SI TANGAN SAKTI : JILID-17
"Kenapa, Eng-moi... dan be... benarkah ada tanda-tanda itu pada dirimu...? Benarkah bahwa engkau ini Sim Hui Eng?" Suara pangeran itu juga gemetar karena dia merasa tegang, khawatir kalau-kalau gadis ini bukan Sim Hui Eng seperti yang disangkanya.
Sampai lama Eng Eng tidak mampu bicara. Mukanya yang pucat kelihatan seperti mau menangis dan ketika ia bertanya, suaranya hampir tidak dapat didengar, "Bagaimana... perasaanmu terhadap aku kalau aku tidak mempunyai tanda-tanda itu, kalau aku bukan Sim Hui Eng?"
"Eng-moi, masihkah engkau meragukan cintaku kepadamu? Ketika aku jatuh cinta dan meminangmu, engkau adalah puteri ketua Pao-beng-pai, bukan? Engkau tetap engkau bagiku, satu-satunya gadis yang kucinta, baik engkau mempunyai tanda atau tidak, baik engkau puteri Siangkoan Kok atau bukan, atau puteri siapa pun juga. Aku tetap cinta padamu, Eng-moi, biar engkau akan membunuhku sekali pun. Tapi... untuk meyakinkan, benarkah engkau memiliki tanda-tanda itu?"
Tiba-tiba Eng Eng menjatuhkan diri berlutut kemudian menangis terisak-isak. Tentu saja pangeran itu terkejut dan khawatir, lalu dia pun berlutut di depan gadis itu.
"Eng-moi, kenapa, Eng-moi...? Ahhh, maafkan jika aku sudah membuat hatimu berduka, Eng-moi. Lebih baik aku melihat engkau marah-marah kepadaku seperti tadi dari pada melihat engkau bersedih seperti ini, Eng-moi."
Ucapan itu membuat Eng Eng semakin mengguguk. Cia Sun merasa hatinya bagaikan ditusuk-tusuk melihat keadaan kekasihnya itu dan dia pun menyentuh pundak gadis itu dengan lembut.
"Eng-moi, ada apakah...?"
Akhirnya Eng Eng dapat bicara tanpa menurunkan kedua tangannya dari muka, dan air mata mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya.
"Kau... kau lihat sendiri... apakah... ada tanda-tanda itu..."
Ia lalu menyingkap baju di bagian pundak kiri dan melepas sepatu serta kaos kakinya yang kanan. Cia Sun memandang pundak yang berkulit putih mulus itu dan di sana, jelas sekali nampak sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat. Dan pada telapak kaki yang putih kemerahan itu nampak pula noda merah.
"Kau... kau benar-benar Sim Hui Eng...!" serunya seperti bersorak gembira.
Eng Eng kini merangkul ke arah kaki Cia Sun, "Pangeran..., ampunkan aku... aku telah berbuat kejam dan tidak adil padamu... aku... aku layak kau pukul. Balaslah, Pangeran, pukullah aku, siksalah aku, bunuhlah aku... huuu-huhuuuuu...!"
Gadis itu tersedu-sedu, menangis dengan perasaan menyesal, malu, dan juga marah terhadap dirinya sendiri dan sangat iba kepada pria yang dicintanya namun yang telah disiksanya tanpa salah itu. Bahkan pangeran itu telah mencegah pasukan membunuh Lauw Cu Si sehingga ia merupakan satu-satunya orang yang telah menemukan rahasia dirinya.
Pangeran ini telah berjasa kepadanya. Sebaliknya, ia menuduhnya sebagai pembunuh. Ia telah menyiksanya dengan kata-kata, dengan perbuatan. Ingin ia menciumi sepatu pangeran itu untuk menyatakan penyesalannya.
Melihat betapa gadis yang dicintanya itu merangkul kakinya dan mencium sepatunya, Cia Sun cepat-cepat merangkul, menarik dan mendekap kepala itu, seolah-olah hendak membenamkannya ke dadanya untuk disimpan di dalam dada dan tak akan dilepaskan lagi selamanya. Dia sendiri pun membenamkan mukanya yang basah air mata ke dalam rambut itu.
Sampai beberapa lamanya mereka berpelukan dan bertangisan. Beberapa kali Eng Eng mengusap dan membelai muka yang masih ada bekas-bekas tamparan tangannya itu dengan jari-jari gemetar.
Setelah gelora keharuan hati mereka mereda, Cia Sun membiarkan Eng Eng duduk bersandar di dadanya. Dia membelai rambut yang kusut itu dan berbisik, "Sudahlah, Eng-moi, sudah cukup engkau menyesali diri. Aku tidak akan menyalahkanmu. Memang batinmu mengalami guncangan yang hebat. Akhirnya semua kegelapan lewat dan kini kita berdua tinggal menyongsong sinar kebahagiaan."
"Pangeran..."
Cia Sun menghentikan kata-kata itu dengan sentuhan bibirnya pada bibir Eng Eng. "Hushhh..., kalau kau menyebutku pangeran, lalu apa bedanya dengan seluruh wanita yang menjadi kawula dan menyebutku seperti itu. Engkau adalah calon isteriku, engkau tunanganku, engkau kekasihku, ingat?"
Eng Eng tersipu, akan tetapi tersenyum penuh bahagia. "Kakanda... Cia Sun..." Betapa merdunya panggilan itu.
"Adinda Hui Eng..." Sang pangeran berbisik dan sebutan nama yang terdengar asing baginya itu mengingatkan Eng Eng akan keadaan dirinya.
"Kakanda Pangeran, dengan hati berdebar penuh ketegangan, sekarang aku menunggu engkau memberi tahu kepadaku, siapa sebenarnya orang tuaku? Apakah ayah ibuku masih hidup?"
"Engkau akan terkejut, berbahagia dan bangga sekali jika mendengar siapa ayah ibumu, Eng-moi. Pada saat engkau masih kuanggap sebagai puteri Siangkoan Kok, aku sudah kagum dan cinta padamu. Ketika aku mendengar dari bibi Lauw Cu Si siapa ayah dan ibumu, kekagumanku padamu bertambah-tambah. Ketahuilah bahwa ayahmu bernama Sim Houw dan ibumu bernama Can Bi Lan. Ehhh, kenapa kau, Eng-moi (adinda Eng)?"
Mendengar disebutnya kedua nama itu sebagai ayah ibunya, Eng Eng sudah meloncat berdiri sehingga terlepas dari rangkulan pangeran itu. Ia berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Ayahku... Pendekar Suling Naga dan ibuku Si Setan Kecil...! Aihhhh... Kakanda... sekali ini celakalah aku..."
Cia Sun cepat bangkit dan merangkul gadis itu. "Tenanglah, Moi-moi, kenapa engkau berkata begitu? Bukankah sepatutnya engkau berbangga? Ayah ibumu adalah suami isteri pendekar yang sakti dan nama mereka terkenal sekali di dunia persilatan!"
"Aihh, engkau tidak tahu, Koko! Ahh, betapa malunya aku berhadapan dengan mereka. Ketahuilah, aku pernah mewakili Pao-beng-pai mendatangi tiga keluarga besar para pendekar itu dan menantang mereka mengadu kepandaian. Bahkan dalam peristiwa itu, Siauw-kwi Can Bi Lan, ibu kandungku itu maju untuk menandingiku. Akan tetapi aku, si tinggi hati tak tahu diri ini, aku bahkan menghinanya dan menantang Pendekar Suling Naga, ayahku sendiri untuk maju menandingiku! Aku telah bersikap sangat angkuh dan menghina tiga keluarga besar, dan ternyata Pendekar Suling Naga itu adalah ayahku sendiri. Bagaimana aku dapat berhadapan dengan mereka, Koko?" Dalam rangkulan Cia Sun, seluruh tubuh Eng Eng gemetar seperti orang terserang demam.
"Jangan risaukan hal itu, Eng-moi. Engkau tidak dapat disalahkan. Ketika itu engkau mewakili Pao-beng-pai maka tentu saja engkau menganggap para pendekar itu sebagai musuh. Apa lagi engkau hanya melaksanakan tugas, karena pada waktu itu engkau menganggap bahwa kau adalah puteri ketua Pao-beng-pai. Dan aku mengerti mengapa engkau mendapat tugas itu. Mungkin bibi Lauw Cu Si yang kau angap sebagai ibumu itulah yang mempunyai peran penting, sengaja membujuk Siangkoan Kok agar engkau melakukan penghinaan terhadap keluarga besar para pendekar itu."
Gadis itu menatap wajah Cia Sun. "Ehhh, kenapa begitu?"
"Aku sudah melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa sebetulnya mendiang bibi Lauw Cu Si itu. Ia adalah seorang keturunan pimpinan Beng-kauw yang telah hancur. Karena ia seorang tokoh sesat, tentu saja ia memusuhi keluarga besar dari Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Siluman. Itu pula yang menyebabkan ia menculikmu, yaitu untuk membalas dendam terhadap Pendekar Suling Naga dan isterinya yang terkenal sebagai pendekar-pendekar yang menentang golongan sesat. Dengan mengadu dirimu melawan keluarga pendekar itu, melawan golongan orang tuamu sendiri, agaknya bibi Lauw Cu Si menemukan kepuasan tersendiri."
"Akan tetapi, Koko. Kalau orang tuaku itu Pendekar Suling Naga dan isterinya yang merupakan sepasang suami isteri pendekar yang sakti, mengapa aku sampai dapat terculik? Dan kenapa pula mereka tidak mencari si penculik dan merampasku kembali?"
"Pertanyaan seperti itu juga kuajukan kepada Yo-toako ketika kami membicarakan anak hilang itu. Menurut keterangan Yo-toako, Pendekar Suling Naga dan isterinya sudah sejak kehilangan puteri mereka itu berusaha sampai bertahun-tahun untuk menemukan anak mereka kembali. Akan tetapi semua usaha itu sia-sia belaka. Agaknya si penculik, yaitu bibi Lauw Cu Si, dengan cerdik sekali sudah menghilang, yaitu menjadi isteri Siangkoan Kok sehingga tidak seorang pun mengira bahwa engkau adalah anak yang diculik itu. Semua orang, bahkan Siangkoan Kok sendiri, menganggap engkau adalah puteri bibi Lauw Cu Si."
Eng Eng mengangguk-angguk, semua rasa penasarannya hilang. Akan tetapi tetap saja ia mengerutkan alisnya. Jika saja ia mendengar bahwa ayah ibunya adalah orang-orang biasa, bahkan petani miskin sekali pun, dia tentu akan berbahagia sekali dan merasa rindu untuk segera dapat bertemu dengan orang tuanya yang asli.
Akan tetapi, Pendekar Suling Naga?! Semua pengalamannya ketika dia menantang tiga keluarga besar itu terkenang dan makin dikenang, semakin merah wajahnya karena ia merasa malu bukan main.
"Koko, aku... aku takut untuk bertemu dengan mereka, aku takut dan malu..."
Cia Sun merangkul pundaknya, dan mengajaknya menghampiri kuda mereka. Matahari telah naik tinggi dan di jalan raya sana lalu lintas sudah mulai ramai.
"Eng-moi, buang saja semua perasaan itu. Percayalah, orang tuamu tak pernah berhenti memikirkanmu, bahkan sekarang pun masih minta bantuan Yo-toako untuk mencarimu. Mereka tentu akan berbahagia sekali kalau dapat menemukan anak mereka kembali. Dan mengenai kemunculanmu tempo hari, mereka tentu akan dapat mengerti. Jangan khawatir, akulah yang akan menemanimu ke sana menghadap mereka, dan aku yang tanggung bahwa mereka tentu akan menerima dengan bahagia dan tak akan ada yang menyesalkan tindakanmu dahulu."
"Aihh, aku merasa ngeri sekali bertemu mereka, Koko. Bagaimana kalau aku tidak usah memperlihatkan diri saja kepada mereka? Biarlah ini menjadi rahasia kita berdua saja. Aku... aku tidak mau membuat suami isteri pendekar itu mendapat malu besar dan nama baik mereka tercemar karena mempunyai anak seperti aku ..."
"Hushhhhh, jangan berkata begitu, Moi-moi. Coba jawab apakah engkau mencinta aku seperti aku mencintamu?"
"Apakah itu masih perlu ditanyakan lagi, Koko? Aku mencintamu, bahkan kekejamanku terhadapmu tadi pun karena terdorong cintaku padamu, akibat hatiku panas mendengar engkau mencinta Sim Hui Eng yang kukira gadis lain. Aku cinta padamu, Koko."
"Bagus, dan karena kita saling mencinta, apakah engkau mau menjadi isteriku?"
Gadis itu mengangguk. Sebagai puteri ketua Pao-beng-pai yang sejak kecil hidup dalam suasana kekerasan, ia tidak canggung atau malu mengaku tentang perasaan cintanya, "Tentu saja aku mau, koko!"
"Nah, kalau begitu, karena aku seorang pangeran yang tak mungkin meninggalkan tata susila dan adat-istiadat, aku akan melamarmu dengan terhormat dan secara baik-baik. Dan untuk itu, engkau harus mempunyai wali, mempunyai orang tua. Sekarang, mari kita pergi ke Lok-yang, ke rumah orang tuamu. Setelah engkau diterima dengan baik, aku akan kembali ke kota raja, kemudian aku akan mengirim utusan untuk meminangmu secara terhormat."
Gadis itu mengerutkan alis, akan tetapi begitu sinar matanya bertemu dengan pandang mata pangeran itu, ia pun mengangguk dan menurut saja ketika digandeng ke arah dua ekor kuda mereka yang sedang makan rumput. Tidak lama kemudian, sepasang orang muda yang berbahagia ini pun sudah melarikan kuda, menuju ke Lok-yang.
Oleh karena Cia Sun merupakan seorang keluarga kaisar, bahkan cucu kaisar, seorang pangeran yang pandai bergaul dan terkenal di kalangan para pejabat daerah, maka di sepanjang perjalanan itu dengan mudah saja dia mendapatkan pelayanan yang penuh penghormatan, mendapat tempat bermalam di rumah para kepala daerah, dijamu pesta dan dapat menukar kuda-kuda baru sehingga perjalanan ini cukup menyenangkan bagi Eng Eng…..
********************
Yo Han mendaki lereng bukit itu. Bukit Naga. Thian-li-pang berada di lereng paling atas, dekat puncak. Sudah hampir setengah tahun dia merantau, mencari Sim Hui Eng, puteri Pendekar Suling Naga. Namun, usahanya sia-sia. Tak pernah dia berhasil mendengar keterangan tentang penculikan terhadap putri pendekar sakti itu.
Dia sudah memasuki dunia kang-ouw, bahkan banyak menundukkan tokoh-tokoh sesat, hanya untuk dimintai keterangan kalau-kalau ada yang mengetahui, siapa yang pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga dua puluh tahun yang lalu. Akan tetapi semua usahanya, dari bujukan halus sampai kekerasan, tidak ada hasilnya.
Agaknya tidak ada seorang pun tahu siapa gerangan yang menculik puteri pendekar itu. Penculiknya agaknya lihai dan cerdik bukan main sehingga setelah menculik anak itu, dia seperti menghilang ke dalam bumi membawa anak culikannya!
Akhirnya Yo Han mengambil kesimpulan bahwa tanpa banyak tenaga pembantu, akan sukarlah menemukan anak yang hilang itu. Dia teringat kepada Thian-li-pang. Dia telah dianggap sebagai pemimpin besar Thian-li-pang dan anak buah Thian-li-pang adalah orang-orang yang berpengalaman dan memiliki hubungan luas dalam dunia kang-ouw.
Mungkin para tokoh kang-ouw yang sudah ditanyainya, merasa enggan untuk membuka rahasia rekan mereka sendiri yang melakukan penculikan, karena dia dianggap sebagai Pendekar Tangan Sakti, seorang pendekar yang menentang kejahatan. Bila anak buah Thian-li-pang yang melakukan penyelidikan, mungkin akan lebih mudah. Orang-orang kang-ouw tentu akan bersikap lebih terbuka di antara golongan sendiri.
Benar sekali, kenapa sejak dahulu dia tidak minta bantuan para anggota Thian-li-pang, pikirnya menyesali diri sendiri. Paman Lauw Kang Hui tentu akan senang membantunya sehingga lebih besar harapannya untuk dapat menemukan orang yang pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga!
Demikianlah, pada pagi hari itu, Yo Han mendaki lereng Bukit Naga. Dia sama sekali tidak tahu bahwa di Thian-li-pang telah terjadi perubahan yang amat besar. Tidak tahu bahwa Lauw Kang Hui dan beberapa orang tokoh Thian-li-pang sudah tewas, terbunuh oleh Ouw Seng Bu, yang kini menjadi ketua Thian-li-pang…..
********************
Memang Thian-li-pang telah berubah sama sekali semenjak pimpinannya dipegang oleh Ouw Seng Bu. Pemuda tampan yang telah menemukan ilmu silat yang amat hebat ini membiarkan para anggota Thian-li-pang berbuat apa saja dengan bebasnya. Bahkan dia menjalin hubungan lagi dengan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, seperti yang dahulu pernah dilakukan Thian-li-pang sebelum muncul Yo Han yang kemudian membersihkan perkumpulan pejuang itu.
Ouw Seng Bu bahkan memiliki cita-cita untuk mempersatukan semua kelompok pejuang dengan dia yang menjadi pemimpin besar. Kalau semua kekuatan kelompok pejuang sudah dipersatukan, baik itu dari golongan pendekar mau pun golongan sesat, dan dia yang menjadi pemimpin besar, tentu perjuangan untuk mengusir penjajah Mancu akan berhasil. Dan jika sudah berhasil, dia yang menjadi pemimpin besar, tentu berhak untuk menjadi kaisar kerajaan baru! Besar sekali jangkauan cita-cita pemuda ini.
Setelah secara kebetulan bertemu dengan Cu Kim Giok di dekat Ban-kwi-kok, menolong gadis itu dari ancaman Siangkoan Kok, dan berhasil pula menundukkan bekas ketua Pao-beng-pai yang lalu berjanji untuk membantunya, Ouw Seng Bu mengajak, Kim Giok berkunjung ke Bukti Naga.
Kim Giok sudah mendengar tentang perkumpulan Thian-lipang yang di dunia kang-ouw (sungai telaga, atau persilatan) dikenal sebagai sebuah perkumpulan para patriot yang berjuang untuk menggulingkan pemerintah penjajah. Itulah sebabnya, ia merasa kagum dan tertarik sekali kepada Ouw Seng Bu, pemuda tampan dan gagah yang mengaku sebagai ketua Thian-li-pang. Dan di sepanjang perjalanan menuju ke Bukit Naga, Kim Giok melihat betapa sikap Seng Bu memang sangat baik. Pemuda itu pendiam, juga sopan dan ramah terhadap dirinya.
Cu Kim Giok merupakan puteri tunggal suami isteri pendekar. Ayahnya, Cu Kun Tek, adalah pendekar keturunan langsung dari keluarga Cu, majikan Lembah Naga Siluman. Ibunya tidak kalah lihai dibandingkan ayahnya, karena ibunya adalah murid mendiang Bu Beng Lokai.
Sebagai anak tunggal, tentu saja Kim Giok telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya. Dan biar pun usianya baru delapan belas tahun lebih, Kim Giok telah menjadi seorang pendekar wanita yang amat lihai.
Akan tetapi tentu saja ia kurang pengalaman karena ini merupakan yang pertama kali ia merantau seorang diri untuk meluaskan pengalamannya. Meski pun demikian, ia sudah membawa banyak bekal nasehat dan pesan kedua orang tuanya.
Andai kata Seng Bu bersikap ceriwis terhadapnya, terdapat kegenitan dalam pandang mata atau kata-katanya saja, tentu ia akan menjauhkan diri. Akan tetapi, sikap Seng Bu sungguh baik. Dia nampak seperti seorang pemuda pendiam yang sopan dan berwatak pendekar sejati! Inilah sebabnya mengapa Kim Giok merasa tertarik sekali, kagum dan merasa suka.
Rasa kagumnya semakin bertambah ketika Kim Giok dan Seng Bu tiba di Bukit Naga, di pusat perkampungan Thian-li-pang. Para anggota Thian-li-pang rata-rata terlihat gagah perkasa dengan pakaian yang rapi serta bersih, baik prianya mau pun wanitanya, dan mereka semua menyambut kedatangan Seng Bu dengan sikap yang amat menghormat!
Masih begitu muda, akan tetapi telah menjadi ketua sebuah perkumpulan pejuang yang terkenal gagah perkasa. Dan melihat perkampungan Thian-li-pang itu, Kim Giok dapat menaksir bahwa anggota perkumpulan itu tidak kurang dari seratus orang banyaknya.
Akan tetapi, hati gadis itu merasa penasaran ketika pada keesokan harinya ia melihat lima orang tamu yang datang menghadap ketua Thian-li-pang. Dua orang di antara tamu-tamu itu adalah dua orang tosu (pendeta) berambut panjang yang pada baju di dadanya ada lukisan teratai putih. Orang-orang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)! Ada lagi tiga orang pendeta lainnya mengenakan gambar pat-kwa (segi delapan) pada dadanya. Ia pernah mendengar akan nama perkumpulan pemberontak yang namanya tidak bersih di dunia kang-ouw sebab para anggotanya tidak pantang melakukan segala macam kejahatan!
Setelah kelima orang tamu itu meninggalkan perkampungan Thian-li-pang, barulah Kim Giok memberanikan diri menemui ketua Thian-li-pang untuk melampiaskan penasaran dalam hatinya. Ia melihat pemuda itu sedang duduk di ruangan rapat yang luas, sedang memberi perintah kepada belasan orang pembantunya.
Melihat ini, Kim Giok yang sudah sampai di ambang pintu, mundur kembali. Akan tetapi Seng Bu telah melihatnya dan ketua ini berseru dengan ramah.
"Nona Cu, masuk sajalah. Di antara kita orang sendiri tidak ada rahasia. Masuk dan silakan duduk."
Setelah gadis itu memasuki ruangan dan mengambil tempat duduk di sudut, agak jauh dari mereka yang sedang melakukan perundingan, Seng Bu melanjutkan, "Harap suka menunggu sebentar, Nona, pembicaraan kami sudah hampir selesai."
Kim Giok mengangguk dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka. Akan tetapi Seng Bu tidak melirihkan suaranya saat pemuda itu melanjutkan pengarahannya kepada para pembantunya.
"Kalian sudah tahu akan tugas-tugas kalian? Terserah kalian membagi tugas, tapi kalian harus ingat apa yang terpenting dalam tugas kalian. Yang pertama menghubungi semua kelompok pejuang, membujuk mereka agar suka bekerja sama dengan mengemukakan alasan seperti yang sudah kujelaskan tadi. Kalau ada yang tidak bersedia bekerja sama, kalian selidiki keadaan mereka, siapa para pemimpinnya dan sampai di mana tingkat kepandaian mereka agar aku bisa segera mengambil tindakan. Dan ke dua, selidiki pula kelemahan-kelemahan yang ada di dalam keluarga kaisar, terutama orang-orang yang dekat hubungannya dengan kaisar. Sudah mengerti semua?"
Belasan orang itu menyatakan bahwa mereka sudah mengerti, dan Seng Bu kemudian mempersilakan mereka keluar. Sikap pemuda itu demikian tegas dan berwibawa hingga Kim Giok yang ikut mendengarkan merasa kagum sekali.
Setelah belasan orang pembantunya keluar, Seng Bu menghampiri Kim Giok dan duduk berhadapan dengan gadis itu. Sikapnya seperti biasa, amat sopan dan ramah, sangat menghormati gadis yang dianggap sebagai seorang tamu agung di Thian-li-pang.
"Nona Cu, selamat pagi. Maafkan, bahwa tadi aku meninggalkanmu seorang diri karena kesibukanku menerima tamu malam tadi dan memberi tugas kepada para pembantuku. Apakah semalam Nona enak tidur, dan apakah pelayanan kepada Nona tidak ada yang mengecewakan?"
"Terima kasih, Pangcu (Ketua). Pelayanan cukup memuaskan dan aku merasa terlalu disanjung di sini. Pangcu, aku sengaja datang mencarimu karena aku melihat sesuatu yang membuat hatiku merasa penasaran sekali dan aku mengharapkan jawaban yang sejujurnya darimu."
Seng Bu menatap wajah gadis itu. Semenjak pertama kali berjumpa, ia telah terpesona. Dia bukanlah seorang pria yang mudah terpikat kecantikan wanita. Akan tetapi, belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis muda seperti Kim Giok. Gadis ini manis sekali dan terutama yang membuat dia terpesona adalah sepasang matanya. Mata itu demikian indahnya.
Selain ini, ilmu silat gadis itu pun cukup tinggi, dan sikapnya demikian pendiam dan gagah. Semua ini ditambah lagi kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri pendekar dari Lembah Naga Siluman! Kiranya sukar dicari keduanya gadis seperti ini.
Selama ini Seng Bu sibuk menggembleng diri dengan ilmu yang ditemukannya di dalam sumur maut, maka dia pun tidak sempat memikirkan hal lain. Apa lagi, dia memang bukan tergolong pemuda yang suka bergaul dengan gadis-gadis cantik. Dan baru sekarang dia merasa kagum dan tertarik kepada seorang gadis.
"Nona Cu, aku tidak menyembunyikan sesuatu darimu. Kalau ada hal yang membuat engkau merasa penasaran, tanyakanlah dan aku akan menjawab sejujurnya."
Kim Giok juga menatap tajam sehingga dua pasang mata mereka bertaut, seperti saling menyelidik, hingga kemudian Kim Giok berkata, "Pangcu, bukan aku sebagai tamu ingin mencampuri urusan tuan rumah. Akan tetapi, aku suka menjadi tamu di Thian-li-pang karena aku merasa yakin bahwa perkumpulanmu ini adalah perkumpulan orang-orang gagah yang merupakan pejuang-pejuang sejati, yang selalu menentang kejahatan dan berpihak kepada kebenaran, seperti yang pernah kudengar dibicarakan orang di dunia kang-ouw. Aku percaya itu, apa lagi setelah aku mengenalmu. Akan tetapi apa yang kulihat hari ini membuat aku merasa penasaran bukan main. Aku melihat para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai menjadi tamu Thian-li-pang! Bagaimana ini? Aku sudah mendengar bahwa kedua perkumpulan itu merupakan perkumpulan jahat yang banyak ditentang oleh para pendekar!"
Seng Bu tersenyum, dengan berani menentang pandang mata gadis itu tanpa merasa canggung. "Ahh, kiranya itu yang membuatmu penasaran, Nona. Hal ini membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, Nona. Akan tetapi, apakah Nona tertarik oleh urusan perjuangan? Lika-liku perjuangan amat rumit, Nona. Dipandang sepintas lalu dari segi kependekaranmu, memang rasanya janggal jika melihat kami juga berhubungan dengan orang-orang dari golongan yang ditentang oleh para pendekar. Tapi, dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan golongan terpaksa harus dikesampingkan. Yang paling penting adalah urusan perjuangan, urusan usaha untuk membebaskan bangsa dan negara dari cengkeraman penjajah Mancu."
"Maksudmu bagaimana, Pangcu?"
"Tentu engkau telah mengetahui, hampir satu setengah abad negara kita dijajah bangsa Mancu, dan selama satu setengah abad itu semua usaha perjuangan rakyat untuk merebut kembali tanah air selalu gagal. Mengapa begitu? Karena tidak ada persatuan di antara para kelompok yang berjuang! Bahkan banyak kelompok perjuangan yang saling gempur sendiri, bersaing dan memperebutkan kebenaran demi kepentingan pribadi atau golongan. Itulah penyebab utama dari kegagalan perjuangan selama ini, dan kami dari Thian-li-pang melihat kekeliruan itu, maka kini kami berusaha untuk mengubahnya.”
"Caranya?"
"Mempersatukan semua golongan, tanpa membedakan mana golongan putih mana pula golongan hitam, mana golongan pendekar atau mana yang dinamakan kaum sesat. Pendeknya, siapa saja, dari golongan mana pun, apa pun pekerjaannya, bagaimana bentuk sepak terjangnya, asalkan dia itu menentang pemerintah penjajah Mancu, dia adalah sekutu kita! Dengan cara ini, maka di seluruh negeri akan terdapat persatuan yang kokoh dan kalau sudah tercapai persatuan itu, maka menggulingkan pemerintah penjajah bukan merupakan masalah yang sukar lagi."
"Jadi pendirian itukah yang membuat Pangcu tidak memandang bulu dalam memilih sahabat, dan suka menerima Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai sebagai sahabat pula?"
"Benar, Nona. Kalau misalnya Thian-li-pang, Pek-lian-kauw, bersama Pat-kwa-pai, yang ketiganya merupakan perkumpulan para pejuang, bisa bersatu padu dan bersama-sama menentang penjajah, bukankah itu akan jauh lebih kuat dari pada kalau kami berjuang sendiri-sendiri secara terpisah? Apa lagi kalau seluruh kekuatan yang ada, baik dari golongan hitam mau pun putih, dapat bersatu padu!"
"Kebenaran pendapat itu tidak dapat disangkal, Pangcu. Akan tetapi kita kaum pendekar bagaimana mungkin bekerja sama dengan kaum sesat? Justru tugas utama kita adalah untuk menentang segala perbuatan jahat dari kaum sesat, serta membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat tetapi jahat!”
Ketua yang masih muda itu tersenyum ramah. Dia bicara penuh semangat, akan tetapi tidak terbawa perasaan, masih tetap tenang dan tersenyum sehingga membuat gadis itu pun tidak terbawa dan terseret dalam perbantahan yang memperebutkan kebenaran masing-masing.
"Sudah kukatakan tadi bahwa dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan kepentingan golongan harus disingkirkan lebih dahulu. Tanpa sikap seperti itu, bagaimana mungkin muncul persatuan, dan tanpa persatuan bagaimana mungkin ada kekuatan? Buktinya, semua usaha perjuangan yang lalu selama ini, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam, gagal semua. Karena terpecah-pecah! Kalau kita menuruti kepentingan pribadi dan golongan, misalnya kalau kita tidak mau bersatu dengan golongan sesat dan memusuhi mereka, maka kita akan terpecah belah dan akibatnya akan melemahkan diri sendiri. Dengan demikian, yang untung adalah pemerintah penjajah! Sudah mengertikah engkau, Nona?"
Cu Kim Giok bukan seorang gadis yang bodoh. Dia termenung dan menelan ucapan ketua itu dalam hatinya, dan mulailah ia mengerti akan apa yang dimaksudkan Seng Bu.
"Aku mengerti, Pangcu. Akan tetapi karena sejak kecil orang tuaku menanamkan jiwa kependekaran di dalam hatiku, rasanya sangat berat bagiku menerima kenyataan dari kebenaran pendapatmu tadi. Kalau kita para pendekar tidak menentang golongan sesat, bukankah kehidupan rakyat akan menjadi semakin parah dan sengsara, tertindas oleh kejahatan tanpa ada yang membela dan melindungi?"
"Tentu saja kita tidak hanya berdiam diri saja kalau terjadi kejahatan di depan mata kita, Nona. Kita wajib melindungi orang yang menjadi korban kejahatan. Akan tetapi, urusan itu bukan merupakan urusan yang diutamakan kepentingannya, lebih penting urusan perjuangan sehingga kalau pun kita menentang kejahatan, harus dicegah agar jangan sampai menimbulkan keretakan persatuan antara golongan. Ketahuilah, Nona, bahwa peristiwa kejahatan hanyalah merupakan akibat dari tidak sehatnya pemerintah. Seperti sebuah penyakit, kejahatan, ketidak amanan, ketidak makmuran, bahkan kesengsaraan rakyat hanya merupakan bintik-bintik kecil akibat penyakit itu. Bla kita memberantas dan mengobati bintik-bintiknya saja tak akan banyak manfaatnya karena bintik-bintik itu akan timbul lagi setelah diobati sebab penyakit itu masih ada. Kita harus lebih mementingkan pengobatan penyakitnya, sumber penyakit itu sendiri. Dalam hal ini, sumber penyakitnya terletak pada pemerintahan. Bangsa dan tanah air kita dicengkeram penjajah Mancu, tentu saja pemerintahnya tidak sehat dan memeras rakyat jelata. Kalau penjajahan itu dapat kita bongkar dan kita ganti dengan pemerintah bangsa sendiri, maka penyakit itu sembuh pada sumbernya dan tidak akan timbul bintik-bintik berbahaya. Segala bentuk kejahatan akan dapat kita tumpas. Penindasan yang dilakukan para penjahat itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan penindasan dan penghisapan yang dilakukan penjajah terhadap kita."
Kim Giok tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia kagum sekali dan sekarang ia dapat mengerti sepenuhnya. "Sekarang aku mengerti, Pangcu, dan aku tidak penasaran lagi melihat Thian-li-pang bersahabat dengan golongan sesat, jika maksudnya hanya untuk mempersatukan tenaga melawan penjajah."
Sejak percakapan itu, Kim Giok semakin kagum dan tartarik kepada ketua Thian-li-pang itu, dan sebaliknya Seng Bu juga telah jatuh hati kepada puteri Lembah Naga Siluman. Ketika Seng Bu minta agar gadis itu tinggal di Thian-li-pang sebagai tamu kehormatan selama beberapa hari, Kim Giok tidak menolak.
Demikianlah, ketika pada pagi hari itu Yo Han mendaki Bukit Naga, Cu Kim Giok telah tinggal selama lima hari di perkampungan Thian-li-pang. Hubungannya dengan Seng Bu semakin akrab namun ketua itu masih tetap bersikap sopan dan tak pernah menyatakan perasaan hatinya.
Kim Giok sudah mendengar banyak dari Seng Bu tentang Thian-li-pang. Dan ia sudah mendengar pula kisah yang aneh, peristiwa mengerikan yang terjadi beberapa bulan yang lalu, yaitu tentang pembunuhan terhadap ketua Thian-li-pang yang dilakukan oleh seorang yang tadinya dianggap sebagai pemimpin Thian-li-pang, yaitu Sin-ciang Taihiap Yo Han.
Ia sudah pernah mendengar nama itu, maka menyatakan keheranannya kepada Seng Bu mengapa Yo Han yang dianggap sebagai pemimpin besar malah membunuh ketua Thian-li-pang. Dengan cerdik Seng Bu menceritakan bahwa pembunuhan itu dilakukan Yo Han untuk membalas dendam atas kematian gurunya yang bernama Ciu Lam Hok. Demikian pandainya Seng Bu bercerita sehingga Kim Giok percaya dan gadis ini pun merasa tidak senang kepada pendekar yang di juluki Si Tangan Sakti itu…..
********************
Kita kembali kepada Yo Han yang sedang mendaki Bukit Naga dengan santai. Kembali ke tempat ini, di mana selama bertahun-tahun dia hidup dalam sumur maut bersama gurunya, mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya, mendatangkan segala macam kenangan lama padanya. Bahkan kenangan itu berkembang sampai akhirnya dia terkenang kepada Tan Sian Li, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya sejak dia masih seorang pemuda remaja.
Akan tetapi, percakapannya dengan Cia Sun, setidaknya kembali menimbulkan harapan baru dalam hatinya. Ketika dia meninggalkan Sian Li, di rumah orang tua gadis itu yang dulu pernah menjadi suhu dan subo-nya pertama kali, harapannya sudah hancur luluh. Ia mendengar betapa suhu dan subo-nya hendak menjodohkan Sian Li dengan seorang pangeran di kota raja!
Tentu saja seorang pangeran jauh lebih pantas menjadi suami seorang gadis seperti Si Bangau Merah itu dari pada dia! Dia yatim piatu miskin dan papa, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap!
Akan tetapi, kebetulan dia bertemu dengan Pangeran Cia Sun, lalu bersahabat, bahkan pernah senasib sependeritaan yang mendorong mereka mengangkat saudara. Dan dari adik angkatnya yang pangeran ini dia mendengar bahwa ternyata adik angkatnya itulah pangeran yang hendak dijodohkan dengan Sian Li!
Akan tetapi, di samping berita mengejutkan itu, terdapat kenyataan yang membuat dia tumbuh lagi semangatnya, timbul pula harapannya, yaitu bahwa Pangeran Cia Sun dan Tan Sian Li tidak saling mencinta. Pangeran itu bahkan mencinta gadis lain, yaitu puteri ketua Pao-beng-pai!
Dalam perjalanannya menuju ke Thian-li-pang, dia pun sudah mendengar mengenai pembasmian Pao-beng-pai yang dilakukan oleh pasukan pemerintah. Ia mengira bahwa tentu adik angkatnya, Pangeran Cia Sun, yang melakukan penyerbuan itu, walau pun ada kesangsian di hatinya apakah sang pangeran mau melakukan hal itu mengingat akan cintanya terhadap Siangkoan Eng.
Tiba-tiba Yo Han menghentikan langkahnya dan mengerutkan alisnya. Dia mendengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan suara itu makin mendekat, tanda bahwa mereka yang bercakap-cakap itu sedang berjalan menuruni lereng. Yo Han menyelinap ke balik pohon besar.
Sudah lama dia meninggalkan Thian-li-pang dan dia tidak tahu bagaimana keadaannya. Walau pun dia percaya sepenuhnya kepada Lauw Kang Hui yang diserahi pimpinan perkumpulan itu, akan tetapi sebaiknya kalau dia menyelidiki keadaannya karena bagai mana pun juga, kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak benar di Thian-li-pang, dialah yang bertanggung jawab. Gurunya berpesan agar dia menyelamatkan Thian-li-pang dari penyelewengan, maka biar pun tidak memimpin langsung, dia harus selalu mengawasi.
Mereka yang tertawa-tawa tadi sekarang telah datang mendekat dan dari balik batang pohon, Yo Han mengintai. Alisnya terangkat dan kemudian berkerut tidak senang ketika ia melihat dua orang anggota Thian-li-pang sedang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan dua orang pendeta muda yang dari tanda gambar di dadanya bisa diketahuinya sebagai dua orang anggota Pat-kwa-pai!
Ia merasa heran bukan main. Bagaimana mungkin anggota Thian-li-pang bergaul begitu demikian akrabnya dengan anggota Pat-kwa-pai yang terkenal sebagai golongan sesat yang menggunakan kedok perjuangan, atau bisa juga dikatakan sebagai pemberontak-pemberontak yang tidak segan-segan menggunakan kejahatan serta kekejaman dalam pemberontakan mereka?
Yo Han menahan diri, ingin tahu lebih banyak, maka dari jauh dia membayangi empat orang itu. Dia tidak mengenal para anggota Thian-li-pang. Yang dikenalnya hanyalah Lauw Kang Hui dan pimpinannya, bahkan dia tidak tahu nama para pimpinan mudanya satu demi satu. Akan tetapi, melihat sikap mereka, siapa lagi mereka itu kalau bukan anggota Thian-li-pang?
Dan mereka telah berada di wilayah Thian-li-pang, maka kehadiran dua orang anggota Pat-kwa-pai itu sungguh mencurigakan sekali. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Yo Han untuk membayangi mereka, kadang malah demikian dekatnya sehingga dia dapat mendengarkan sebagian percakapan mereka. Setelah mendengar percakapan itu dia pun yakin bahwa dua orang itu adalah anggota Thian-li-pang.
"Kenapa kalian khawatir?" terdengar seorang di antara dua anggota Thian-li-pang itu berkata kepada dua orang tosu itu. "Kalau hanya kami berdua yang menghilang dari tempat penjagaan, tidak akan kentara. Pula siapa sih yang akan berani mendaki Bukit Naga dan mengganggu wilayah Thian-li-pang? Baru mendengar nama Thian-li-pang saja, nyali mereka sudah terbang melayang!" Mereka tertawa-tawa.
"Pula, berapa lamanya untuk sekedar bersenang-senang dengan kalian di dusun bawah sana? Andai kata para pimpinan mengetahui kalau kami pergi bersama kalian, tentu kita tidak akan dimarahi. Bukankah Thian-li-pang kini bersahabat baik dengan Pat-kwa-pai?"
Kembali mereka tertawa-tawa. Mereka tidak tahu betapa Yo Han mengepal tinju ketika mendengarkan percakapan itu.
Akhirnya empat orang itu tiba di dusun yang berada di kaki Bukit Naga. Di dusun itu terdapat sebuah kedai arak dan ke sanalah mereka masuk. Yo Han yang memakai caping lebar, duduk pula dengan memilih tempat jauh di sudut dan capingnya tidak dilepas sehingga mukanya tertutup. Ketika pelayan datang menghampiri, dia memesan arak dan semangkuk bubur.
Terdengar ribut-ribut di meja empat orang itu. Agaknya pemilik kedai arak menghampiri mereka dan menuntut supaya mereka lebih dahulu mengeluarkan uang untuk membeli makanan dan minuman yang mereka pesan.
"Sudah terlalu sering teman-teman kalian makan minum di sini tanpa membayar! Aku tidak mau dirugikan lagi, harap kalian suka membayar lebih dulu," kata pemilik kedai itu, seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang kurus agak bongkok.
Seorang anggota Thian-li-pang yang tinggi bermuka kuning bangkit, kemudian bertolak pinggang. "Apa katamu tadi? Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Kami berdua adalah anggota Thian-ii-pang dan kedua orang sahabat kami ini adalah anggota Pat-kwa-pai. Kami adalah pejuang! Kami adalah pahlawan bangsa, pembela rakyat dan tanah air! Masa hanya mengeluarkan sedikit makanan dan minuman saja bagi kami engkau tidak rela? Kami berjuang dengan taruhan nyawa dan engkau tidak mau menjamu makan minum kepada kami?"
Seorang di antara dua orang tosu Pat-kwa-pai itu menggebrak meja dan dengan sikap bengis berkata, "Hayo cepat keluarkan hidangan untuk kami atau engkau ingin kedaimu ini kami hancurkan?!"
"Kalian sungguh kejam!" Pemilik kedai itu membantah dan mempertahankan miliknya. "Jika hanya dua tiga orang saja yang datang minta makan minum, kami pasti rela, akan tetapi kalau setiap hari datang dan jumlah kalian sampai puluhan orang selalu minta makan dan minum dengan gratis, kami bisa bangkrut! Kami pun mempunyai keluarga yang harus hidup dari hasil usaha kami yang kecil ini."
"Jahanam, masih banyak cakap? Engkau memang perlu dihajar!" bentak salah seorang anggota Thian-li-pang bermuka kuning tadi. Sekali kaki kanannya terayun menendang, pemilik kedai itu terpelanting keras.
"Penuhi permintaan kami tanpa banyak cakap lagi atau engkau akan kuhajar sampai mampus!" bentaknya.
"Ayah...!" Dari dalam berlari keluar seorang gadis berusia tujuh belas tahun. Dia segera menubruk ayahnya yang sudah bangkit duduk sambil menyeringai kesakitan.
Melihat gadis itu, yang cukup manis, seorang di antara dua orang anggota Pat-kwa-pai tersenyum menyeringai dan segera menangkap lengan gadis itu dan menariknya lalu memaksanya duduk di sebuah bangku dekat meja mereka.
"Ha-ha-ha, tukang warung! Lekas keluarkan hidangan itu atau kami akan membawa pergi gadismu. Nona, kau temani kami makan minum di sini dan cepat suruh pelayan mengeluarkan hidangan dan arak terbaik," katanya.
Gadis itu tidak berani meronta, bahkan membujuk ayahnya yang sudah bangkit berdiri. "Ayah, turuti saja permintaan mereka."
Keempat orang itu tertawa bergelak melihat pemilik kedai dengan terhuyung memasuki dapur untuk menyediakan hidangan bagi empat orang itu.
"Manis, engkau lebih bijaksana dari pada ayahmu. Untung engkau muncul, kalau tidak tentu ayahmu telah menjadi mayat," kata si muka kuning sambil mencolek dagu gadis itu.
Gadis itu membuang muka dan berkata, "Kami sudah memenuhi permintaan kalian, menyuguhkan hidangan, harap jangan ganggu aku lagi." Gadis itu bangkit berdiri.
"Duduk saja, engkau tidak boleh pergi," kata seorang tosu Pat-kwa-pai.
"Aku akan membantu ayah mempersiapkan hidangan untuk kalian," bantah gadis itu.
"Dan menaruh racun dalam hidangannya, ya? Ha-ha-ha, kami tidak sebodoh itu, Manis. Kami berempat makan minum dan engkau harus menemani kami, ikut pula makan minum sehingga kalau hidangan itu beracun, engkau yang akan lebih dulu keracunan!" Si muka kuning menekan pundak gadis itu sehingga ia terduduk kembali.
Tiba-tiba terdengar suara lembut namun nadanya mengejek. "Ini rumah makan macam apa, membiarkan empat ekor buaya darat mengotorinya! Sungguh mendatangkan bau yang busuk sekali, empat orang maling kecil mengaku pejuang seperti empat ekor tikus mengaku harimau!"
Jelas sekali makna ucapan itu. Empat orang tadi tentu saja mengerti bahwa merekalah yang dimaki tikus dan maling! Hampir mereka tidak percaya ada orang berani memaki mereka seperti itu. Mengatakan mereka maling kecil dan tikus.
Tentu saja mereka terbelalak dan muka mereka berubah kemerahan pada saat mereka menoleh dan memandang ke arah meja di sudut kanan, di mana duduk seorang laki-laki yang mengenakan sebuah caping lebar sehingga muka dan kepala orang itu tertutup sama sekali.....
Komentar
Posting Komentar