SI TANGAN SAKTI : JILID-19


Sebetulnya, tanpa tambang sekali pun Yo Han akan mampu menuruni sumur itu dengan merayap, akan tetapi lebih mudah menggunakan tali. Juga untuk naik kembali, akan jauh lebih mudah kalau ada talinya.

Hampir seratus orang anggota Thian-li-pang sudah berkumpul di tempat itu, mengelilingi sumur tua, wajah mereka tegang. Seorang di antara mereka menyerahkan segulungan tali yang kuat dan panjang kepada Ouw Seng Bu.

"Taihiap, apakah tali ini memenuhi syarat?" tanya Seng Bu sambil memperlihatkan tali itu kepada Yo Han.

Yo Han menerima gulungan tali, kemudian melepas ujungnya ke dalam sumur setelah ujung itu diikatkan kepada sebongkah batu. Ternyata sumur itu dalam sekali dan sampai lama barulah batu di ujung tali tiba pada dasar sumur.

Tali itu memang cukup panjang dan kuat. Setelah batu tiba pada dasar sumur dan tali mengendur, masih ada sisa tiga empat meter. Yo Han lalu melibatkan sisa tali itu pada sebatang pohon dekat sumur, lalu menyerahkan ujungnya kepada Seng Bu.

"Jaga dan pegangi ujung tali ini, aku akan segera turun ke bawah. Kalau aku sudah memberi tanda tarikan tiga kali pada tali, maka kau boleh tarik aku keluar."

"Baik, Yo Taihiap. Harap Taihiap berhati-hati, siapa tahu di bawah sana ada bahaya mengintai," kata Seng Bu.

"Jangan khawatir, aku sudah siap menghadapi apa saja," kata Yo Han.

Setelah berkata demikian, Yo Han menuruni sumur melalui tali yang ujungnya dipegang oleh Seng Bu. Bagaikan seekor monyet saja, dengan cekatan dia menuruni tali itu, waspada memperhatikan ke bawah karena dia maklum bahwa seperti yang dikatakan Ouw Seng Bu tadi, mungkin di bawah sana mengintai bahaya yang bisa mengancam keselamatannya. Sama sekali Yo Han tidak pernah mengira bahwa bahaya mengintai dari atas, bukan dari bawah!

Tadi dia telah menduga bahwa sumur itu menyerong, yaitu ketika dia mengulur tali yang ujungnya digantungi batu. Batu itu tadi menyentuh dinding sumur dan menggelinding ke bawah, tidak lagi tergantung bebas. Itu berarti bahwa sumur itu menyerong, tidak lurus ke bawah. Kini ternyata memang benar.

Tubuhnya menyentuh dinding sumur yang kasar dan dia merayap terus. Dan nampaklah sinar dari samping, yang tidak nampak dari atas karena letaknya yang menyerong itu. Begitu kakinya menyentuh lantai batu, dia pun melihat lima sosok mayat yang sudah tinggal tulang dibungkus pakaian yang robek-robek. Lima orang!

Dia teringat akan keterangan Ouw Seng Bu yang menceritakan bahwa yang dibawa masuk ke dalam sumur oleh bayangan hitam adalah Lauw Kang Hui, Su Kian, Thio Cu, Lauw Kin dan Lu Sek. Lima orang tokoh Thian-li-pang itu benar-benar sudah tewas di dasar sumur! Akan tetapi Yo Han melihat satu keanehan. Kedudukan lima sosok mayat itu bertumpuk, nampaknya seperti dilemparkan dari atas!

Dia menghampiri mayat-mayat itu. Sudah tak dapat dikenal lagi, apa lagi diselidiki sebab kematian mereka. Juga tempat itu hanya remang-remang saja, terlalu gelap untuk dapat memeriksa dengan teliti. Dia harus memeriksa ke dalam sana. Mungkin si pembunuh itu masih berada di dasar sumur yang ternyata dasarnya merupakan terowongan berbatu-batu.

Dia pun melepaskan tali yang tadi masih dipegangnya, lalu berindap-indap memasuki lorong penuh batu-batu besar itu. Kalau benar ada orangnya, mungkin bersembunyi di balik batu besar. Dia sudah siap kalau-kalau ada serangan gelap dari dalam.

Tidak ada penyerangan, tidak ada gerakan apa pun dari dalam. Akan tetapi mendadak terdengar suara bersiutan dari atas. Yo Han terkejut melihat tali yang dipakai turun tadi kini menyambar turun seperti seekor ular yang panjang sekali! Tali itu dilepas dari atas!

Sejenak dia tertegun karena heran dan kaget, akan tetapi cepat dia menarik tali itu karena dalam sekejap mata dia yakin bahwa tali itu akan ada gunanya baginya. Dia masih belum dapat menduga mengapa Ouw Seng Bu melepaskan tali itu.

Tiba-tiba terdengar suara tawa dari atas yang bergema ke bawah dan dia terkejut. Itulah suara Ouw Seng Bu. Dia tahu bahwa orang yang bisa melepas suara tawa mengandung khikang amat kuat seperti itu tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Suara tawa itu disusul sorak-sorai dan tiba-tiba saja terjadi hujan batu dari atas sumur!

Yo Han melompat lebih dalam lagi dan cepat dia mendorong sebuah batu besar sekali ke depan terowongan sehingga hujan batu itu tidak sampai menggelundung ke dalam terowongan, melainkan tertahan oleh batu besar dan terus bertumpuk menutupi lubang sumur!

Kini mengertilah dia. Ouw Seng Bu dan para anggota Thian-li-pang telah berkhianat dan dia telah tertipu. Ouw Seng Bu berhasil memancingnya memasuki sumur dan sumur itu lalu ditimbuni batu.

Yo Han pada dasarnya adalah seorang yang mempunyai iman yang kokoh kuat kepada Tuhan, karena itu dia tidak menjadi gugup. Mati hidupnya sudah dia serahkan kepada kekuasaan Tuhan. Ia akan berusaha sekuatnya mempertahankan hidupnya, akan tetapi berhasil atau gagalnya dia serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dia tahu bahwa tidak mungkin dapat keluar melalui sumur yang sudah tertutup banyak batu itu. Dia tidak mati tertimpa batu karena batu besar tadi merupakan pengganjal dan penghalang batu-batu kecil memasuki terowongan.

Dia tidak akan mati tertimbun batu. Juga agaknya dia tidak akan mati kehabisan napas karena masih ada saluran udara segar di situ, mungkin masuk melalui celah-celah batu, seperti juga sinar matahari yang dapat masuk ke situ. Dia tidak akan mati kehausan, karena dinding itu basah dan tidak sukar menampung air dengan membuat lekukan pada dinding basah untuk menampung air. Dia akan mati kelaparan? Mungkin, kalau dia tidak dapat keluar dan kalau di tempat itu tidak terdapat benda yang bisa dimakan.

Yo Han menggulung tali dan duduk di atas gulungan tali supaya tidak basah. Dia duduk bersila dan membiarkan hati serta pikirannya tenang. Dia membutuhkan ketenangan. Dalam menghadapi bahaya, ia harus dapat tenang agar akal pikirannya bisa digunakan sebaik-baiknya, dan di dalam ketenangan itu kepasrahannya kepada kekuasaan Tuhan dapat lebih mendalam.

Sementara itu, di atas sumur, Ouw Seng Bu tertawa gembira ketika bersama para anak buah yang sudah dipersiapkan sebelumnya, menimbun sumur tua itu dengan batu.

"Ha-ha-ha, Yo Han. Rasakan sekarang engkau, mampus di dalam sumur tua, menjadi setan penasaran! Sin-ciang Taihiap, engkau tidak lagi menjadi penghalang bagiku."

Akan tetapi Ouw Beng Bu segera menghentikan tawanya pada saat dia melihat Cu Kim Giok datang berlari-larian. Gadis itu mendengar sorak-sorai anak buah Thian-li-pang, merasa tertarik dan segera datang ke tempat itu. Ia masih sempat melihat anak buah Thian-li-pang melempar-lemparkan batu ke dalam sebuah sumur tua. Hal itu membuat ia merasa heran sekali.

"Ouw-pangcu, apakah yang telah terjadi?" tanya gadis itu heran sambil mendekati Seng Bu.

Seng Bu segera memasang wajah yang serius. "Aihhh, hampir saja aku pun celaka menjadi korban kelihaian Yo Han, Nona. Mari kita bicara di dalam dan akan kuceritakan semua."

Kepada anak buahnya dia memesan agar sumur itu ditutup sampai tidak nampak lagi lubangnya. Kemudian dia mengajak Kim Giok kembali ke bangunan induk yang menjadi pusat perkampungan Thian-li-pang.

Setelah mereka duduk berdua di dalam kamar belakang, Kim Giok dengan hati tegang bertanya, "Ceritakan, Pangcu. Apakah yang telah terjadi dan di mana adanya Sin-ciang Taihiap Yo Han?"

Seng Bu menghela napas dan tiba-tiba dia mengeluh. Wajahnya berubah pusat dan napasnya terengah.

"Aduhhh..." Seng Bu memejamkan matanya dan tangan kirinya menekan ke arah dada kanannya.

Tentu saja Kim Giok terkejut bukan main, cepat bangkit dan menghampiri pemuda itu. "Ouw-pangcu, ada apakah? Engkau... terluka...?"

Sambil menekan dada kanan dengan telapak tangannya, wajah Seng Bu menyeringai kesakitan, napasnya sesak, lalu dia menjawab terengah-engah, "Dia memang... lihai... sekali, dan... jahat kejam. Dia... dia tadi tiba-tiba memukulku, di dekat sumur... dan aku nyaris terjungkal, akan tetapi... aku mampu bertahan, aku terus melawan... dibantu oleh saudara-saudaraku... akhirnya kami berhasil... dia terjatuh ke dalam sumur, akan tetapi aku... aku terkena pukulannya..."

"Ahhh!" Kim Giok terbelalak. "Dan kalian... tadi menimbun sumur itu dengan batu? Dia terkubur hidup-hidup... ?" Gadis itu memandang ngeri.

"Aihh, Nona, engkau tidak tahu... dia amat kejam dan lihai... kalau berhasil lolos...kami semua tentu akan dibunuhnya. Lihat, lihatlah bekas tangannya ini..." Seng Bu merobek baju di dadanya.

Mata yang indah itu semakin terbelalak kaget. Dada Seng Bu, di bagian kanan, terdapat bekas telapak tangan dengan lima jarinya, menghitam!

"Ohhhhh...!" Kim Giok menahan teriakannya.

"Ini... pukulan... mautnya... untung aku sudah berjaga diri..., tapi nyeri bukan main... auhhh...!"

Seng Bu terkulai dan dia tentu akan terjatuh dari kursinya kalau saja Kim Giok tidak cepat-cepat merangkulnya. Melihat Seng Bu pingsan, Kim Giok memondongnya dan merebahkannya di atas lantai. Ia mengurut kedua pundak dan tengkuk pemuda itu, dan tidak beberapa lama kemudian Seng Bu membuka mata kembali.

"Aduhhh...!"

"Bagai mana rasanya, Pangcu?"

"Nona, pukulan itu amat beracun, dan hawa beracun itu harus cepat dibersihkan dengan pengerahan sinkang. Maukah... maukah engkau membantuku, Nona? Aku… aku lemah sekali...!"

"Tentu saja, Pangcu. Bagaimana aku dapat membantumu?"

"Tempelkan kedua telapak tanganmu di punggungku, kemudian kerahkan sinkang agar kekuatan kita dapat bersatu mendorong keluar hawa beracun itu."

"Baik, Pangcu."

Melihat Seng Bu berusaha bangkit duduk dengan susah payah, tanpa ragu Kim Giok membantunya duduk bersila. Ia membantu pula Seng Bu membuka bajunya sehingga punggungnya nampak. Ia pun lalu bersila di belakang pemuda itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung itu dan memejamkan mata, mengerahkan sinkang untuk membantu pemuda itu ‘mengusir’ hawa beracun.

Diam-diam Seng Bu menggunakan tangan kiri mengusap dan menekan dada yang ada tanda telapak tangan menghitam. Perlahan-lahan, tanda menghitam itu pun lenyap. Kim Giok yang kurang pengalaman sama sekali tak menyangka bahwa noda hitam itu dibuat oleh Seng Bu sendiri ketika dia menekan dada kanannya tadi. Dengan kepandaiannya yang aneh, pemuda itu dapat membuat kulit dadanya kehitaman seperti terkena pukulan beracun.

Perlahan-lahan pernapasan Seng Bu menjadi normal kembali dan dia pun memutar tubuhnya, memegang kedua tangan gadis itu dan menatapnya dengan pandang mata penuh kasih sayang. Kim Giok juga menatapnya dan gadis itu menunduk malu.

"Giok-moi (adik Giok), terima kasih... engkau telah menyelamatkan nyawaku..."

Dengan tersipu Kim Giok menarik kedua tangannya, lalu bangkit berdiri dan memutar tubuh membelakangi pemuda itu agar tidak kelihatan bahwa ia merasa malu sekali.

"Ihhhhh, Pangcu..."

"Kim Giok, setelah apa yang engkau lakukan kepadaku tadi, apakah kita masih harus bersungkan-sungkan? Jangan menyebut pangcu kepadaku, sebutan itu terlampau kaku. Giok-moi, aku merasa engkau bukan seperti seorang sahabat baru, melainkan seperti sudah bertahun-tahun kukenal. Jangan menyebutku pangcu, aku akan merasa bahagia kalau engkau menyebut aku koko (kanda)."

"Bu-koko, engkau terlalu berlebihan. Apa yang kulakukan tadi hanya sekedar membantu engkau mengusir hawa beracun. Apakah sekarang engkau sudah sembuh, sudah sehat kembali?"

"Lihatlah, Giok-moi. Tidak ada bekasnya lagi. Lihatlah!"

Kim Giok membalikkan tubuhnya dan sekilas memandang ke arah dada yang telanjang itu. Dada yang bersih kulitnya, tak lagi nampak tanda telapak tangan menghitam seperti tadi. Dia merasa lega dan girang, akan tetapi juga malu dan dia tersipu, menundukkan muka tidak mau memandang lagi.

"Bu-ko, pakailah pakaianmu. Engkau membuat aku merasa malu."

Seng Bu tertawa. "Ha-ha-ha, setelah kita menjadi sahabat baik seperti ini, perlukah kita merasa sungkan dan malu, Moi-moi? Entah mengapa, aku sudah tidak merasa malu sama sekali terhadap dirimu, seolah-olah kita telah akrab selama bertahun-tahun." Seng Bu membetulkan bajunya yang robek di bagian dada dan dia nampak senang sekali.

Memang hatinya amat gembira. Yo Han, orang yang paling ditakutinya, telah tiada. Dan sekarang dia bisa melihat tanda-tanda bahwa Cu Kim Giok, gadis yang dicintanya, jelas memperlihatkan tanda-tanda suka kepadanya. Setidaknya, gadis ini tadi sudah sangat mengkhawatirkan keadaannya dan tanpa malu-malu suka membantu mengobati dirinya.

Sekarang mereka duduk berhadapan, hanya terhalang oleh meja kecil. Beberapa kali pandang mata mereka bertemu dan dalam pandangan mata itu saja sudah terpancar perasaan hati masing-masing, meski pun terkandang Kim Giok menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.

"Giok-moi, kenapa engkau menunduk dan kelihatan malu-malu?"

"Habis, engkau memandangku seperti itu!"

"Seperti apa?" Seng Bu menggoda.

"Pandang matamu membuat aku merasa canggung dan malu, Bu-ko."

Mendadak Seng Bu memegang kedua tangan gadis itu yang berada di atas meja dan menggenggam tangan itu!

"Giok-moi, apakah aku masih perlu menjelaskan lagi apa artinya pandang mataku itu? Aku memandangmu penuh kasih sayang. Aku cinta padamu, Giok-moi."

Kim Giok menundukkan mukanya yang sekarang menjadi merah sekali. "Bagaimana, Giok-moi? Marahkah engkau akan kelancanganku ini?"

Kim Giok menggelengkan kepala, masih tetap menunduk.

"Lalu, kenapa engkau hanya diam saja? Apakah engkau tidak sudi menerima perasaan cintaku?"

Kini gadis itu mengangkat mukanya yang kemerahan. "Bu-ko, aku pun kagum dan suka padamu. Akan tetapi, kita tidak perlu tergesa-gesa membicarakan perasaan kita itu. Kita baru saja berkenalan dan jika kita telah menjadi sahabat baik, itu sudah menyenangkan sekali, bukan?"

Seng Bu seorang yang cerdik. Ia memang benar-benar mencinta Kim Giok sepenuh hatinya. Dia tidak ingin membuat gadis itu tidak senang atau menjadi rikuh. Dia bahkan rela melakukan apa saja untuk gadis yang dicintanya itu.

"Baiklah, Giok-moi. Maafkan aku. Kita memang telah menjadi sahabat baik, dan biarlah urusan antara kita itu kita bicarakan kelak seperti yang kau kehendaki. Aku hanya ingin agar engkau tahu betul bahwa engkaulah satu-satunya wanita yang tinggal di dalam hatiku."

Lega rasa hati Kim Giok dan dia menjadi semakin suka kepada pemuda yang penuh pengertian itu.

"Terima kasih atas pengertianmu, Bu-ko. Sekarang mari kita bicara mengenai apa yang terjadi tadi. Aku masih merasa amat heran kenapa Sin-ciang Taihiap hendak membunuh dirimu setelah dia juga membunuhi banyak tokoh Thian-li-pang. Aku pernah mendengar namanya yang dipuji-puji oleh para pendekar dari dua keluarga besar pendekar Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir. Mereka menyatakan bahwa Sin-ciang Taihiap adalah seorang pendekar yang budiman dan bijaksana. Akan tetapi kenapa di sini dia menjadi begitu kejam dan jahat?"

Ouw Seng Bu menghela napas panjang. "Aku tidak heran dan sebaiknya engkau juga tidak perlu mengherankan hal itu, Giok-moi. Kedudukan dan kekuasaan sering membuat orang lupa diri! Dia hendak menguasai Thian-li-pang, hendak menonjolkan diri sendiri dan menguasai dunia lewat Thian-li-pang."

"Akan tetapi, aku mendengar bahwa dia telah diangkat menjadi pemimpin Thian-li-pang, hanya kedudukan ketua lalu dia serahkan kepada mendiang Lauw Pangcu. Kenapa dia malah membunuh Lauw Pangcu dan beberapa orang tokoh Thian-li-pang, dan sekarang hendak membunuhmu pula? Sungguh aku tidak mengerti."

"Giok-moi, agaknya engkau hanya mengerti ekornya tidak mengerti kepalanya. Memang benar dia menjadi pemimpin besar Thian-li-pang seperti dikehendaki oleh para tokoh tua Thian-li-pang. Namun sikapnya tidak sejalan dengan sikap para pimpinan Thian-li-pang. Dia tidak suka Thian-li-pang menggunakan kekerasan menentang pemerintah penjajah, bahkan dia tidak setuju bersama-sama berjuang mengusir penjajah Mancu dari tanah air. Bahkan mungkin sekali dia hendak membawa Thian-li-pang supaya menjadi antek penjajah. Itulah sebabnya dia membunuhi para pimpinan Thian-li-pang yang mempunyai pendirian tegas-tegas menentang penjajah. Melihat betapa aku yang diangkat menjadi ketua sedang menghimpun tenaga, bekerja sama dengan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, juga dengan kelompok pejuang lain, dia menjadi marah. Dengan berpura-pura hendak menyelidiki kematian para pimpinan Thian-li-pang di dekat sumur tua itu, mendadak dia menyerangku dan hendak membunuhku dan melemparku ke sumur tua seperti yang dia lakukan terhadap para pimpinan yang lain. Untung para dewa masih melindungiku dan sebaliknya dia yang terlempar ke dalam sumur tua itu."

"Aihhh," Cu Kim Giok menghela napas panjang. "Ayah dan ibu juga pernah mengatakan bahwa kedudukan memang suka membuat orang menjadi kejam. Kuharap saja engkau tidak ikut-ikutan mabuk kekuasaan, Bu-ko."

"Tak mungkin, Giok-moi. Apa lagi kalau engkau suka membantuku dan selalu berada di sampingku. Sejak Thian-li-pang berdiri, nenek moyangku adalah pejuang-pejuang yang gigih, yang rela mengorbankan nyawa demi membela nusa bangsa. Aku melanjutkan cita-cita mereka, dan aku akan berjuang semata-mata demi membebaskan rakyat dan tanah air kita dari cengkeraman penjajah Mancu, bukan untuk mencari kedudukan atau harta benda. Tentu engkau percaya kepadaku, bukan?"

"Tentu saja aku percaya padamu, Bu-ko. Kalau tidak percaya, tentu aku tidak akan suka membantumu. Dan selanjutnya, langkah apa yang akan kau ambil?"

"Aku akan mengadakan perundingan dengan para pimpinan puncak Pat-kwa-pai serta Pek-lian-kauw, juga kelompok pejuang yang lainnya. Seperti juga pendirian orang-orang sombong, macam Yo Han, masih banyak tokoh dunia kang-ouw yang mengambil jalan sendiri, membeda-bedakan kelompok dan tak mau bekerja sama untuk menghancurkan penjajah. Cara kerja sendiri-sendiri ini, apa lagi kalau disertai persaingan, menimbulkan pertentangan di antara para pejuang sendiri. Hal ini hanya melemahkan perjuangan dan memperkuat kedudukan pemerintah penjajah. Oleh karena itu, kita haruslah berusaha untuk lebih dulu menundukkan para kelompok dan tokoh dunia persilatan. Kalau seluruh dunia kang-ouw sudah dapat bekerja sama, kukira menggulingkan pemerintah penjajah Mancu bukan merupakan hal yang sukar lagi."

Kim Giok yang sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu sangat tertarik dengan gaya bicara dan sikap Seng Bu. Dia mengangguk-angguk dan merasa kagum karena ia menganggap bahwa pendapat pemuda itu tepat. Sedikit banyak, ayah ibunya juga telah menanamkan perasaan cinta tanah air dan bangsa kepadanya, juga telah menceritakan tentang kekuasaan bangsa Mancu yang menjajah bangsanya.

"Pendapatmu itu tepat sekali dan aku akan membantumu, Bu-koko!" katanya penuh semangat. Tentu saja Seng Bu menjadi girang bukan main.

"Terima kasih, Giok-moi. Dengan adanya engkau di sampingku, bintang dan bulan di langit pun akan dapat kuraih!"

Mereka saling pandang dengan senyum mesra dan ketika mereka mendengar suara gaduh kembalinya anak buah Thian-li-pang, mereka pun keluar dari ruangan itu…..

********************

Atas bantuan yang sungguh-sungguh dari Siangkoan Kok, Ouw Seng Bu memperoleh kemajuan pesat dalam menyatuan kekuatan. Siangkoan Kok yang sekarang dia angkat menjadi wakil ketua Thian-li-pang, kemudian mendatangi banyak perkumpulan silat dan perguruan-perguruan silat yang terkenal.

Mula-mula dia membujuk mereka untuk bekerja sama dengan Thian-li-pang berjuang menentang pemerintah Mancu. Kalau ada yang menolak, Siangkoan Kok mengalahkan dan menundukkan para pimpinannya sehingga akhirnya perkumpulan itu menakluk juga karena takut dibasmi. Tentu saja dengan mudah Siangkoan Kok pun mengajak mereka yang dahulunya memang sudah bersekutu dengan Pao-beng-pai agar kini bekerja sama dengan Thian-li-pang akibat Pao-beng-pai telah dihancurkan pasukan pemerintah.

Hanya ada satu dua perkumpulan saja yang memiliki pimpinan yang terlampau kuat bagi Siangkoan Kok. Untuk menalukkan pimpinan perkumpulan yang lihai ini, Ouw Seng Bu sebagai ketua Thian-li-pang turun tangan sendiri dan selama ini, belum pernah ada yang mampu menandingi ilmunya yang aneh akan tetapi juga dahsyat bukan main.

Thian-li-pang menjadi semakin besar dan berpengaruh. Melihat kemajuan yang dicapai kekasihnya, tentu saja Kim Giok merasa gembira dan kagum sekali. Beberapa kali dia menawarkan diri untuk membujuk kedua orang tuanya agar mau membantu perjuangan Thian-li-pang karena kalau ayah ibunya suka membantu, tentu mereka itu akan dapat menarik perhatian para pendekar lainnya. Akan tetapi, Ouw Seng Bu selalu menolak dengan halus.

"Belum tiba saatnya, Giok-moi. Ayah dan ibumu tentu akan merasa heran dan terkejut melihat hubungan kita yang akrab. Hal itu saja sudah membutuhkan pendekatan yang lembut. Apa lagi jika ditambah dengan bujukan supaya mereka membantu perjuangan. Biarlah, nanti kalau Thian-li-pang sudah kuat benar, aku sendiri yang akan menghadap mereka untuk melamarmu, dan kalau kita sudah menjadi suami isteri, dan orang tuamu menjadi mertuaku, tentu dengan sendirinya mereka akan membantu perjuangan kita."

Kim Giok tak membantah lagi. Sikap Seng Bu terhadap dirinya selalu lembut dan sopan, dan pemuda itu memegang janji, tidak pernah lagi bicara tentang cinta mereka seperti yang pernah dijanjikannya. Hal ini membuat ia menjadi semakin kagum dan suka, dan diam-diam ia pun sudah mengambil keputusan untuk memilih pemuda ini sebagai calon suaminya.

Ouw Seng Bu memang cerdik luar biasa. Dia tahu bahwa latihan ilmu Bu-kek Hoat-keng yang ditemukannya di dalam sumur membuat ia berubah dan merasa aneh. Karena itu, setiap kali berlatih ilmu tersebut, dia selalu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, apa lagi setelah kini Kim Giok berada di Thian-li-pang.

Juga, dia melarang keras anak buahnya untuk melakukan perbuatan yang akan menjadi celaan orang, dan memerintahkan mereka agar bertindak seperti pejuang-pejuang yang gagah. Hal ini bertujuan untuk menjaga nama baik Thian-li-pang dan untuk menarik hati para pendekar agar mau bergabung dengan mereka.

Untuk biaya perkumpulannya, diam-diam, tanpa kekerasaan yang menyolok, mereka masih menguasai semua tempat pelesir mau pun tempat judi. Juga dengan halus tetapi mengandung ancaman maut, mereka bisa memeras para pedagang untuk setiap bulan menyerahkan uang sumbangan kepada Thian-li-pang!

Ada pula anggota yang tugasnya melakukan pencurian di rumah-rumah para hartawan dan bangsawan, akan tetapi mereka yang bertugas mencuri adalah anggota yang ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan tiap kali melakukan pencurian, mereka selalu menutupi muka dengan kain hitam. Juga, mereka dipesan agar sampai mati pun tidak mengakui bahwa mereka adalah orang Thian-li-pang, yaitu kalau mereka sampai tertangkap ketika melakukan pencurian. Pesan ini harus mereka taati, karena Seng Bu mengancam akan menyiksa dan membunuh seluruh keluarga anggota Thian-li-pang yang tidak mentaati pesan itu.

Demikianlah, dengan hasil yang cukup berlimpah, Seng Bu dapat semakin memperkuat Thian-li-pang menjadi perkumpulan yang cukup mewah, walau pun kini tidak ada lagi anggota yang melakukan kejahatan secara berterang.

Sebenarnya, semenjak kecil Ouw Seng Bu memang digembleng untuk menjadi seorang pendekar dan patriot. Sebelum dia secara kebetulan menemukan ilmu di dalam sumur tua dan mempelajarinya, dia adalah seorang murid Thian-li-pang yang baik dan gagah perkasa. Bahkan mendiang Lauw Kang Hui menaruh harapan besar kepada muridnya ini.

Akan tetapi, sejak dia melatih diri dengan ilmu Bu-kek Hoat-keng secara keliru, terjadi kelainan pada batinnya, seakan-akan dia mendapat gangguan jiwa. Dia menjadi aneh, ganas, kejam, licik dan haus akan kekuasaan dan kemenangan!

Watak aneh ini memang tidak begitu kelihatan, tidak menonjol apabila dia tidak sedang berlatih ilmu itu, akan tetapi telah menjadi watak kedua yang telah tenggelam di dasar hatinya dan sewaktu-waktu dapat muncul secara tidak terduga, walau pun pada lahirnya dia nampak tetap sebagai seorang pendekar yang gagah dan baik.

Pada suatu hari, Thian-li-pang menerima banyak tamu yang memang diundang, yaitu para pimpinan perkumpulan yang sudah menakluk kepada Thian-li-pang, dan ada pula beberapa orang pimpinan perkumpulan yang belum bekerja sama akan tetapi sengaja diundang dalam kesempatan itu untuk dibujuk dan diajak bekerja sama. Tak kurang dari lima puluh orang tokoh-tokoh kang-ouw yang hadir, sebagian besar dari mereka yang telah mau bekerja sama dengan Thian-li-pang adalah mereka yang terdiri dari golongan hitam.

Dalam pertemuan yang diadakan bagaikan dalam pesta ini, Cu Kim Giok dipersilakan hadir. Tentu saja ia dianggap sebagai seorang tamu kehormatan dan kursinya berada di sebelah kanan kursi ketua Thian-li-pang.

Ouw Seng Bu nampak tampan dan gagah pada hari itu, dengan pakaian yang baru dan wajahnya berseri menyaksikan betapa semua undangan datang hadir. Ini membuktikan bahwa Thian-li-pang mulai dikenal dan ditaati.

Siangkoan Kok yang juga nampak gagah dan berwibawa, duduk di sebelah kirinya, dan kehadiran tokoh besar ketua Pao-beng-pai ini saja sebagai pembantunya, sebagai wakil ketua, sudah menambah kewibawaan Ouw Seng Bu sebagai ketua Thian-li-pang. Kabar tentang kelihaian pemuda ini terdengar luas di dunia kang-ouw.

Setelah semua tamu hadir dan disuguhi arak. Siangkoan Kok yang mewakili ketuanya, bangkit berdiri dan mengucapkan selamat datang dengan mengangkat secawan arak, mengajak semua yang hadir minum. Kemudian dia melanjutkan dengan suara lantang.

"Cuwi (Anda sekalian) tentu sudah mengenal saya. Tentu Cuwi merasa heran mengapa saya sebagai bekas ketua Pao-beng-pai yang sudah gagal dan hancur oleh pasukan pemerintah, sekarang bisa menjadi wakil Thian-li-pang. Hendaknya Cuwi ketahui bahwa Thian-li-pang merupakan satu perkumpulan yang sehaluan dengan Pao-beng-pai, yaitu perkumpulan para pejuang yang hendak merobohkan pemerintah penjajahan, kemudian membebaskan rakyat dan tanah air dari belenggu penjajah bangsa Mancu. Oleh karena itu, bagi Cuwi yang belum mengadakan perjanjian kerja sama dengan kami, diharapkan saat ini juga menyatakan kesediaan untuk kerja sama itu, untuk membantu perjuangan kami, demi tanah air dan bangsa."

Sambutan tepuk sorak menyatakan setuju dengan ucapan Siangkoan Kok itu. Dan para pemimpin kelompok yang datang sebagai tamu undangan dan belum bersekutu dengan Thian-li-pang, segera menyatakan kesediaan mereka.

Akan tetapi pada saat itu, para penjaga, yaitu murid-murid Thian-li-pang yang berada di luar ruangan pertemuan, melaporkan dengan suara lantang.

"Rombongan pemimpin Bu-tong-pai datang berkunjung!"

Semua orang terkejut dan merasa heran, termasuk Ouw Seng Bu dan Siangkoan Kok. Bu-tong-pai termasuk satu di antara partai-partai persilatan yang tidak dapat diharapkan untuk bekerja sama, yaitu partai-partai seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Hoa-san-pai yang menganggap diri mereka sebagai partai ‘bersih’ dan yang tidak mau bergaul dengan kelompok lain yang mereka anggap kotor, hitam atau sesat!

Bahkan dahulu Pao-beng-pai juga tidak berhasil menarik golongan itu sebagai kawan seperjuangan. Dan sekarang, rombongan pemimpin Bu-tong-pai itu datang berkunjung?

Dengan tenang Seng Bu dari Siangkoan Kok bangkit menyambut ketika lima orang tosu itu memasuki ruangan dengan sikap mereka yang tenang dan gagah. Mereka terdiri dari lima orang tosu yang berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun, dipimpin oleh Thian Tocu, tosu yang berusia enam puluh tahun, berjenggot panjang dan memegang sebatang tongkat.

Tosu ini adalah seorang ketua kuil yang menjadi cabang perguruan Bu-tong-pai di kota Hun-kiang, kurang lebih lima puluh li dari Bukit Naga. Empat orang tosu lainnya adalah adik-adik seperguruannya. Lima orang tosu ini rata-rata memiliki ilmu silat Bu-tong-pai yang telah tinggi tingkatnya. Jika Thian Tocu membawa sebatang tongkat, empat orang sute-nya membawa pedang di punggung mereka. Pakaian mereka sederhana, dengan jubah tosu yang lebar berwarna biru menyelimuti pakaian yang berwarna kuning muda, dan rambut mereka digelung ke atas. Sikap mereka tenang dan lembut.

Siangkoan Kok mengenal Thian Tocu karena tokoh Bu-tong-pai ini pernah berkunjung ketika Pao-beng-pai mengadakan pesta ulang tahun, maka cepat-cepat dia mengangkat kedua tangan memberi hormat.

"Ahh, kiranya Totiang Thian Tocu dan para Totiang tokoh Bu-tong-pai yang kini datang berkunjung." Ia menoleh kepada Seng Bu, dan berkata, "Pangcu, mereka adalah Thian Tocu Totiang dan para tokoh Bu-tong-pai lainnya. Dan Cuwi Totiang (Bapak Pendeta Sekalian), ini adalah Ouw Pangcu, ketua Thian-li-pang kami."

Ouw Seng Bu yang pandai membawa diri segera memberi hormat dan berkata, "Maaf, karena Cuwi Totiang tidak memberi tahu terlebih dahulu akan kunjungan ini, maka kami terlambat menyambut. Silakan Cuwi mengambil tempat duduk."

Lima orang tosu itu tidak mempedulikan Siangkoan Kok, dan sejak tadi mereka semua mengamati Ouw Seng Bu dengan penuh perhatian. Mereka sudah mendengar banyak berita tentang ketua baru Thian-li-pang yang sepak terjangnya mengejutkan.

Kabarnya, ketua itu masih muda akan tetapi mempunyai ilmu kepandaian tinggi, bahkan menarik bekas ketua Pao-beng-pai yang terkenal sebagai seorang datuk itu menjadi wakilnya. Juga bahwa kini Thian-li-pang sudah menaklukkan hampir semua kelompok dan kekuatan di dunia kang-ouw.

Melihat bahwa ketua itu memang masih muda, bersikap lembut dan sopan, mereka lalu mengangkat kedua tangan depan dada.

"Siancai..." kata Thian Tocu sambil memandang kagum. "Kiranya Ouw-pangcu, ketua Thian-li-pang masih amat muda, akan tetapi telah membuat nama besar. Terima kasih, kami datang hanya untuk melihat bukti dan mengajukan beberapa pertanyaan, bukan untuk bertamu. Kami bahkan tak tahu bahwa pagi ini Thian-li-pang sedang mengadakan pertemuan dengan banyak tokoh kang-ouw."

Tosu itu memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa yang hadir adalah orang-orang kang-ouw dari daerah itu. Sebagian besar di antara mereka ialah golongan hitam. Bahkan ada pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai hadir pula di situ.

Ouw Seng Bu mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah dan ramah kembali. "Kalau begitu kehendak Totiang, silakan."

"Begini Ouw Pangcu. Sejak Sin-ciang Taihiap, yaitu Yo Taihiap yang menjadi pemimpin Thian-li-pang dan kemudian kedudukan ketua diserahkan pada pangcu Lauw Kang Hui, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gagah berani dan bijaksana, bahkan berhubungan dekat dengan para pendekar di dunia persilatan. Akan tetapi, tiba-tiba saja kami mendengar bahwa Thian-li-pang mengalami perubahan. Kabarnya, para pemimpinnya terbunuh dan kedudukan ketua dipegang oleh Ouw Pangcu. Yang lebih mengherankan lagi, menurut desas-desus itu, para pimpinan Thian-li-pang yang lama itu dibunuh oleh Yo Taihiap! Kami semua merasa heran dan sama sekali tidak percaya, hanya karena urusan itu merupakan urusan dalam Thian-li-pang, kami terpaksa berdiam diri. Tetapi, melihat sepak terjang Thian-li-pang akhir-akhir ini, terpaksa pinto dan adik-adik seperguruan memberanikan diri lancang berkunjung untuk mengajukan pertanyaan kepada Pangcu."

"To-yu, kalau hendak bertanya, tanya saja. Mengapa berbelit-belit seperti itu?" Tiba-tiba Siangkoan Kok berseru dengan suara lantang karena kakek ini sudah tidak sabar lagi mendengar ucapan tosu Bu-tong-pai itu.

"Benar, Totiang, tanyalah, kami tidak menyembunyikan sesuatu," kata Seng Bu.

"Ouw Pangcu, kami melihat betapa Thian-li-pang sudah mengubah seluruh sikapnya. Thian-li-pang menaklukkan hampir semua perkumpulan dan kelompok para pejuang, mengadakan hubungan dengan semua pihak tanpa pilih bulu. Thian-li-pang menguasai pula semua tempat hiburan, tempat maksiat, dan Thian-li-pang melakukan pemerasan kepada para hartawan. Padahal, semua ini tidak dilakukan ketika Lauw Pangcu masih menjadi ketua. Kenapa setelah para pimpinan Thian-li-pang tewas secara rahasia, tiba-tiba Ouw Pangcu yang menjadi ketua tanpa pengumuman kepada para kenalan, dan Ouw Pangcu mengadakan perubahan yang berlawanan dengan sikap Thian-li-pang dulu? Kami melihat Thian-li-pang telah menyimpang dari jalan benar, maka kami terus terang saja merasa curiga dengan perubahan ini. Yang lebih mengejutkan kami, adanya desas-desus disebarkan oleh orang-orang Thian-li-pang bahwa beberapa hari yang lalu, Ouw Pangcu telah membunuh Sin-ciang Taihiap Yo Han di sini! Nah, itulah penasaran yang mendorong kami datang pada pagi ini, untuk minta penjelasan dari para pimpinan Thian-li-pang!"

Siangkoan Kok bangkit berdiri dengan muka berubah merah dan mata melotot. "Tosu Bu-tong-pai, kalian berani mencampuri urusan pribadi Thian-li-pang?!"

Ouw Seng Bu juga bangkit berdiri dan menyabarkannya. "Sudahlah, Paman. Biarkan aku yang menghadapi mereka."

"Tapi, Pangcu. Mereka ini sungguh tidak tahu aturan!"

"Paman Siangkoan Kok, duduklah dan biarkan aku yang menangani urusan ini!" kata pula Seng Bu.

Nada suaranya mengandung sesuatu yang membuat Siangkoan Kok duduk kembali dengan muka cemberut dan mata masih merah ketika dia memandang ke arah lima orang tosu Bu-tong-pai itu. Untuk mendinginkan hatinya, dia pun menuangkan arak dari cawan ke dalam mulutnya.

Kini Ouw Seng Bu menghampiri lima orang tosu itu dan berhadapan dengan mereka, sikapnya masih tenang saja. Cu Kim Giok yang sejak tadi hanya menjadi penonton yang berhati tegang, merasa kagum akan sikap kekasihnya itu. Betapa tenang dan lembutnya pemuda yang menjadi ketua Thian-li-pang itu!

"Ngo-wi Totiang (Bapak Pendeta berlima), kami akan menjawab semua pertanyaan dari Totiang tadi. Tadi Totiang Thian Tocu menyinggung mengenai terbunuhnya suhu Lauw Kang Hui dan beberapa orang pimpinan kami. Memang hal itu benar, dan pembunuhnya adalah Sin-ciang Taihiap Yo Han. Hal ini bisa kami ketahui dari luka yang terdapat pada mayat korban karena pukulan itu hanya dapat dilakukan oleh Yo Han saja. Mengapa dia melakukan semua pembunuhan itu? Mungkin untuk membalaskan sakit hati gurunya, kakek yang menjadi orang hukuman di sini karena menentang pimpinan. Mungkin juga dia hendak menguasai Thian-li-pang dan memusuhi kami yang berlawanan pendapat dan sikap dengan dia. Tentang perubahan yang terjadi di Thian-li-pang semenjak saya dipilih menjadi ketua, itu memang benar. Kami menganggap bahwa perjuangan bukan monopoli golongan pendekar saja, melainkan menjadi tugas setiap orang warga negara untuk menyelamatkan bangsa dari penjajah Mancu. Kami berkeyakinan bahwa tanpa adanya persatuan dari semua pihak, perjuangan akan gagal. Oleh karena itulah, kami sengaja mengadakan hubungan dengan semua pihak yang menentang pemerintah, dan kami akan menundukkan dan memaksa golongan yang menjadi antek penjajah untuk membantu perjuangan kami. Ada pun penguasaan atas semua tempat pelesiran dan meminta sumbangan dari kaum hartawan, memang hal itu kami lakukan karena dari mana kami akan memperoleh biaya? Kalau tempat-tempat maksiat itu dibiarkan tanpa pengontrolan kami, tentu akan menjadi sarang golongan penjahat. Juga, apa salahnya mengajak para hartawan membantu perjuangan dengan menyumbangkan sedikit harta mereka? Bila kebijaksanaan kami mengenai perjuangan bangsa ini tidak cocok dengan keinginan pihak Bu-tong-pai, maaf, hal itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Selama ini kami sendiri pun belum pernah mencampuri urusan dapur dan kamar Bu-tong-pai."

"Siancai... keterangan Ouw Pangcu masuk di akal sungguh pun belum meyakinkan kami tentang Sin-ciang Taihiap. Lalu bagaimana dengan berita tentang tewasnya Sin-ciang Taihiap Yo Han di tangan Pangcu? Benarkah itu, ataukah hanya berita isapan jempol belaka?"

Cu Kim Giok mengerutkan alisnya. Sikap tosu itu terlalu sombong, pikirnya, dan terlalu memandang rendah kepada Ouw Seng Bu. Akan tetapi sikap ketua Thian-li-pang itu tetap tenang menghadapi ucapan yang nadanya tidak percaya dan meremehkan itu.

"Totiang, Yo Han memang muncul di sini dan dia berusaha untuk membunuhku. Dia datang dan pura-pura hendak menyelidiki kematian suhu dan yang lain-lain. Akan tetapi ketika berada di bagian belakang perkampungan kami, dia lalu menyerangku dan nyaris membunuhku. Masih untung aku dapat mempertahankan diri dan dengan bantuan para anggota Thian-li-pang, kami berhasil membuat dia jatuh terjungkal ke dalam sumur tua dan tewas, walau pun aku sendiri harus menerima pukulan darinya."

"Siancai...! Sin-ciang Taihiap adalah seorang pendekar budiman, seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bagaimana mungkin dia dapat dikalahkan demikian mudahnya? Cerita Pangcu itu sukar untuk diterima begitu saja..."

Sepasang mata Seng Bu mencorong dan suaranya terdengar dingin sekali. "Totiang tak percaya pada keteranganku?"

"Bagaimana kami dapat percaya?" kata Thian Tocu. "Jika kami sudah melihat buktinya, barulah kami dapat percaya."

"Totiang adalah seorang tokoh besar dan pemimpin Bu-tong-pai, bagaimana kini dapat bersikap seperti anak kecil begini?" tiba-tiba saja terdengar suara merdu dan lantang. "Akulah yang menjadi saksi akan kebenaran keterangan Ouw Pangcu. Aku pula yang membantu dia mengobati luka di dadanya yang kena pukulan tangan Sin-ciang Taihiap Yo Han!"

Semua orang memandang. Lima orang tosu Bu-tong-pai kini memperhatikan Kim Giok dengan pandang mata penuh selidik. "Siancai, kalau boleh kami mengetahui, siapakah Nona dan apa hubungan Nona dengan Ouw Pangcu?"

"Totiang, Nona ini adalah Nona Cu Kim Giok, puteri dari majikan Lembah Naga Siluman, pendekar Cu Kun Tek. Dia keturunan keluarga Cu, penghuni Lembah Naga Siluman. Apakah Totiang juga meragukan ucapannya dan tidak percaya?" kata Ouw Seng Bu.

Lima orang tosu itu nampak kaget, akan tetapi Thian Tocu mengerutkan alisnya dan pandang matanya kepada gadis itu nampak ragu. Seorang gadis cantik manis bermata indah yang usianya paling banyak baru delapan belas tahun! Kalau benar gadis itu puteri keluarga yang amat terkenal itu, bagaimana dapat berada di Thian-li-pang?

"Maafkan kami, Nona. Kami belum pernah melihat Nona, walau pun kami sudah pernah mendengar akan nama besar keluarga Lembah Naga Siluman. Bagaimana kami dapat yakin bahwa Nona adalah puteri majikan Lembah Naga Siluman?"

"Singgg...!!"

Nampak sinar berkelebat menyilaukan mata dan Kim Giok sudah mencabut pedangnya. "Pendeta yang sombong, lihatlah baik-baik, apakah engkau masih meragukan pedangku ini?" bentak Kim Giok.

Pedang Koai-liong Po-kiam nampak berkilat menyilaukan mata dan ketika dicabut tadi, suara berdesingnya mengandung suara seperti harimau mengaum.

Melihat pedang itu, Thian Tocu amat terkejut dan cepat dia memberi hormat. "Koai-liong Po-kiam! Ahhh, maafkan kami, nona Cu. Setelah Nona maju sebagai saksi, kami tidak meragukan kebenarannya. Akan tetapi, yang membuat kami sulit untuk percaya adalah bagaimana mungkin Sin-ciang Taihiap dapat dikalahkah oleh Ouw Pangcu yang murid mendiang Lauw Pangcu? Padahal, Lauw Pangcu sendiri, gurunya, tidak akan mampu menandingi Sin-ciang Taihiap! Bukankah hal ini amat aneh dan sukar dipercaya?"

"Ngo-wi Totiang," kata Ouw Seng Bu, suaranya terdengar dingin dan pandang matanya mencorong, "Apakah seorang murid harus lebih lemah dibandingkan gurunya? Ingatlah, Totiang, orang muda memiliki kesempatan yang jauh lebih banyak untuk memperoleh kemajuan dari pada gurunya yang sudah tua. Kalau Ngo-wi masih belum percaya akan kemampuanku sehingga aku terpilih menjadi ketua Thian-li-pang dan dapat menandingi Yo Han, silakan Totiang berlima maju dan menguji kemampuanku!"

Mendengar tantangan ini, lima orang tosu Bu-tong-pai saling pandang. Mereka adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai, dan kini mereka berlima ditantang untuk menghadapi seorang pemuda!

"Ha-ha-ha, aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa lima orang kakek Bu-tong-pai yang sombong ini tidak akan mampu bertahan sampai tiga puluh jurus melawan Ouw Pangcu. Ha-ha-ha!" kata Siangkoan Kok sambil tertawa mengejek dan minum araknya.

Itulah ejekan yang amat merendahkan lima orang tosu itu! Mempertaruhkan kepalanya! Akan tetapi ini bukan sekedar bualan kosong belaka. Siangkoan Kok sudah mengenal lima orang tosu itu dan tahu akan tingkat kepandaian mereka berlima. Dia sendiri pun akan mampu menandingi pengeroyokan lima orang tosu itu, walau pun dia belum dapat memastikan bahwa dia akan berada di pihak pemenang.

Kalau lima orang itu tidak disatukan, hanya sebanding dengan tingkatnya. Maka tidak mungkin mereka berlima mampu bertahan sampai tiga puluh jurus menghadapi pemuda ketua Thian-li-pang yang memiliki ilmu kepandaian aneh namun dahsyat itu.

"Siancai! Thian-li-pang sungguh memandang rendah Bu-tong-pai, dan kami ingin sekali membuktikan apakah ketua baru Thian-li-pang memang seorang sakti yang mampu menewaskan Sin-ciang Taihiap. Ouw Pangcu, kami berlima mohon petunjuk!" berkata demikian, Thian Tocu melintangkan tongkatnya di depan dada, sedangkan empat orang sute-nya juga sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka membuat suatu barisan ngo-heng-tin (barisan lima unsur).

Ouw Seng Bu maklum bahwa dia harus memperlihatkan kepandaiannya. Bukan saja untuk menundukkan dan sekedar memberi hajaran kepada lima orang tosu yang sudah memandang rendah kepadanya itu, melainkan juga untuk mendatangkan kesan kepada mereka yang belum mau bekerja sama atau tunduk kepada Thian-li-pang.

Dia tahu bahwa peristiwa ini tentu akan disebar luaskan oleh mereka yang kini hadir, dan sebentar saja dunia kang-ouw akan mendengar betapa ketua Thian-li-pang sudah mengalahkan lima orang tosu tokoh Bu-tong-pai. Dia lalu maju dan menghadapi kelima orang tosu yang sudah memasang barisan di tengah ruangan itu, di tempat yang cukup luas.

Semua tamu menonton dengan hati penuh ketegangan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Tangan Sakti