasia dengan para pemberontak lain untuk menggulingkan pemerintah? Gila!"

"Tapi Siangkoan Eng tidak seperti ayahnya, Ayah. Ia sama sekali tidak jahat, bahkan ia berjanji kalau menjadi isteriku, tidak akan mencampuri urusan dunia kang-ouw, tak akan mencampuri urusan pemberontakan lagi..."

"Ihhh, engkau agaknya telah terkena guna-guna. Dan Pao-beng-pai...? Hemmm, kiranya engkaukah pemuda yang ditawan mereka itu?"

"Ayah tahu tentang itu?" Cia Sun memandang ayahnya dengan heran. "Memang aku telah ditawan mereka, dan kalau tidak ada Eng-moi, tentu aku telah mereka bunuh, atau dijadikan sandera untuk mengacau pemerintah, Ayah."

"Sudah, jangan bicara lagi tentang gadis Pao-beng-pai itu! Sekarang pun pasukan telah bergerak ke sana untuk membasminya sampai ke akar-akarnya dan membunuh seluruh pimpinannya."

Cia Sun terbelalak. "Ahhh? Apa yang Ayah katakan?"

Pangeran Cia Yan mengangguk-angguk dan tersenyum, merasa menang. Lalu dia pun berkata bangga, "Apa kau kira pemerintah begitu bodoh? Di antara para tamu, terdapat mata-mata kita yang diselundupkan. Jika engkau saja bisa menyelundup menjadi tamu, apa lagi mata-mata yang cerdik. Kini Ciong-ciangkun (perwira Ciong) sudah membawa pasukan untuk membasmi gerombolan pemberontak itu dan..." Pangeran Cia Yan amat terkejut melihat puteranya buru-buru bangkit berdiri dan melangkah pergi."...Hei, kau mau ke mana?"

Cia Sun menoleh dan berkata, "Ayah, Ibu, aku harus pergi, aku harus menyelamatkan Eng-moi dan ibunya. Mereka tidak bersalah, mereka tidak boleh ikut terbasmi!" Dan pemuda itu pun berlari cepat meninggalkan rumah orang tuanya, tidak mempedulkan teriakan ayah ibunya yang memanggilnya.

Kedua orang tua itu hanya menghela napas panjang dan menggeleng kepala saja. "Itulah sebabnya aku ingin sekali dia menjadi suami seorang wanita perkasa seperti Si Bangau Merah," kata Pangeran Cia Yan kepada isterinya. "Semenjak dia suka belajar silat, wataknya pun berubah menjadi keras kepala dan berjiwa petualang. Kalau dia tidak mendapatkan seorang isteri yang pandai dan berwibawa, berilmu tinggi, tentu tidak ada yang akan mampu mengendalikannya."

Cia Sun cepat berlari ke markas pasukan untuk mencari Perwira Ciong yang sudah dikenalnya. Akan tetapi dia terlambat. Perwira itu telah berangkat bersama pasukannya yang berjumlah seribu orang. Cia Sun cepat-cepat melakukan pengejaran, menunggang seekor kuda.

Pada waktu itu memang banyak terdapat perkumpulan atau kelompok orang-orang yang melakukan usaha untuk menentang pemerintah kerajaan Mancu. Akan tetapi, satu demi satu perkumpulan pejuang yang disebut pemberontak oleh kerajaan Mancu itu berhasil dihancurkan.

Kekuatan pasukan Mancu masih amat kuat, sedangkan para pejuang itu tidak memiliki persatuan yang kokoh. Mereka bahkan membentuk kelompok sendiri-sendiri. Bukan hanya itu, bahkan di antara mereka kadang terdapat bentrokan sendiri yang tentu saja melemahkan kekuatan mereka. Banyak pula bermunculan perkumpulan pejuang yang lebih condong menjadi perkumpulan golongan sesat atau golongan hitam, karena mereka melakukan segela macam bentuk kejahatan.

Pao-beng-pai merupakan satu di antara perkumpulan pejuang yang pada hakekatnya memang membenci, bahkan menaruh dendam kepada kerajaan Mancu. Hal ini adalah karena pemimpinnya atau pendirinya, Siangkoan Kok, adalah seorang keturunan dari keluarga kerajaan Beng yang telah dijatuhkan oleh bangsa Mancu.

Oleh karena itu, gerakan perjuangan Pao-beng-pai ini lebih condong kepada gerakan untuk membalas dendam atau merampas kembali tahta kerajaan Beng yang dulu sudah dirampas oleh bangsa Mancu yang kemudian mendirikan kerajaan Ceng. Tetapi, karena Siangkoan Kok, keturunan keluarga kerajaan Beng itu juga seorang datuk sesat, bahkan isterinya, Lauw Cu Si, juga keturunan pimpinan Beng-kauw yang terkenal sebagai suatu perkumpulan sesat, maka Pao-beng-pai juga merupakan perkumpulan yang tak pantang melakukan kekejaman atau kejahatan.

Pihak pemerintah kerajaan selalu mengamati perkembangan perkumpulan-perkumpulan pemberontak seperti itu. Pemerintah memang maklum bahwa tidak mudah membasmi seluruh pemberontak sampai ke akar-akarnya. Sudah sering kali pasukan pemerintah menghancurkan gerombolan pemberontak, namun para anak buahnya yang berhasil meloloskan diri segera bergabung lagi dengan kelompok pemberontak lain. Oleh karena itu, pemerintah hanya memperhatikan kelompok yang besar-besar dan berbahaya saja.

Ketika Pao-beng-pai mengadakan pertemuan dengan para tokoh kang-ouw, tentu saja peristiwa ini tidak terlepas dari perhatian para mata-mata yang disebar oleh pemerintah. Setelah menyaksikan pertemuan itu, serta mendengar betapa Pao-beng-pai menyusun kekuatan, mengajak semua pihak yang menentang pemerintah untuk bergabung dan bekerja sama untuk melakukan pemberontakan, mata-mata cepat memberi kabar ke kota raja dan para panglima yang bertugas menumpas setiap pemberontakan segera mengambil tindakan tegas dan cepat.

Panglima Ciong, yang terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan pandai, yang sudah sering kali melakukan pembasmian terhadap para pemberontak, segera ditugaskan untuk memimpin pasukan seribu orang menyerbu dan membasmi Pao-beng-pai di Han-kwi-kok, lembah Bukit Iblis.....

********************

Siangkoan Kok marah sekali ketika mendengar bahwa puterinya, Siangkoan Eng, pergi dari Ban-kwi-kok tanpa pamit. Selama belasan hari ini ia memang tak pernah menengok lagi kepada isteri dan puterinya itu, semenjak dia marah-marah dan hampir membunuh Eng Eng. Dia tidak mempedulikan mereka, dan berpengantinan dengan isterinya yang baru, yaitu bekas muridnya yang dipaksanya untuk melayaninya dan menjadi pengganti isterinya.

Dengan kemarahan meluap-luap, lelaki tinggi besar yang berusia lima puluh lima tahun ini, pergi mencari Lauw Cu Si, isterinya yang sedang menangis di ruangan belakang. Mukanya merah sekali dan begitu melihat isterinya, yang menangis, ia pun membentak.

"Ke mana perginya anak durhaka itu? Tentunya engkau sengaja menyuruh dia minggat, bukan?" bentakan ini disertai tangannya menggebrak meja sehingga seluruh ruangan itu bagaikan tergetar.

Lauw Cu Si yang sedang duduk menangisi kepergian puterinya, segera menghentikan tangisnya dan bangkit berdiri. Nyonya berusia empat puluh tahun ini masih cantik. Kalau biasanya dia selalu tunduk dan penurut, kini dia bangkit berdiri dan tegak menghadapi suaminya. Mukanya diangkat dan sepasang matanya bersinar-sinar menatap ke wajah suaminya dengan penuh keberanian dan kemarahan, lalu telunjuk kirinya ditudingkan ke arah muka suaminya dan terdengar suaranya, suara yang menggetar dan mengandung kemarahan yang hebat.

"Kau...! Kau manusia binatang, engkau iblis busuk, engkaulah yang membuat Eng Eng melarikan diri, meninggalkan aku! Engkau yang harus bertanggung jawab. Ia bukanlah anakmu, bukan darah dagingmu, bukan apa-apamu. Ia milikku, anakku, tetapi engkau hampir membunuhnya! Sekarang ia pergi dan engkau yang harus bertanggung jawab!"

Kemarahan Siangkoan Kok meluap-luap. Selama ini isterinya itu belum pernah memaki dirinya seperti itu. "Perempuan busuk tak mengenal budi! Aku telah mengangkatmu dari lembah kehinaan setelah Beng-kauw hancur, juga memelihara anakmu seperti anakku sendiri. Dan begini balasan kalian kepadaku? Kalau tahu akan begini, sudah sejak dulu Eng Eng kubunuh, dan kau juga!"

"Apa? Kau hendak membunuh kami? Cobalah kalau engkau mampu! Kau kira aku takut padamu?"

Saking sedihnya ditinggal pergi anaknya, wanita itu menjadi marah dan nekat. Walau pun ia tahu benar bahwa ilmu kepandaiannrya masih kalah dibandingkan suaminya, dia berani menantang!

"Bagus, kalau begitu mampuslah kau, Lauw Cu Si, perempuan tak tahu diri!" Siangkoan Kok menerjang isterinya dengan dahsyat.

Akan tetapi, Lauw Cu Si yang sudah nekat, cepat mengelak dan membalas dengan tak kalah dahsyatnya. Bahkan wanita ini sudah mencabut pedangnya, lalu menyerang bertubi-tubi. Siangkoan Kok juga mencabut pedangnya dan suami isteri ini lalu berkelahi mati-matian.

Lauw Cu Si adalah seorang tokoh sesat, keturunan ketua Beng-kauw. Ia memiliki ilmu silat yang dahsyat dan keji pula. Tingkat kepandaiannya sudah tinggi dan ia hanya kalah sedikit saja dibandingkan suaminya, maka tidaklah terlalu mudah bagi Siangkoan Kok untuk membunuh isterinya.

Para murid dan anggota Pao-beng-pai yang melihat perkelahian ini, menjadi bingung sekali. Mereka sama sekali tidak berani mencampuri. Orang-orang yang mungkin berani mencampuri hanyalah Siangkoan Eng, atau mungkin juga Tio Sui Lan, murid kepala dari Siangkoan Kok yang kini menjadi selirnya itu.

Akan tetapi pada saat itu, Eng Eng tidak ada, sudah pergi tanpa pamit. Dan ketika para murid mencari Tio Sui Lan, mereka juga tidak dapat menemukan murid utama yang selama beberapa hari ini menjadi isteri ketua mereka. Karena bingung, tidak tahu harus berbuat apa, para murid dan anggota Pao-beng-pai itu bahkan menjauh, sama sekali tidak berani mencampuri perkelahian antara sang ketua dan isterinya, karena mereka tahu bahwa mencampuri berarti akan mati konyol.

Pada saat semua orang menjadi bingung itu, terdengar suara gaduh di lereng bukit, suara tambur dan terompet, suara sorakan riuh rendah. Inilah suara genderang perang yang dibunyikan oleh pasukan pemerintah yang datang menyerbu.

Siangkoan Kok sudah dapat menekan dan mendesak Lauw Cu Si. Pedangnya berubah menjadi gulungan sinar kemerahan, dan biar pun Lauw Cu Si sudah melawan dengan nekat saking marahnya, tetap saja ia kalah tingkat dan mulai terdesak, bahkan ia telah menderita beberapa luka karena tusukan dan bacokan pedang.

Suara tambur dan terompet itu mengejutkan Siangkoan Kok. Akan tetapi Lauw Cu Si tidak peduli. Satu-satunya perhatian wanita ini hanyalah ingin membunuh pria yang selama ini dipuja dan ditaatinya, karena pria ini hampir saja membunuh puterinya, dan kini ingin membunuhnya.

Namun, Siangkoan Kok yang kini terkejut dan bingung mendengar suara gaduh yang disusul sorak-sorai dan suara pertempuran, cepat menggerakkan kakinya menendang. Karena isterinya memang sudah terdesak oleh pedangnya, maka tendangan itu tidak dapat dielakkan Lauw Cu Si.

"Desss...!"

Kaki Siangkoan Kok yang besar dan kuat itu menghantam perut isterinya, dan Lauw Cu Si terjengkang serta terlempar, roboh terbanting dan pingsan! Siangkoan Kok sudah tak lagi mempedulikan isterinya karena dari teriakan-teriakan para anak buah Pao-beng-pai, dia dengan terkejut sekali mengetahui bahwa sarangnya diserbu pasukan pemerintah!

Pada saat itu, muncul Tio Sui Lan bersama belasan orang perwira! Wanita muda itu menudingkan telunjuk kirinya ke arah Siangkoan Kok sambil berkata, "Inilah si jahanam Siangkoan Kok, si manusia iblis!"

Melihat munculnya murid yang telah dipaksanya menjadi isterinya itu bersama belasan orang perwira, Siangkoan Kok segera tahu apa yang terjadi. Murid ini ternyata sudah mengkhianatinya! Pantas sejak pagi Sui Lan tidak nampak.

Pada waktu dia bangun tidur tadi, dia tidak melihat Sui Lan di sisinya. Hal ini sudah membuatnya marah-marah, apa lagi ketika mendengar bahwa Eng Eng sudah minggat meninggalkan Pao-beng-bai, kemarahannya semakin memuncak. Selama ini Eng Eng menjadi puterinya yang patuh, bahkan menjadi pembantu utama, menjadi tokoh kedua sesudah dia di Pao-beng-pai. Apa lagi sekarang tahu-tahu murid yang telah dipaksanya menjadi isteri selama belasan hari itu, tiba-tiba muncul dengan belasan orang perwira pemerintah yang membawa pasukan dan yang agaknya kini melakukan penyerbuan ke situ.

"Pengkhianat kau...!" teriaknya sambil melotot memandang kepada wanita yang malam tadi masih menjadi kekasihnya tercinta.

Akan tetapi Sui Lan tersenyum mengejek, dengan kedua matanya bercucuran air mata! "Engkaulah manusia iblis! Dan inilah pembalasanku, Siangkoan Kok!" teriaknya.

Dengan nekat Sui Lan yang telah memegang pedang itu kini menerjang dan menyerang pria yang selama ini menjadi gurunya yang ditaati. Kemudian ketaatannya dihancurkan bersama kehormatannya yang direnggut secara paksa oleh orang yang dihormatinya itu.

Para perwira itu amat terkejut. Tadi ketika mereka memimpin pasukan mendaki lereng Kwi-san menuju Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan), setelah semalaman mengurung ketat tempat itu, mereka bertemu dengan seorang wanita cantik yang menuruni lereng. Segera wanita itu dikepung. Wanita itu adalah Tio Sui Lan!

Pada saat melihat bahwa tempat itu telah terkepung pasukan pemerintah, Sui Lan yang tadinya hendak melarikan diri, menjadi girang sekali. Ia lalu menyatakan bahwa ia ingin membantu pasukan pemerintah menghancurkan Pao-beng-pai. Ia mengatakan bahwa tanpa petunjuk jalan yang mengenal tempat itu, penyerbuan akan menghadapi kesulitan karena di sekeliling Ban-kwi-kok dipasangi jebakan-jebakan yang amat berbahaya.

Usulnya diterima dan demikianlah, berkat petunjuk wanita yang menjadi pengkhianat karena sakit hati itu, pasukan pemerintah dapat naik dengan mudah sampai mengurung sarang Pao-beng-pai. Sekarang, setelah berhasil menyusup dengan diam-diam, mereka melakukan penyerbuan serentak sehingga menggegerkan para anggota Pao-beng-pai.

Sui Lan menjadi petunjuk jalan bagi para perwira untuk mencari pemimpin pemberontak dan sempat melihat pemimpin pemberontak itu baru saja merobohkan isterinya sendiri. Dan melihat Sui Lan tiba-tiba menyerang Siangkoan Kok, para perwira tentu saja amat terkejut dan khawatir karena mereka semua sudah mendengar betapa lihainya ketua Pao-beng-pai itu. Mereka serentak maju, namun terlambat.

Ketika Sui Lan menyerang Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai ini demikian marahnya sehingga dia langsung menyambut bekas murid dan juga bekas kekasih paksaannya itu dengan pedangnya. Sambutan yang dahsyat dan penuh keberanian hingga pedangnya seperti kilat menyambar.

"Tranggg... crakkk!"

Pedang di tangan Tio Sui Lan terlempar jauh, disusul tubuhnya yang roboh mandi darah karena pedang di tangan Siangkoan Kok sudah menembus ke dadanya! Wanita yang malang itu tewas seketika karena pedang ketua Pao-beng-pai itu beracun, juga pedang itu menembus jantungnya.

Belasan orang perwira cepat menerjang dan mengeroyoknya. Mereka adalah jagoan-jagoan dari kota raja. Biar pun kalau maju seorang demi seorang, mereka bukan lawan Siangkoan Kok, namun karena mereka maju bersama, tentu saja ketua Pao-beng-pai itu menjadi kewalahan dan repot sekali.

Apa lagi melihat keadaan di luar rumah yang amat gaduh. Ia ingin melihat keadaan para anggotanya, maka dia pun meloncat ke belakang dan menghilang melalui sebuah pintu yang segera tertutup sendiri ketika belasan orang perwira itu hendak mengejar.

"Itu isterinya, kita basmi saja sekalian!" teriak seorang perwira.

Ketika itu Lauw Cu Si sudah siuman dari pingsannya dan ia sudah bangkit duduk lalu berdiri sambil memegang pedangnya yang tadi terlepas pada waktu ia roboh tertendang suaminya. Saat melihat belasan orang perwira itu mengepungnya, ia pun melintangkan pedang di depan dada.

"Hemmm, bunuhlah aku. Aku memang telah terperosok, bodoh sekali menjadi isteri Siangkoan Kok!" katanya dengan sikap gagah walau pun tubuhnya sudah luka-luka oleh pedang suaminya dan terutama sekali, tendangan tadi masih terasa dan melemahkan tubuhnya.

"Bunuh dia!" teriak para perwira dan siap hendak mengeroyok.

"Tahan, jangan serang!" mendadak terdengar seruan nyaring.

Ketika para perwira menoleh, mereka terkejut dan heran mengenal Pangeran Cia Sun sudah berada di situ dengan pedang di tangan.

"Lebih baik kalian cepat mengejar ketua Pao-beng-pai dan membasmi anak buahnya!" Cia Sun memberikan perintahnya.

Belasan orang perwira itu meragu, “Tapi... tapi... ia bisa berbahaya bagi Paduka...," kata seorang perwira sambil menunjuk ke arah wanita itu.

"Tidak! Aku mengenalnya, ia tidak jahat. Kalian pergilah!"

Para perwira memberi hormat, lalu segera berloncatan keluar dari ruangan itu, untuk memimpin anak buah mereka yang ketika itu sedang bertempur melawan para anggota Pao-beng-pai.

"Bibi...!" kata Cia Sun. "Di mana Eng-moi...?"

Wanita itu hanya menggeleng kepala. Ia hendak menggerakkan kakinya, akan tetapi ia terhuyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat dirangkul Cia Sun.

"Bibi... menderita luka-luka...? Oleh para perwira itu?"

Wanita itu menggeleng, hendak bicara, akan tetapi tiba-tiba ia muntah darah. Melihat ini, terkejutlah Cia Sun, maklum bahwa wanita itu terluka parah. Dipondongnya Lauw Cu Si yang setengah pingsan itu dan terpaksa dia melangkahi mayat Tio Sui Lan yang tadinya membuat dia terkejut bukan main ketika pertama kali memasuki ruangan itu, mengira itu mayat kekasihnya. Dia merebahkan tubuh Lauw Cu Si ke atas sebuah bangku panjang.

Sekarang Lauw Cu Si dapat bicara, biar pun terengah-engah dan menahan rasa nyeri. "Jahanam itu... Siangkoan Kok... yang memukulku..."

Tentu saja Cia Sun merasa heran sekali. "Bibi, di mana Eng-moi?"

"Ia sudah pergi kemarin, tanpa pamit. Itu yang membuat Siangkoan Kok marah..."

"Tapi kenapa Eng-moi pergi?"

"Ketika Siangkoan Kok tahu bahwa Eng Eng membebaskanmu, dia menghajar Eng Eng dan hendak membunuhnya. Aku mencegahnya dan membuka rahasia bahwa dia tidak berhak membunuh Eng Eng yang bukan anaknya..."

"Bukan puterinya?" Tentu saja Cia Sun terkejut dan heran.

"Ketika aku menjadi isterinya, aku membawa Eng Eng yang sudah berusia dua tahun lebih..."

"Ahhh, kalau begitu Eng-moi puteri Bibi dengan suami lain?"

Wanita itu kembali menggelengkan kepala, hendak bicara akan tetapi kembali ia batuk-batuk dan muntah darah. Tendangan yang mengenai dadanya itu memang hebat sekali, membuat ia menderita luka dalam yang parah. Sejenak ia terngengah-engah, wajahnya pucat sekali.

Cia Sun sudah merasa bingung sekali mendengar bahwa Eng Eng yang ternyata bukan puteri kandung ketua Pao-beng-pai itu sudah pergi tanpa pamit. Dia tidak tahu harus berbuat apa terhadap ibu Eng Eng yang keadaannya payah itu.

"Engkau... benar... seorang pangeran?"

Cia Sun mengangguk. "Aku memang Pangeran Cia Sun, Bibi, akan tetapi aku mencinta Eng-moi."

"Kalau begitu, dengar baik-baik...," suaranya makin lemah seperti berbisik.

"Aku... aku tidak dapat bertahan lama, aku akan mati... dan inilah saatnya aku membuka rahasia..., dan engkau tepat orangnya yang kuberi tahu... dengar, Eng Eng bukan puteri Siangkoan Kok juga bukan anakku..."

"Ehhh? Lalu... dia anak siapa, Bibi?"

"Ayah ibunya adalah orang-orang yang selalu dimusuhi oleh golongan kami... golongan Beng-kauw... aku amat membenci ayah ibunya, terutama ayahnya, karena itulah... aku... menculik Eng Eng ketika ia berusia tiga tahun. Akan tetapi, aku... aku amat mencintanya seperti anakku sendiri... juga Siangkoan Kok menyayangnya sampai engkau muncul..."

"Ahhh...!"

Bermacam perasaan mengaduk hati pangeran itu. Ada perasaan kaget, heran, namun juga kasihan dan bahkan ada perasaan girang. Girang bahwa kekasihnya itu bukanlah anak kandung ketua Pao-beng-pai dan isterinya!

"Akan tetapi... ke mana aku harus mencarinya, Bibi? Aku harus mencari dia sampai menemukannya. Aku mencintanya dan akan mengambilnya sebagai isteriku!"

Cia Sun terkejut melihat wanita itu napasnya sudah empas-empis, dan agaknya sudah tidak mampu menjawabnya, matanya sudah terpejam.

"Bibi...! Bibi...! Katakanlah, di mana Eng-moi?" Cia Sun mengguncang-guncang pundak wanita yang sudah sekarat itu.

Wanita itu membuka matanya yang sudah sayu dan suaranya hanya bisik-bisik saja. "Suling Naga... itulah ayah kandungnya... dia tinggal di Lok-yang...cari... cari ke sana..." Leher itu terkulai, mata itu terpejam dan wanita itu pun mati.

Cia Sun bangkit berdiri, termenung. Sebutan ‘Suling Naga’ terngiang di telinganya. Dan dia tertegun. Dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Naga yang tinggal di Lok-yang. Kalau dia tak salah ingat, namanya Sim Houw, seorang pendekar yang sakti, terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat luar biasa, pedang yang berbentuk suling, pedang suling, atau suling pedang.

Jadi Eng Eng adalah puteri pendekar sakti itu! Ketika masih kecil diculik oleh Lauw Cu Si karena wanita itu sebagai orang Beng-kauw menganggap pendekar itu sebagai musuh besar.

"Ahhh...!!" tiba-tiba dia terbelalak.

Dia teringat pada Yo Han. Bukankah Yo Han mencari puteri pendekar itu yang hilang? Kalau begitu, anak yang dicari oleh Yo Han itu bukan lain adalah Eng Eng! Dia lalu mengingat-ingat. Yo Han, yang telah menjadi saudara angkatnya ketika mereka berdua dikurung sebagai tahanan di sarang Pao-beng-pai, pernah menceritakan bahwa anak yang dicari itu mempunyai ciri-ciri yang khas, dan ada noda merah sebesar ibu jari kaki di tapak kaki kanannya.

Mendengar suara pertempuran di luar, Cia Sun khawatir kalau-kalau gadis itu kembali dan ikut pula bertempur membela Pao-beng-pai melawan pasukan pemerintah. Cepat ia menyelinap keluar dan mencari-cari.

Pertempuran sudah hampir usai. Pihak pemberontak tidak mampu menandingi pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya, apa lagi dipimpin oleh para jagoan istana. Bahkan Siangkoan Kok juga tidak nampak dan ketika dia tanyakan kepada para perwira, mereka pun tidak tahu ke mana perginya ketua pemberontak itu. Ternyata Siangkoan Kok telah meloloskan diri, tidak mempedulikan anak buahnya yang dibantai pasukan.

Setelah mencari keterangan dan merasa yakin bahwa Eng Eng tidak pernah kembali dan tidak terlibat dalam pertempuran itu, Cia Sun segera meninggalkan tempat itu untuk pergi mencari kekasihnya. Banyak anggota Pao-beng-pai yang tewas, sisanya ditawan. Gagallah gerakan Pao-beng-pai, seperti yang dialami oleh banyak kelompok-kelompok pemberontak terdahulu.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Tangan Sakti