SI TANGAN SAKTI : JILID-22


Bayangan tubuh Sim Hui Eng yang ramping padat itu berkelebat cepat, menyelinap di antara pohon-pohon. Dia sedang melakukan penyelidikan terhadap Thian-li-pang, untuk mengetahui lebih banyak tentang perkumpulan itu dan bila mungkin menyelidiki apakah benar Yo Han telah tewas, ataukah ditahan di dalam rumah perkumpulan itu.

Gadis yang anggun dan cantik ini tidak lagi bersikap dingin dan angkuh seperti dulu saat dia masih menjadi puteri ketua Pao-beng-pai. Dia gunakan ginkang-nya dan gerakannya sedemikian cepat sehingga tidak akan kelihatan oleh orang-orang Thian-li-pang.

Akan tetapi, hal ini hanya dugaannya saja karena ia mengira bahwa musuh tidak tahu akan kedatangannya. Padahal, sejak ia bersama Sian Li dan Cia Sun berada di dekat sumur tua itu, para murid Thian-li-pang telah melakukan penjagaan dan Ouw Seng Bu sendiri telah mengamati gerak-gerik ketiga orang itu.

Tentu saja gerakan Hui Eng sekarang juga sudah selalu diamati. Setelah gadis itu kini berpisah jauh dari Sian Li dan Cia Sun, dan dia melihat bagian kanan perkampungan itu nampaknya tidak terjaga ketat, dengan berani ia melompati pagar dan memasuki bagian belakang sebuah bangunan besar yang akan diselidikinya. Mungkin ia dapat mendengar percakapan murid Thian-li-pang, atau syukur kalau menemukan sesuatu yang akan bisa menunjukkan tentang Yo Han.

Akan tetapi baru saja ia tiba di ruangan terbuka yang tadinya sepi itu, tiba-tiba terdengar gerakan orang. Ketika ia cepat memutar tubuhnya, ia melihat dirinya sudah terkepung oleh puluhan orang anak buah Thian-li-pang yang semuanya menyeringai dengan gaya mengejek!

"Hemmm...!" Hui Eng tidak menjadi gentar dan ia sudah mempersiapkan pedang dan kebutannya.

Dua orang pria yang agaknya menjadi pimpinan dari tiga puluh orang lebih anak buah Thian-li-pang itu melangkah maju dan berkata dengan suara yang mengandung ejekan.

"Nona, sebaiknya engkau menyerah dan akan kami hadapkan kepada pangcu dari pada tubuhmu yang mulus itu halus lecet-lecet dan mungkin terluka."

Sinar mata Hui Eng mencorong marah. "Aku? Menyerah kepada kalian? Makanlah ini!" Pedangnya menyambar ganas.

Dua orang anggota Thian-li-pang yang memimpin rombongan itu merupakan murid yang sudah agak tinggi tingkatnya. Mereka terkejut melihat berkelebatnya sinar pedang yang menyambar, akan tetapi mereka masih dapat melempar tubuh ke belakang sehingga terhindar dari maut. Para anggota Thian-li-pang yang lainnya sudah mengepung ketat sambil menggerakkan senjata mereka mengeroyok gadis itu.

"Tar-tar-tarrr...!"

Sinar merah menyambar-nyambar dan bulu-bulu kebutan yang halus itu langsung saja merobohkan empat orang pengeroyok. Hui Eng mengamuk. Pedang serta kebutannya menyambar-nyambar menjadi dua gulungan sinar putih dan merah, dan dalam waktu belasan jurus saja sudah ada belasan orang anggota Thian-li-pang roboh!

"Semua mundur!" terdengar bentakan dan muncullah Siangkoan Kok! Datuk ini dengan muka merah karena marah menghadapi bekas puterinya, juga muridnya yang tadinya amat disayangnya. "Eng Eng, cepat menyerah!"

Akan tetapi Hui Eng memandang kepada orang yang dulu dianggap guru dan ayahnya itu dengan mata mencorong. "Kenapa aku harus menyerah kepadamu? Aku tidak sudi!"

Siangkoan Kok melotot. "Eng Eng, lupakah engkau bahwa aku adalah gurumu, juga pernah menjadi ayahmu yang menyayangmu?"

"Aku tidak lupa, semuanya aku tidak lupa, juga betapa engkau dengan kejam hampir membunuhku, dan engkau membunuh pula sumoi Tio Sui Lan, membunuh pula isterimu yang pernah menjadi ibuku. Aku tidak lupa dan sekaranglah saatnya aku membalaskan semua itu!" Setelah berkata demikian, dengan nekat Hui Eng sudah menerjang maju menyerang datuk yang pernah menjadi guru dan ayahnya itu.

"Keparat, kalau begitu engkau tak layak dikasihani!" Siangkoan Kok membentak sambil menangkis, lalu balas menyerang.

Guru dan murid itu segera saling serang dengan dahsyat dan terjadilah pertandingan yang amat seru karena keduanya menyerang untuk membunuh.

Melawan bekas gurunya sendiri itu saja Hui Eng sudah kewalahan, karena betapa pun juga, semua ilmunya ia dapatkan dari Siargkoan Kok, sehingga semua gerakannya telah diketahui oleh datuk itu. Biar pun ia mengenal pula gerakan lawan, akan tetapi ia kalah pengalaman dan ilmunya kalah matang.

Apa lagi kini muncul dua orang tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang tanpa banyak cakap sudah maju membantu Siangkoan Kok. Hui Eng terdesak hebat dan ia hanya mampu memutar pedang dan kebutannya untuk menangkis saja, tidak mendapat kesempatan lagi untuk membalas serangan tiga orang lawannya.

Melihat kedua orang tosu yang membantunya itu menyerang dengan sungguh-sungguh, timbul kekhawatiran di hati Siangkoan Kok bahwa gadis itu akan roboh dan tewas, atau akan terluka berat. Hal ini tidak dikehendaki oleh Ouw-pangcu, juga dia sendiri tidak ingin melihat bekas murid dan puterinya itu tewas.

Dia masih sayang kepada Eng Eng. Bahkan kini, setelah gadis itu bukan lagi puterinya, timbul keinginan di hatinya untuk menarik gadis itu sebagai pengganti isterinya. Ia masih sayang kepada Eng Eng dan rasa sayang sebagai guru dan ayah itu dapat dialihkan menjadi kasih sayang seorang pria terhadap seorang wanita yang menjadi isterinya.

"Jangan lukai atau bunuh gadis ini. Kita tangkap hidup-hidup sesuai perintah pangcu!" kata Siangkoan Kok dengan suara lantang.

Dan mendengar seruan ini, kedua orang tusu lalu mengubah gerakan mereka, tidak lagi menyerang dengan pedang mereka, melainkan menggunakan pedang untuk menangkis dan menyerang dengan totokan tangan kiri untuk merobohkan gadis itu tanpa melukai atau membunuhnya.

Setelah melakukan perlawanan mati-matian, akhirnya Hui Eng terkena totokan dan roboh terkulai lemas! Siangkoan Kok cepat menelikungnya dan membawanya ke dalam, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari besi.

"Jaga baik-baik dan jangan sampai ia bisa meloloskan diri!" pesannya kepada beberapa orang Thian-li-pang yang sedang melakukan penjagaan. "Akan tetapi, siapa yang berani mengganggunya pasti akan dihukum berat!"

Siangkoan Kok, Im Yang Ji dan Kui Thiancu kemudian meninggalkan tempat tahanan itu sebab mereka sudah mendengar berita bahwa sekarang Ouw-pangcu sedang berusaha untuk menawan Si Bangau Merah.

Seperti juga Hui Eng, Sian Li melakukan penyelidikan melalui samping perkampungan Thian-li-pang. Ia pun meloncati pagar dan sama sekali tidak mendapatkan perlawanan karena di balik pagar tembok itu tidak nampak seorang pun anggota Thian-li-pang.

Akan tetapi, sungguh tak mudah untuk menjebak Si Bangau Merah. Ia cukup waspada. Dan melihat keadaan yang sepi itu, ia pun maklum bahwa agaknya pihak musuh sudah mengetahui akan kedatangan dirinya dan kini sengaja mengosongkan tempat itu untuk memasang perangkap.

Dengan ginkang-nya yang sudah mencapai tingkat tinggi, Sian Li berkelebat, kemudian menyelinap ke dalam sebuah taman kecil dan dari sini ia pun meloncat ke atas genteng dan bersembunyi di balik wuwungan. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga para anggota Thian-li-pang yang mengawasinya kehilangan jejaknya. Bahkan Ouw Seng Bu yang diam-diam juga mengamatinya dari dalam, menjadi terkejut dan bingung karena Si Bangau Merah itu tidak nampak lagi.

Dari balik wuwungan, Sian Li mengintai ke bawah dan dia tersenyum mengejek ketika melihat beberapa orang anak buah Thian-li-pang yang mulai bermunculan dari tempat sembunyi mereka. Seperti telah diduganya, orang-orang Thian-li-pang telah mengetahui akan kedatangannya dan sengaja bersembunyi untuk membiarkan dia masuk ke dalam jebakan mereka. Akan tetapi karena ia lenyap bersembunyi di wuwungan, mereka mulai menjadi bingung dan ada yang keluar mencari-cari.

Sian Li mengambil jalan memutar. Ia melihat seorang anggota Thian-li-pang mencari ke arah belakang dengan pedang terhunus di tangan sambil melongok-longok. Sian Li lalu bergerak mendekati dari atas. Setelah cukup dekat, ia menggerakkan tangan kanannya dan sepotong genteng yang ia patahkan dari ujung wuwungan menyambar dan tepat mengenai tengkuk orang itu. Dia hanya sempat mengeluh pendek, pedangnya terlepas kemudian roboh terkulai, pingsan.

Sian Li menanti beberapa lamanya. Setelah yakin tidak ada orang melihat penyerangan itu, ia melayang turun dan menarik lengan orang yang tak mampu bergerak itu ke dalam sebuah ruangan kosong, dan ia menutupkan daun pintu ruangan itu.

Anggota Thian-li-pang itu terkejut bukan main ketika totokannya punah dan dia siuman. Ia melihat gadis berpakaian merah itu menodongkan pedang tajam yang menggigit kulit lehernya. Pedangnya sendiri!

"Kalau engkau tidak mau mengaku terus terang, pedang ini akan langsung menembus tenggorokanmu!" Sian Li mendesis.

Mata orang itu terbelalak, mukanya berubah pucat. Apa lagi ketika dia merasa perihnya kulit leher di mana ujung pedangnya sendiri menempel.

"Saya... saya mengaku terus terang...," katanya lirih.

"Hayo katakan, di mana Sin-ciang Taihiap Yo Han? Jangan bohong!"

Orang itu semakin ketakutan. "Dia... dia... di tempat... tahanan..."

Berdebar-debar rasa hati Sian Li karena lega. Seperti sudah diduganya, Ouw Seng Bu hanya membohonginya.

"Di mana tempat itu? Hayo antar aku ke sana!"

"Saya... saya tidak berani... ahhh...!"

Pedang itu menusuk, masuk ke kulit lehernya sampai setengah senti, mendatangkan rasa nyeri dan ketakutan hebat. Sedikit saja nona baju merah itu menusukkan pedang itu, tentu lehernya akan tembus dan matilah dia.

"Baik... baik...," katanya.

Sian Li menarik pedangnya. "Hayo jalan dulu, awas, kalau engkau memberi tanda atau berteriak, akan kucincang tubuhmu."

Dengan tubuh gemetar ketakutan, anak buah Thian-li-pang itu lalu membawa Sian Li menyelinap melalui sebuah lorong kecil. Setiap kali melihat ada anak buah Thian-li-pang lainnya, orang itu ditarik oleh Sian Li untuk bersembunyi dengan pedangnya menodong pada punggung orang itu.

Akhirnya, setelah melalui jalan yang berliku-liku, orang itu membawa Sian Li memasuki ruangan bagian belakang. Bangunan di situ cukup besar dan mereka memasuki lorong sehingga tiba di depan pintu sebuah kamar yang terbuat dari besi dan ada jerujinya yang kokoh kuat. Pintu kamar itu dipasangi rantai yang dikunci.

"Dia... dia ada di sana..." Orang itu menuding ke dalam kamar tahanan itu.

Sian Li menggerakkan tangan kirinya dan orang itu terkulai lemas, tak mampu bergerak lagi karena tertotok. Sian Li menghampiri jeruji pintu kamar itu dan melihat ke dalam. Jantungnya berdebar.

"Han-koko...!" Ia berseru, akan tetapi lirih karena tidak ingin membuat gaduh.

Ia melihat Yo Han duduk bersila, membelakangi pintu. Ia memang tidak melihat wajah orang itu, akan tetapi perawakannya membuat ia mengenal pemuda itu, apa lagi anak buah Thian-li-pang tadi mengatakan bahwa Yo Han ditawan di kamar itu.

"Han-koko...!" Ia memanggil lagi.

Akan tetapi orang yang bersila membelakanginya itu tidak menjawab dan tak bergerak. Agaknya Yo Han terluka parah dan sedang menghimpun hawa murni, maka tidak dapat menjawabnya, pikir Sian Li. Dia melihat betapa Yo Han menarik napas panjang dan menahan napas itu sampai lama.

Ahhh, Yo Han tentu terjebak musuh dan menderita luka, maka bisa tertawan, pikir Sian Li. Sekaranglah saatnya membebaskannya, karena kalau sampai Ouw Seng Bu dan sekutunya muncul, tidak akan mudah baginya untuk membebaskan kekasih hatinya itu.

"Han-koko, jangan khawatir, aku akan menolongmu!" katanya.

Ia memperhitungkan bahwa kalau kamar tahanan itu dipasangi jebakan, tentu Yo Han akan memperingatkannya. Sian Li lalu mengeluarkan sulingnya.

Suling itu hanya disaput emas, akan tetapi sebetulnya di sebelah dalamnya terbuat dari baja pilihan yang sangat kuat. Dia mengerahkan tenaganya, tenaga gabungan Im-yang Sinkang dari keluarga Pulau Es seperti yang ia pelajari dari Suma Ceng Liong, memutar sulingnya dengan ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan sinar emas menyambar ke arah lantai yang membelenggu daun pintu kamar tahanan itu.

"Tranggg... trakkk!"

Rantai itu patah dan Sian Li mendorong daun pintu kamar tahanan itu sehingga terbuka. Dengan cepat, namun hati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaan, dia pun memasuki kamar tahanan itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh di luar dan ketika ia menengok, nampak banyak anak buah Thian-li-pang memasuki rumah tahanan itu.

Hemmm, ia telah ketahuan musuh, pikirnya. Ia harus cepat membebaskan Yo Han.

"Han-koko, mari kita pergi..." Ia menahan kata-katanya dan terbelalak ketika orang yang tadinya bersila membelakanginya itu meloncat ke depan, membalikkan tubuhnya dan ia berhadapan dengan Ouw Seng Bu!

Kiranya, ketua baru Thian-li-pang yang tadi duduk bersila membelakanginya. Memang perawakan ketua baru ini mirip dengan perawakan Yo Han, dan agaknya sang ketua ini sengaja menyamar sehingga rambut yang dikucir bergantung dan melingkar leher itu pun sama, juga pakaiannya.

"Ha-ha-ha, Bangau Merah! Sudah kukatakan bahwa Yo Han telah berkhianat, dan dia sudah mati di dalam sumur tua, dan engkau masih juga tidak percaya? Sekarang, lebih baik engkau menyerah dan membantu kami berjuang melawan penjajah, sesuai dengan nama besar keluargamu sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa."

"Keparat Ouw Seng Bu! Engkau tentu telah menjebak Han-koko! Sekarang aku harus membalas dendam kepadamu!" Setelah berkata demikian, Sian Li memutar suling dan menerjang maju. Akan tetapi, Ouw Seng Bu menghindar dengan loncatan ke kiri.

"Ha-ha-ha, engkau sudah terkepung dan masih bicara besar? Lihatlah, di luar kamar ini anak buahku sudah menghadang dan mengepung. Engkau tidak akan dapat lolos, Tan Sian Li. Melawan pun tiada gunanya karena kalau Yo Han saja tak mampu menandingi aku, apa lagi engkau."

"Jahanam busuk yang sombong!" Sian Li berteriak dan ia pun menyerang lagi dengan dahsyat.

Diam-diam Ouw Seng Bu terkejut karena serangan Si Bangau Merah itu memang kuat dan dahsyat bukan main. Sulingnya berubah menjadi sinar emas yang mengeluarkan suara melengking-lengking aneh. Ia melompat ke tepi kamar, tangannya cepat menekan tombol di dinding sehingga dinding di belakangnya terbuka. Dan ia melompat masuk.

"Pengecut, hendak lari ke mana kau?" bentak Sian Li yang cepat-cepat mengejar. Dia pun ikut meloncat masuk ke dalam kamar lain di mana Ouw Seng Bu sudah menunggu sambil tersenyum mengejek.

Pemuda itu menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya secara aneh dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan! Dia telah menghimpun tenaga dari ilmunya yang sesat, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latih. Kini wajahnya berubah, masih tampan, tapi senyumnya yang tadinya ramah dan manis itu berubah menjadi wajah menyeringai yang amat menyeramkan, sadis dan dingin. Matanya liar dan suara tawanya bagaikan setan tertawa.

Ketika Sian Li melihat keadaan Ouw Seng Bu seperti itu, ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang yang tidak waras, atau miring otaknya! Ia tidak tahu bahwa keadaan itu merupakan akibat dari ilmu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan.

"Iblis gila!" bentaknya dan ia menyerang lagi dengan sulingnya.

Kamar yang ini berbeda dengan kamar tahanan di depan tadi. Dinding yang tadi terbuka menembus ke kamar tahanan sekarang sudah menutup kembali dengan sendirinya dan kamar ini lebih luas.

Sian Li menghantamkan sulingnya ke arah kepala pemuda itu. Akan tetapi, Seng Bu meloncat ke samping dan ketika suling itu mengejar dengan sambaran ke samping, dia menangkis dengan tangan kirinya.

"Takkk...!"

Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh Sian Li terdorong ke belakang hingga tiga langkah. Gadis itu terkejut bukan main. Sulingnya yang ditangkis tadi tergetar hebat. Ada tenaga aneh yang amat dingin menyusup melalui suling dan tangannya dan tenaga itu amat kuat sehingga dia terdorong dan terhuyung. Baiknya dia masih mengerahkan tenaga sinkang untuk menolak pengaruh hawa dingin aneh itu.

"Ha-ha-he-he-he!" Ouw Seng Bu terkekeh menyeramkan dan membusungkan dadanya. "Si Bangau Merah, engkau tidak akan menang melawan aku. Ilmuku yang amat hebat ini tidak dapat ditandingi siapa pun juga. Sebentar lagi aku akan menjadi jagoan nomor satu di dunia dan mengusai dunia kang-ouw. Bahkan setelah menjatuhkan pemerintah penjajah Mancu, akulah yang layak dan pantas menjadi kaisar. Ha-ha-ha!"

"Gila, dia gila akan tetapi memiliki ilmu yang ajaib," pikir Sian Li.

Ia harus dapat merobohkan orang ini, kalau tidak, ia tentu akan celaka. Baru orang ini saja sudah demikian hebat, kalau para sekutunya datang mengeroyok, ia tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi mereka.

Sian Li mengeluarkan pekik melengking. Kini dia memutar suling emasnya, memainkan ilmu pedangnya yang paling ampuh, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Bangau Merah) yang ia pelajari dari ayahnya, Pendekar Sakti Bangau Putih.

Sulingnya berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung yang menyilaukan mata, dan tubuhnya juga lenyap berubah menjadi bayangan merah yang berkelebatan terbungkus sinar emas. Dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyerang ke arah Ouw Seng Bu.

Namun, sambil terkekeh-kekeh aneh, Ouw Seng Bu berdiri tegak dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan aneh, kadang diputar seperti baling-baling, dan dari kedua tangan itu menyambar hawa dahsyat yang membuat semua serangan Sian Li tertolak kembali, mental sebelum mengenai tubuh lawan! Ketika Ouw Seng Bu melangkah maju mendekat, hawa pukulan kedua tangannya semakin kuat sehingga kini gulungan sinar emas itu makin menyempit, tanda bahwa Si Bangau Merah terdesak oleh tenaga aneh itu.

Pada saat itu terdengar suara wanita berteriak, "Bu-ko, jangan bunuh atau lukai dia!"

Mendengar teriakan itu, Ouw Seng Bu lalu terkekeh. "Heh-heh-heh, tidak, tidak, sayang, jangan khawatir!"

Setelah berkata demikian, mendadak dia meloncat ke belakang dan berlari keluar dari ruangan itu melalui sebuah lorong yang lebarnya sekitar dua meter dan panjang.

"Jangan lari!" bentak Sian Li yang mengejar.

Terdengar suara keras dan lorong itu sudah tertutup dari depan dan belakang oleh pintu rahasia. Sian Li terkejut, merasa terjebak dalam lorong yang tertutup, akan tetapi karena Ouw Seng Bu masih berada di situ bersamanya, ia tidak takut dan memutar suling lebih cepat untuk menjaga agar orang itu tidak melarikan diri melalui sebuah pintu rahasia.

"Heh-heh-heh, engkau takkan dapat lolos, Bangau Merah!" kata Ouw Seng Bu.

Mendadak dari lantai lorong itu keluar asap kemerahan yang memenuhi lorong. Sian Li mencium bau harum menyengat dan tahulah dia bahwa asap itu mengandung racun pembius! Akan tetapi, tidak ada jalan keluar dan jalan satu-satunya hanya menyerang mati-matian pada lawan yang masih terus tertawa-tawa walau pun asap merah semakin menebal.

Gadis perkasa yang cerdik ini menyesal akan kebodohan dirinya sendiri. Tentu saja, pikirnya. Ouw Seng Bu telah memakai obat penawar! Asap sudah terpaksa disedotnya ketika ia bernapas.

"Keparat keji, pengecut, curang...!" Ia menyerang kembali akan tetapi kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang dan ia pun roboh terkulai pingsan.

Ketika siuman kembali, Sian Li mendapatkan dirinya sudah rebah di atas sebuah dipan. Dia melihat betapa kaki tangannya diikat oleh rantai baja yang panjang. Cepat ia turun dari pembaringan itu dan mengerahkan tenaga sinkang untuk mematahkan rantai kaki tangannya.

"Jangan, Sian Li. Jangan patahkan rantai kaki tanganmu," terdengar suara orang.

Sian Li menengok dan melihat Hui Eng juga berada di kamar itu. Juga gadis ini dirantai kaki tangannya, dengan rantai panjang yang membuat ia mampu bergerak ke sana sini, mampu mempergunakan tangan kakinya, akan tetapi rantai itu tidak sampai pintu kamar tahanan yang beruji.

"Ahh, kiranya engkau pun sudah tertawan. Bagaimana dengan pang..." Sian Li teringat. Mereka berada di tangan pemberontak Thian-li-pang, sungguh berbahaya kalau mereka mengetahui bahwa Cia Sun adalah pangeran Mancu. "Di mana Sun-toako?"

"Entah, kami berpencar, bukan? Aku dikepung dan dikeroyok, lalu tertangkap."

"Tapi mengapa engkau melarang aku mematahkan rantai ini! Kurasa engkau pun akan mampu mematahkan rantai kaki tanganmu."

"Agaknya aku akan mampu mematahkan rantai ini, akan tetapi apa gunanya? Mereka jelas tidak ingin membunuh kita, dan rantai ini bagaimana pun juga masih memberi kebebasan bergerak kepada kita. Dengan mematahkannya, belum berarti kita bebas. Kamar ini kokoh kuat dan terjaga kuat, juga mereka dapat mempergunakan perangkap untuk menangkap kita kembali. Kalau sampai mereka menggantikan rantai ini dengan belenggu yang membuat kita tidak mampu bergerak leluasa, bukankah hal itu lebih menyiksa? Kita harus tenang dan sabar, tidak menuruti kemarahan."

Sian Li mengangguk membenarkan. "Mereka itu lihai, dan orang she Ouw itu agaknya miring otaknya. Dia itu gila, akan tetapi memiliki ilmu seperti iblis sendiri. Belum pernah selama hidupku bertemu dengan lawan setangguh itu yang memiliki ilmu seaneh itu."

"Aku... aku mengkhawatirkan pangeran..." kata Hui Eng lirih.

"Agaknya dia tidak seperti kita, tidak tertangkap. Mudah-mudah saja begitu karena kalau dia masih bebas, berarti kita masih mempunyai harapan akan dapat tertolong. Aku sekarang mengerti bahwa anggota Thian-li-pang yang kutangkap tadi sengaja dipasang sebagai umpan perangkap. Mereka itu amat lihai dan licik sekali. Sekarang aku sungguh mencemaskan keadaan Han-koko."

Mereka terdiam karena mendengar langkah kaki yang ringan menghampiri dari luar kamar tahanan. Muncullah Cu Kim Giok, gadis manis dengan mata indah, akan tetapi kini wajahnya agak muram dan matanya mengandung penyesalan.

"Hemmm, engkau sungguh tidak tahu malu masih berani muncul di depan kami!" Sian Li langsung menyambut dengan ucapan keras. "Ingin aku melihat wajah Paman Cu Kun Tek serta Bibi Pouw Li Sian yang gagah perkasa kalau melihat puterinya seperti ini, membantu orang-orang jahat!"

Cu Kim Giok memandang sedih. "Aihhh, tidak kusangka akan begini jadinya. Sungguh, aku bersumpah, Sian Li, aku bukan orang yang membela orang jahat. Semua ini hanya salah sangka dari pihakmu saja. Aku berani menanggung bahwa Ouw Seng Bu adalah orang yang gagah perkasa, seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Bahkan dia mau mengorbankan apa saja dengan perjuangan membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Salahkah aku kalau aku membantu perjuangan yang suci ini? Engkau terlalu berprasangka dan menganggap buruk. Tentang kematian Pendekar Tangan Sakti Yo Han, sungguh bukan kesalahan Ouw-toako. Aku sendiri menjadi saksinya. Yo Han yang berusaha membunuh Ouw-koko seperti yang telah dilakukannya kepada para pimpinan Thian-li-pang, dan Ouw-koko hanya membela diri. Jika Yo Han tidak tergelincir ke dalam sumur, dan tidak ditimbuni batu, tentu Ouw-koko yang tewas di tangannya. Percayalah, Ouw-koko adalah seorang yang baik, seorang pendekar yang..."

"Gila! Ya, dia seorang yang miring otaknya, Kim Giok. Tidak tahukah engkau akan hal itu atau pura-pura tidak tahu? Cu Kim Giok, katakan kepada iblis gila Ouw Seng Bu itu bahwa kalau benar Han-koko tewas di tangannya, aku Tan Sian Li akan mengerahkan seluruh keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir untuk membalas dendam! Aku tidak akan berhenti berusaha sampai aku dapat memenggal lehernya serta membawa kepalanya dan hatinya untuk sembahyang kepada Han-koko!"

Berkata demikian, karena sambil membayangkan kematian Yo Han, kedua mata Sian Li lantas menjadi basah dan suaranya gemetar, walau pun mengandung ancaman yang membuat Kim Giok merasa ngeri.

"Sian Li, engkau rela mengorankan apa pun untuk membela Yo Han, karena engkau menganggap dia benar dan mencintanya. Apakah aku tidak boleh membela orang yang kuanggap benar dan yang kucinta?"

Dengan muka penuh kesedihan Kim Giok meninggalkan tempat itu dengan cepat. Dua orang gadis perkasa itu masih sempat mendengar isak tangis yang dibawa lari gadis dari Lembah Naga Siluman itu.

"Sungguh aneh! Ia mencinta Ouw Seng Bu...!" kata Sian Li lirih.

"Ihhh, kenapa hal itu kau anggap aneh, Sian Li?" tanya Hui Eng, tersenyum.

"Akan tetapi Ouw Seng Bu itu orang gila! Iblis gila!"

Hui Eng tertawa geli dan Sian Li memandang heran. Memang nampak aneh dan lucu melihat gadis itu tertawa-tawa geli, padahal mereka kini berada dalam tahanan musuh dengan kaki tangan dipasangi rantai! Sungguh-sungguh merupakan keadaan yang patut mendatangkan tangis, bukan tawa geli! Ini saja sudah membuktikan betapa tabah hati Sim Hui Eng menghadapi keadaan yang gawat. Dan hal ini membesarkan pula hati Sian Li. Mempunyai seorang kawan sependeritaan setabah ini memang membesarkan hati.

"Hemmm, apa yang perlu ditertawakan? Apanya yang lucu?" tanya Sian Li.

"Engkau yang lucu," kata Hui Eng. "Mengapa engkau seperti orang kebakaran jenggot melihat gadis itu mencintai Ouw Seng Bu?"

"Hushhh! Mana aku berjenggot?" cela Sian Li, akan tetapi kini ia pun tertawa geli.

"Sian Li, cinta membuat orang yang kita cinta nampak selalu benar selalu baik, selalu menarik, sebaliknya benci membuat orang yang kita benci nampak selalu salah, selalu buruk, selalu menyebalkan. Buktinya, engkau ditunangkan dengan pangeran Cia Sun, tapi engkau malah memilih Yo Han. Dan pangeran malah memilih aku, padahal saat itu aku masih puteri ketua Pao-beng-pai yang memberontak kepada kerajaan keluarganya. Dan aku pun memilih dia, padahal aku selalu tak suka kepada penjajah Mancu, dan aku yakin, Yo Han juga tak akan suka memilih lain gadis kecuali engkau. Nah, apa anehnya kalau sekarang gadis itu mencinta Ouw Seng Bu dan menganggap dia selalu baik dan benar?"

Sian Li termenung. Kebenaran ucapan Hui Eng meresap dalam hatinya. Memang apa yang dikatakan Hui Eng patut direnungkan.

Kita semua selalu mengambil kesimpulan dan mempunyai pendapat mengenai sesuatu berdasarkan penilaian kita, dan kita menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk. Kita lupa bahwa sesuatu itu tiada yang abadi, tak ada yang tetap dan selalu akan berubah-ubah.

Kita tidak mungkin dapat menentukan seseorang itu baik atau buruk, karena si orang yang kita nilai itu sudah pasti akan mengalami perubahan, dan perubahan ini akan mendatangkan kesan berbeda-beda bagi kita, ada kalanya kita anggap baik dan ada kalanya pula kita anggap buruk. Orang yang hari ini kita anggap sebaik-baiknya orang, mungkin pada suatu saat kelak akan kita anggap seburuk-buruknya orang, demikian sebaliknya.

Mengapa demikian? Pertama, karena tidak ada apa atau siapa pun di dunia ini yang tidak mengalami perubahan. Dan kedua, karena pendapat tentang sesuatu berdasarkan penilaian, dan setiap penilaian, diakui atau pun tidak, disadari mau pun tidak, selalu berdasarkan kepentingan si-aku, si penilai.

Penilaian muncul dengan pertimbangan untung rugi, disenangkan atau tak disenangkan. Jika seseorang atau sesuatu benda itu menguntungkan dan menyenangkan, bagaimana mungkin kita menilainya jelek dan jahat? Sebaliknya, kalau seseorang atau sesuatu itu merugikan dan tidak menyenangkan, sudah pasti kita menilainya tidak baik, tak mungkin kita menilainya bagus atau baik.

Biar pun orang sedunia mengatakan bahwa seorang yang baik dan patut dipuji, akan tetapi kalau memusuhi kita, merugikan dan tidak menyenangkan kita, mungkinkah kita menilainya sebagai seorang yang baik dan patut dipuji? Sebaliknya, andai kata orang sedunia mencaci sebagai seorang yang jahat dan patut dikutuk, akan tetapi kalau baik terhadap kita, menguntungkan dan menyenangkan kita, dapatkah kita mengutuknya dan menilainya sebagai seorang yang jahat?

Bahkan seorang kekasih yang dicinta setengah mati pun, karena dia menyenangkan kita, kita puja karena menguntungkan perasaan kita. Seandainya pada suatu hari dia itu melakukan sesuatu yang merugikan kita dan tidak menyenangkan kita, misalnya menipu kita, menyeleweng dengan orang lain, tak mau melayani kita sebagai kekasih, dapatkah kita tetap menilainya baik dan mencintanya? Biasanya, cinta itu berubah menjadi benci!

Mengapa? Sebab benci itu merupakan akibat penilaian yang buruk terhadap seseorang! Kalau menyenangkan, dinilai baik dan dicinta, kalau sekali waktu tidak menyenangkan, dinilai buruk dan dibenci!

Hujan tinggal tetap hujan, air yang jatuh dari atas. Akan tetapi jika hujan itu merupakan sesuatu yang merugikan kita seperti banjir, atau menghalangi kesenangan, kita akan menganggapnya buruk dan mengomel. Namun kalau hujan itu datang dan kita anggap menyenangkan dan menguntungkan, seperti para petani yang berharap datangnya air untuk sawah ladang mereka, maka kita akan menilainya baik dan hati kita senang, mulut tidak lagi mengomel dan cemberut, melainkan tertawa-tawa dan bersyukur!

Demikianlah panggung sandiwara dalam kehidupan ini, lebih lucu dan konyol dari pada panggung para pelawak. Kita dipermainkan nafsu yang sudah menyusup dalam diri kita lahir batin, dan karena nafsu selalu mengejar kesenangan, maka timbullah suka duka dan penilaian baik buruk, persahabatan permusuhan dan segala macam kebalikan-kebalikan yang mendatangkan konflik lahir batin pula.

Dapatkah kita hidup tanpa menilai dan menerima kenyataan apa adanya? Apa pun yang terjadi dan menimpa kehidupan kita merupakan suatu kenyataan hidup yang patut kita hadapi dengan segala kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan!

Tuhan Maha Pencipta. Seluruh isi alam maya pada adalah milik Sang Maha Pencipta, jadi Dialah yang menentukan segala. Kewajiban kita hanyalah berusaha dan berikhtiar untuk mempertahankan hidup ini yang berarti membantu kodrat Tuhan yang sudah menghidupkan kita, dan mengisi kehidupan ini supaya hidup kita bermanfaat bagi diri sendiri, bagi keluarga dan bagi lingkungan. Bermanfaat berarti tidak merusak.

Dengan pasrah, dengan menyerahkan kepada Tuhan yang menciptakan kita, menyerah penuh keiklasan dan ketawakalan, barulah mungkin bagi kita untuk menerima segala yang terjadi dengan penuh kesadaran, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu, pada akhirnya ditentukan oleh kekuasaan-Nya

.

"Aku mengerti sekarang, enci Eng, dan aku merasa kasihan kepada Kim Giok. Aku hampir yakin bahwa dia sudah terbujuk, bahwa Ouw Seng Bu itu seorang yang tidak waras, orang gila yang teramat cerdik dan licik, juga memiliki ilmu silat yang aneh dan berbahaya sekali."

"Kita lihat perkembangannya, adik Sian Li. Kita harus bersabar dan melihat apa yang akan mereka lakukan terhadap kita. Aku yakin mereka akan menghubungi kita, mungkin melalui Cu Kim Giok tadi. Tidak perlu kita bergerak dengan sia-sia, sebaiknya menanti datangnya kesempatan baru kita mematahkan rantai ini dan mencoba untuk lolos."

Sian Li mengangguk, diam-diam dia merasa lega dan girang karena mempunyai teman seperti ini boleh diandalkan.....

********************

Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim tiba di kaki Bukit Naga. Terdapat sebuah kuil tua yang kosong di kaki bukit sebelah itu. Dan karena hari menjelang senja, mereka mengambil keputusan untuk melewatkan malam di kuil tua itu. Tadi mereka telah membeli bekal makanan dari dusun terakhir.

Di luar kuil tua yang tidak digunakan lagi itu, mereka berhenti dan terkejut melihat ada seorang tosu duduk bersila di bagian depan kuil. Ciang Hun yang telah berpengalaman tidak berani lancang dan dia menghampiri tosu itu. Bi Kim mengikutinya dari belakang, bersiap menghadapi segala kemungkinan karena tahu bahwa mereka telah berada di daerah Bukit Naga.

"Harap Totiang memaafkan kami berdua. Karena kemalaman di perjalanan kami ingin melewatkan malam di kuil tua ini, kalau saja tidak mengganggu Totiang."

"Siancai, silakan, Kongcu dan Siocia,” kata pendeta itu dengan sikap acuh.

Pada saat kedua orang muda itu hendak melangkah masuk, dari dalam keluar empat orang tosu lainnya. Tentu saja hal ini membuat Ciang Hun sangat terkejut.

"Ahhh, maafkan kami, Cuwi Totiang. Kiranya kuil ini sekarang menjadi tempat tinggal Totiang sekalian?"

Tosu tertua yang tadi duduk bersila di luar berkata lembut, "Sama sekali bukan, Kongcu. Kami berlima juga sedang berteduh dan melewatkan malam di sini. Kuil ini kosong dan tidak dipergunakan lagi."

"Ahh, kalau begitu kebetulan dan terima kasih Totiang."

Ciang Hun dan Bi Kim lalu membersihkan lantai di sudut ruangan depan karena ternyata hanya ruangan depan itu saja yang masih agak utuh dan bersih, sedangkan ruangan tengah dan belakang kuil itu sudah rusak dan kotor.

Lima orang tosu itu duduk bersila, dan dua orang muda di sudut itu lalu menyalakan lilin yang tadi mereka beli sehingga ruangan itu tidak menjadi gelap lagi. Malam tiba dan hawa udara amat dinginnya. Dua orang di antara para tosu itu lalu membuat api unggun dari kayu-kayu yang agaknya sudah mereka cari dan kumpulkan siang tadi. Keadaan menjadi semakin terang oleh cahaya api unggun dan timbul kehangatan di situ.

Bi Kim mengeluarkan buntalan makanan yang mereka beli tadi, dan dengan ramah dan hormat Ciang Hun dan Bi Kim menawarkan makanan kepada lima orang tosu itu.

"Cuwi Totiang, mari silakan Cuwi Totiang makan malam bersama kami. Kita makan seadanya, Totiang," kata Bi Kim.

"Silakan, Totiang, kami akan gembira sekali untuk menjamu Cuwi dengan makanan kami yang sederhana," kata pula Ciang Hun.

"Siancai, Ji-wi adalah dua orang muda yang ramah dan baik. Terima kasih, Kongcu dan Siocia, kami tadi sudah makan dan sekarang merasa kenyang. Silakan Ji-wi makan, harap jangan sungkan-sungkan," kata tosu tertua.

Karena maklum bahwa mereka berdua menghadapi perjalanan yang mungkin sukar dan membutuhkan banyak pengerahan tenaga, maka kedua orang muda itu tidak merasa sungkan-sungkan lagi dan mulai makan bak-pao dan dendeng yang tadi mereka beli sebagai bekal. Setelah mereka selesai makan, membersihkan mulut dan tangan dengan air yang mereka bawa, mereka diundang duduk dekat api unggun oleh para tosu.

Dengan gembira dua orang muda itu duduk mengelilingi api unggun bersama lima orang pendeta itu.

"Kalau pinto (saya) tidak salah lihat, Ji-wi bukanlah dua orang muda biasa, melainkan dua orang muda yang memiliki kepandaian silat. Bolehkah pinto mengetahui nama Ji-wi dan apa keperluan Ji-wi mendatangi daerah yang berbahaya ini?"

Karena yakin bahwa lima orang pendeta ini adalah orang-orang beribadat yang baik, maka Ciang Hun tidak merasa perlu untuk menyembunyikan keadaan mereka. "Totiang, saya bernama Gak Ciang Hun dan nona ini adalah Gan Bi Kim. Kami berdua melakukan perjalanan ke sini untuk mencari seorang sahabat kami yang jejaknya menuju ke bukit ini."

Tiba-tiba Gan Bi Kim berkata, "Mungkin sekali Cuwi Totiang ada yang melihat sahabat kami itu lewat di sini!"

"Aihh, benar juga!" seru Ciang Hun girang. "Apakah Cuwi Totiang melihat sahabat kami itu lewat di sini? Dia seorang gadis muda..."

"Pakaiannya serba merah?" potong seorang tosu.

"Benar, benar!" Ciang Hun berseru girang.

"Siancai, yang kalian cari itu bukankah Si Bangau Merah, nona Tan Sian Li?"

Dua orang muda itu hampir berteriak karena girangnya.

"Benar sekali, Totiang!" kata Gak Ciang Hun. "Apakah Totiang melihatnya? Di mana?" tanyanya dengan penuh gairah.

"Nanti dulu, kalau Ji-wi mengenal Si Bangau Merah, tentulah Ji-wi bukan orang-orang sembarangan. Kongcu she Gak? Hemmm...? Pinto sudah pernah mendengar tentang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san), apakah hubungan Kongcu dengan para pendekar she Gak itu?"

"Saya adalah puteranya..."

"Ahh! Sungguh kami merasa beruntung bertemu dengan putera Beng-san Siang-eng!"

"Kalau boleh kami mengetahui, siapakah Cuwi Totiang?" Ciang Hun bertanya, sekarang sambil memandang penuh perhatian.

Tosu tertua itu menghela napas panjang. "Pinto disebut Thian Tocu, seorang murid dari Bu-tong-pai dan empat orang ini adalah para sute pinto. Baru kemarin pinto berlima bertemu dengan Si Bangau Merah, bahkan dialah yang mengobati pinto dari pukulan beracun. Karena kekuatan pinto masih belum pulih, maka kami berhenti di sini untuk memulihkan tenaga."

"Lalu, ke manakah perginya adik Sian Li?" tanya Ciang Hun.

Tosu itu menghela napas panjang. "Kami khawatir sekali. Ia pergi mendaki Bukit Naga dan hendak berkunjung ke Thian-li-pang, padahal keadaan Thian-li-pang telah berubah sama sekali. Perkumpulan itu telah menyeleweng dan dipimpin oleh seorang ketua baru yang seperti Iblis. Kami sungguh mengkhawatirkan keselamatan pendekar wanita itu."

"Totiang, apakah yang sudah terjadi?" Gan Bi Kim bertanya, ikut pula merasa khawatir mendengar ucapan tosu itu.

Thian Tocu lalu menceritakan semua pengalaman mereka berlima. Mereka sengaja mendatangi Thian-li-pang karena mendengar berita tentang sepak terjang Thian-li-pang yang menyeleweng, yang menundukkan para tokoh-tokoh kang-ouw dengan kekerasan dan melakukan pemerasan.

"Bahkan yang lebih mengejutkan lagi adalah berita mengenai terbunuhnya Pendekar Tangan Sakti Yo Han oleh ketua baru Thian-li-pang..."

"Ahhh...! Benarkah itu, Totiang?" Ciang Hun berseru kaget.

"Kami pun tidak percaya. Ketika kami tanyakan hal itu kepada Ouw-pangcu, ketua baru Thian-li-pang, dia bahkan mengatakan bahwa Yo Han telah membunuhi para pimpinan Thian-li-pang, kemudian Yo Han juga menyerang dia. Dalam perlawanan yang dibantu anak buahnya, Yo Han akhirnya tewas. Demikian keterangan Ouw-pangcu. Kami tidak percaya sehingga terjadi perkelahian, akan tetapi ketua baru itu seperti iblis, lihai bukan main dan pinto terkena pukulan beracun darinya. Kami merasa kalah dan turun bukit, lalu bertemu di jalan dengan Si Bangau Merah yang mengobati pinto. Kami sungguh mengkhawatirkan Si Bangau Merah yang hendak melakukan penyelidikan ke tempat berbahaya itu."

"Kalau begitu, adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus cepat ke sana, Kim-moi!" kata Ciang Hun, khawatir sekali.

"Gak-taihiap, sebaiknya bila kita berhati-hati menghadapi Thian-li-pang. Selain ketuanya sangat lihai, juga kini Thian-li-pang bergabung dengan tokoh-tokoh sesat yang berilmu tinggi seperti Siangkoan Kok bekas ketua Pao-beng-pai, juga para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai berada di sana. Sebaiknya kalau Ji-wi bersabar sampai lewat malam ini dan besok pagi-pagi barulah kita mendaki ke sana."

"Kita?" Ciang Hun bertanya.

"Kongcu, melihat Ji-wi yang muda-muda tetapi begitu bersemangat untuk membantu Si Bangau Merah, menentang bahaya dengan gagah berani, kami yang tua-tua merasa malu kalau hanya tinggal diam saja. Kami akan menemani Ji-wi membantu pendekar wanita Bangau Merah, walau pun kami tahu bahwa kekuatan kita ini tidak ada artinya dibandingkan kekuatan mereka yang mempunyai ratusan orang anak buah."

"Kita tidak bermaksud menyerang Thian-li-pang, Totiang, tapi hanya hendak menyelidiki kalau-kalau adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus membantunya."

"Kami siap membantu, Kongcu."

Demikianlah, malam itu mereka lewatkan dengan beristirahat dan menghimpun tenaga karena siapa tahu, besok mereka akan menghadapi musuh dan bahaya yang harus ditentang.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Hun, Bi Kim dan lima orang tosu dari Bu-tong-pai telah mendaki Bukit Naga. Mereka bergerak cepat akan tetapi dengan hati-hati sekali dan tosu-tosu itu yang memimpin pendakian karena mereka lebih mengenal daerah itu dari pada kedua orang muda yang baru pertama kali itu berkunjung ke situ.

Akan tetapi gerak-gerik tujuh orang ini tidak terlepas dari pengintaian para anak buah Thian-li-pang. Ouw Seng Bu maklum bahwa sebelum pemuda yang datang bersama Sian Li dan Hui Eng itu tertangkap, tentu Thian-li-pang akan terancam bahaya.

Apa lagi ketika dia mendengar dari Siangkoan Kok bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran Mancu! Maka dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan tersembunyi, siang malam harus melakukan pengamatan terhadap seluruh permukaan bukit itu. Karena itu begitu tujuh orang itu mendaki bukit, para anak buah Thian-li-pang telah mengetahuinya dan diam-diam setiap gerak-gerik mereka telah diamati dan diikuti.

Sementara itu, di dalam rumah tahanan Cu Kim Giok kembali datang mengunjungi dua orang tawanan, Hui Eng dan Sian Li. Kini Sian Li sudah dapat menekan kemarahan hatinya dan melihat munculnya Kim Giok, ia bertanya, suaranya tenang saja. "Kim Giok, apa lagi yang hendak kau katakan kepada kami?"

"Sian Li, engkau melihat sendiri betapa Thian-li-pang bersikap baik kepada kalian yang bahkan tidak dianggap sebagai musuh, melainkan sebagai tamu. Aku berharap dengan sepenuh hatiku supaya kalian berdua juga bisa melihat kenyataan bahwa Thian-li-pang sesungguhnya mengharapkan persahabatan dan kerja sama dengan kalian berdua, bukan permusuhan."

"Kim Giok, sekarang aku mengerti bahwa engkau saling mencinta dengan Ouw Seng Bu, maka engkau membantu dan membelanya. Aku tidak akan mempersoalkan baik buruknya Ouw-pangcu itu, tetapi kalau memang benar Thian-li-pang hendak berbaik dan bersahabat dengan kami, mengapa kami dijebak, dikeroyok dan ditahan di dalam kurungan ini? Kenapa kami tidak dibebaskan saja?”

"Sian Li, percayalah, aku sudah minta-minta kepada pangcu supaya kalian dibebaskan, akan tetapi dia mengajukan alasan kuat sehingga aku sendiri pun tidak berdaya karena alasannya memang tepat. Ia mengatakan bahwa di dalam perjuangan, kita harus dapat membedakan mana kawan dan mana lawan. Sekarang ini, kalian memperlihatkan sikap sebagai lawan, dan kalau kalian dibebaskan, sungguh amat berbahaya bagi perjuangan Thian-li-pang. Kalian lihai dan dapat mendatangkan bencana kepada kami, kecuali tentu saja kalau kalian suka bekerja sama dengan kami dan sama-sama berjuang menentang pemerintah penjajah Mancu. Karena itu, aku mohon kepada kalian, jangan memusuhi Thian-li-pang, jangan memusuhi Ouw-pangcu, jangan memusuhi kami. Sungguh aku bersumpah, kami tidak mempunyai niat buruk terhadap kalian, hanya ingin mengajak kalian bekerja sama."

"Cu Kim Giok, tidak perlu engkau membujuk kami, tentu engkau sudah tahu bahwa kami tak akan sudi untuk bekerja sama dengan golongan sesat. Sebetulnya, melihat engkau membantu Ouw-pangcu, hatiku tidak rela, dan aku tidak ingin lagi berbicara denganmu. Akan tetapi mengingat ayah ibumu, orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, aku minta engkau berterus terang mengenai satu hal. Benarkah Yo Han telah tewas di sumur tua itu?"

Kim Giok menghela napas panjang. Jawaban itu memang sudah diduganya. Akan tetapi bagaimana pun juga, apa pun yang terjadi, ia akan tetap membela Seng Bu karena ia sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu.

"Sian Li, dengan menyesal sekali terpaksa kukatakan bahwa memang benar Yo Han telah tewas di dalam sumur," katanya lirih.

Mendengar keterangan ini, Sian Li menahan jeritnya. Mukanya menjadi pucat dan dia hanya berdiri termangu-mangu bagaikan patung. Kedua tangan yang dipasangi rantai pada pergelangannya itu menggenggam.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Tangan Sakti