SI TANGAN SAKTI : JILID-15


"Ha-ha-ha, engkau hebat, Si Bangau Merah! Tidak percuma engkau mendapat julukan itu karena engkau memang cerdik, lihai dan bermata tajam. Aku memang Siangkoan Kok!"

"Bagus! Kiranya benar engkaulah ketua Pao-beng-pai! Dan gadis siluman yang berani menantang keluarga kami itu adalah puterimu. Suruh dia keluar untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya!" Sian Li membentak.

"Sian-moi, kiranya tidak perlu bicara lagi dengan iblis seperti ini!" kata Ciang Hun yang sudah mencabut pedangnya.

"Benar, jahanam ini iblis yang kejam dan jahat yang harus dibasmi!" kata pula Gan Bi Kim yang sudah siap dengan sepasang pedangnya pula.

"Ha-ha-ha, kiranya kalian semua hanya pendekar-pendekar muda yang menjadi antek penjajah Mancu!" bekas ketua Pao-beng-pai itu berkata dengan nada mengejek sambil menertawakan mereka.

Wajah Sian Li berubah merah. "Jahanam busuk! Kalau kami menentangmu, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Bagi kami, engkau bukanlah pejuang, tetapi penjahat busuk yang suka mengganggu rakyat. Kini bersiaplah untuk mampus!"

Sian Li sudah menerjang dengan senjata sulingnya. Ciang Hun dan Bi Kim juga cepat menggerakkan senjata mereka, mengeroyok.

Siangkoan Kok adalah seorang datuk yang lihai sekali. Akan tetapi, kini dia menghadapi pengeroyokan tiga orang muda yang tangguh, terutama sekali Si Bangau Merah dan Gak Ciang Hun. Dua orang muda ini adalah keturunan pendekar-pendekar lihai, maka dia tak berani memandang rendah dan kakek itu sudah mencabut pedangnya, memutar senjata itu menyambut serangan para pengeroyoknya.

Apa bila ketiga orang muda itu menyerang dengan pengerahan seluruh kepandaian dan tenaga mereka, menyerang dengan semangat besar, sebaliknya Siangkoan Kok hanya melindungi diri dengan gulungan sinar pedang. Dia tidak bersemangat untuk berkelahi. Apa lagi mengingat bahwa dua orang di antara para pengeroyoknya adalah keturunan keluarga pendekar yang tangguh.

Dia tidak ingin menambah lagi jumlah musuhnya di luar pasukan pemerintah yang telah membasmi perkumpulannya. Bahkan mungkin dia ingin bekerja sama dengan kelompok lain untuk membalas dendam kepada pemerintah penjajah Mancu, seperti yang sudah ia janjikan kepada ketua Thian-li-pang di Bukit Setan. Selain itu, dia juga merasa gentar kalau-kalau Pendekar Bangau Putih, ayah Si Bangau Merah ini, dan juga Pendekar Tangan Sakti Yo Han akan muncul.

Maka, setelah memutar pedangnya dengan dahsyat, membuat tiga orang pengeroyok itu dengan hati-hati mundur menjaga jarak, mendadak saja Siangkoan Kok meloncat ke kiri. Dan sebelum tiga orang muda yang mengeroyoknya sempat mencegah, dia sudah mencengkeram leher baju Lurah So serta menempelkan pedangnya di leher lurah yang menjadi pucat ketakutan itu.

"Kalau ada yang menyerangku, terlebih dahulu aku akan menyembelih lurah ini!" bentak Siangkoan Kok sambil mendorong tubuh lurah itu di depannya dan terus mendorongnya keluar rumah.

Ciang Hun, Sian Li, dan Bi Kim tentu saja tidak berani menyerang lagi. Bagaimana pun juga, mereka tidak mau mengorbankan nyawa lurah yang tak berdosa itu. Mereka hanya mampu memandang ketika lurah itu didorong keluar oleh Siangkoan Kok. Sian Li hanya dapat mengancam ketua Pao-beng-pai itu.

"Siangkoan Kok, kalau engkau membunuhnya, aku bersumpah untuk mengejarmu dan tidak akan berhenti sampai aku dapat membunuhmu!"

Ketua Pao-beng-pai itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, aku sedang malas bertanding, Nona manis, dan kini aku menangkap dia hanya untuk mencegah kalian mendesakku, bukan untuk membunuhnya. Lurah ini telah begitu baik untuk melayaniku makan minum, tentu aku tidak akan membunuhnya."

Setelah tiba di luar rumah, Siangkoan Kok berlompatan jauh sambil tetap menggandeng Lurah So, dan setelah tiba di tepi sebuah hutan dia baru melepaskan lurah itu kemudian menghilang ke dalam hutan. Sian Li dan yang lain juga tidak mau mengejar, mengejar seorang seperti Siangkoan Kok yang melarikan diri ke dalam hutan amatlah berbahaya.

Melihat tiga orang muda yang berhasil mengusir ketua Pao-beng-pai itu, Lurah So yang dilepaskan oleh kakek itu tanpa dilukai sama sekali, segera menghampiri dan memberi hormat, menghaturkan terima kasih kepada mereka dan memohon supaya malam itu mereka suka bermalam di rumahnya.

"Pertama, supaya kami sekeluarga sempat menghaturkan terima kasih kepada Sam-wi (Kalian Bertiga), dan kedua, supaya hati kami sekeluarga merasa aman dan tenteram. Kalau Sam-wi pergi sekarang, malam ini pasti kami tidak dapat tidur dan ketakutan membayangkan iblis itu kembali datang ke rumah kami." Demikian antara lain Lurah So membujuk mereka. Karena alasan itu masuk akal juga, akhirnya Ciang Hun, Sian Li dan Bi Kim menerima undangan itu.

Seluruh penghuni dusun itu bersuka ria karena lurah mereka telah bebas dari gangguan ketua Pao-beng-pai yang mereka takuti. Para penghuni itu ramai memuji-muji pemuda dan dua orang gadis perkasa itu. Keluarga Lurah So juga menghaturkan terima kasih dan mengadakan pesta kecil untuk menyambut mereka.

Sehabis makan minum, akhirnya tiga orang muda-mudi itu mendapat kesempatan untuk bicara bertiga saja di ruangan belakang rumah Lurah So. Tiada anggota keluarga yang berani mengganggu mereka bertiga yang sedang bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Gan Bi Kim berkenalan dengan Gak Ciang Hun dan Tan Sian Li.

"Aku berterima kasih sekali kepada Taihiap (Pendekar Besar) dan Li-hiap (Pendekar Wanita)," kata Gan Bi Kim. "Aku sungguh tidak tahu diri, dengan ilmu silatku yang masih rendah aku berani menentang ketua Pao-beng-pai yang lihai itu. Kalau Ji-wi (Anda Berdua) tidak datang, entah bagaimana jadinya dengan diriku," kata Bi Kim.

"Aihh, Nona, harap jangan merendahkan diri. Ilmu pedangmu sudah cukup hebat, hanya ilmu kepandaian ketua Pao-beng-pai itu memang luar biasa. Hanya setelah kita bertiga maju bersama, barulah kita dapat mengusirnya," kata Ciang Hun.

"Benar, Enci, di antara kita tidak perlu sungkan, kita adalah dari golongan yang sama, yaitu menentang perbuatan jahat. Siapakah engkau, Enci, dan bagaimana engkau dapat tiba di tempat ini dan berkelahi dengan ketua Pao-beng-pai itu?"

Gan Bi Kim menghela napas panjang. "Aku hanya orang biasa saja, adik yang gagah, tidak seperti engkau yang berjulukan Si Bangau Merah dan kakak ini yang keturunan orang-orang sakti. Ketua Pao-beng-pai itu sampai mengenal kalian dan merasa gentar. Aku bernama Gan Bi Kim, berasal dari kota raja dan aku sedang melakukan perjalanan mengembara untuk meluaskan pengalaman setelah aku mempelajari sedikit ilmu silat dari para guru di kota raja sebagai bekal untuk membela diri. Pada saat tiba di sini, aku mendengar akan kejahatan kakek tadi yang menguasai rumah keluarga Lurah So, maka aku datang untuk menegur dan mengusirnya, tidak tahu bahwa kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai yang sangat lihai. Nah, sekarang aku mengharapkan keterangan tentang kalian, karena aku hanya mendengar julukanmu, tidak tahu siapa namamu dan nama kakak ini."

"Namaku Tan Sian Li, enci Kim," kata Sian Li yang segera merasa akrab dengan gadis kota raja yang dari sikapnya saja telah dapat diduga bahwa ia seorang gadis terpelajar, bahkan ada sikap agung dan anggun seperti gadis pingitan atau gadis bangsawan.

"Dan namaku Gak Ciang Hun, nona Gan," Ciang Hun memperkenalkan diri.

Dia bagaikan terpesona memandang gadis itu. Ada sesuatu yang amat menarik hatinya pada gadis itu, entah sinar matanya yang lembut, atau pun mulutnya yang memiliki bibir yang mempesonakan.

"Aihh, Gan-toako, kita orang segolongan dan aku sudah merasa akrab dengan enci Kim. Kiranya tidak perlu bersungkan-sungkan menyebut ia nona segala!" kata Sian Li yang wataknya terbuka dan jujur.

Bi Kim tersenyum sambil memandang kepada pemuda itu. "Li-moi tadi berkata benar, Gak-toako. Aku pun merasa seolah-olah aku sudah mengenal kalian selama bertahun-tahun."

Ciang Hun tersenyum girang. "Baiklah, Kim-moi (adik Kim)."

"Enci Kim, engkau seorang gadis kota raja, lembut dan pandai, kenapa bersusah payah bertualang seperti gadis kang-ouw? Aku sendiri tentu lain lagi, karena memang aku dari keluarga petualang, aku seorang gadis kang-ouw yang sudah biasa hidup berkelana. Tapi engkau..."

Bi Kim tersenyum dan memegang lengan Sian Li. "Aihh, janganlah berkata seperti itu, Li-moi. Engkau lebih dalam segala-galanya dibandingkan aku, mengapa mesti memuji-muji aku? Engkau lebih lihai, engkau lebih cantik, lebih muda! Aku mendengar dari para guruku di kota raja tentang dunia persilatan yang luas, mendengar tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, bahkan aku juga pernah mendengar nama besar Si Bangau Putih dan puterinya, Si Bangau Merah. Sebab itu, aku tertarik dan ingin meluaskan pengalamanku dengan merantau."

Tentu saja Bi Kim tidak mau menceritakan bahwa kepergiannya adalah untuk mencari Yo Han, pemuda idamannya yang sudah ditunangkan dengannya oleh neneknya. "Dan engkau sendiri, dari mana hendak ke mana, Li-moi? Dan juga engkau, Gak-toako?"

"Panjang ceritanya," kata Sian Li. "Beberapa pekan yang lalu, diadakan pertemuan dari tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga Siluman. Aku pun hadir dan dalam pertemuan itu, muncul puteri ketua Pao-beng-pai yang menantang kami. Dia dapat dikalahkan dan kemudian pergi. Aku sendiri menjadi sangat penasaran dan pergi hendak menyelidiki Pao-beng-pai..."

"Dan karena aku mengkhawatirkan keselamatan siauw-moi Tan Sian Li, maka aku lalu mengejarnya dan berhasil, maka kami melakukan perjalanan bersama," sambung Ciang Hun.

"Tapi aku pernah mendengar berita bahwa Pao-beng-pai sudah dibasmi oleh pasukan pemerintah," kata Bi Kim.

"Benar, kami terlambat dan kami tidak dapat bertemu dengan gadis iblis itu, tapi malah bertemu dengan ayahnya di sini."

"Jadi kalian berdua saja berani datang untuk mencari puteri ketua Pao-beng-pai? Itu berbahaya sekali! Baru ketuanya saja tadi sudah selihai itu. Apa lagi kalau perkumpulan itu belum terbasmi dan terdapat banyak anak buahnya," kata Gan Bi Kim kagum akan keberanian dua orang itu.

"Aku bukan hanya hendak menyelidiki Pao-beng-pai, enci Kim. Sebetulnya, penyelidikan terhadap Pao-beng-pai hanya sambil lalu saja, yang terutama sekali kepergianku adalah untuk mencari Han-koko..." Sian Li berhenti sebentar sambil memandang kepada Gak Ciang Hun yang nampak tenang saja karena pemuda ini sudah mendengar pengakuan Si Bangau Merah.

"Han-koko? Siapa itu Han-koko?" tanya Bi Kim, tersenyum.

Sian Li baru ingat bahwa Bi Kim sama sekali tak mengenal kekasihnya itu, dan sebagai seorang gadis yang tidak merasa perlu untuk merahasiakan hubungannya dengan Yo Han terhadap seorang sahabat yang dipercayanya, dia pun tertawa.

"Aihh, aku sampai lupa bahwa engkau belum mengenal Han-ko, enci Kim. Dia berjuluk Sin-ciang Taihiap (Pendekar Tangan Sakti) bernama Yo Han... ehhh, engkau kelihatan terkejut, apakah engkau sudah mengenalnya, Enci?"

"Tentu saja aku terkejut," Bi Kim tersenyum, menahan debaran jantungnya, "Siapa yang tidak pernah mendengar akan nama besar Sin-ciang Taihiap? Dan engkau menyebut dia Han-koko? Agaknya engkau mempunyai hubungan yang erat dengan dia. Masih ada hubungan keluargakah, Li-moi?"

Sian Li tersenyum dan tiba-tiba saja kedua pipinya berubah menjadi kemerahan. Sambil menundukkan mukanya dan dengan tersipu ia berkata, "Boleh dibilang begitulah karena dia... dan aku... kami saling mencinta dan mengharapkan kelak menjadi suami isteri."

Karena mukanya ditundukkan ketika mengatakan itu, Sian Li tidak melihat betapa mata Bi Kim tiba-tiba terbelalak, mukanya pucat dan napasnya terengah sejenak. Bahkan dia kemudian menunduk dan mengusapkan tangannya ke arah kedua matanya untuk cepat mengusir dua titik air matanya.

Akan tetapi Ciang Hun yang semenjak tadi mengamatinya, dapat melihat perubahan ini. Diam-diam dia pun merasa amat terkejut dan heran. Hatinya lalu menduga-duga.

Ketika Sian Li kembali mengangkat muka memandang kepada sahabat barunya itu, Bi Kim telah dapat menguasai perasaan hatinya. Baru saja ia mengalami guncangan batin yang sangat hebat. Siapa orangnya yang tidak merasa seperti ditikam jantungnya ketika mendengar pengakuan seorang gadis yang dikaguminya bahwa gadis itu ternyata saling mencinta dengan laki-laki yang selama ini dicari dan dirindukannya karena laki-laki itu adalah tunangannya!

Menurut gejolak hatinya, ingin sekali dia marah-marah kepada Sian Li. Tetapi dia lalu mengingat-ingat kembali, membayangkan sikap Yo Han terhadap dirinya. Pemuda yang ditunangkan dengannya oleh neneknya itu belum pernah menyatakan cinta kepadanya, bahkan minta waktu untuk dapat memberi jawaban dan mengambil keputusan tentang niat neneknya menjodohkan mereka.

"Kau kenapakah, enci Kim? Engkau kelihatan termenung..." kata Sian Li.

Bi Kim mengangkat muka memandang kepadanya dan tersenyum manis! Kemudian dia menggelengkan kepalanya.

"Tidak apa-apa, adik manis. Aku hanya merasa terharu mendengar bahwa pendekar wanita Bangau Merah saling mencinta dengan Pendekar Tangan Sakti. Li-moi, melihat usiamu yang masih amat muda, tentu belum lama engkau berkenalan dengan Pendekar Tangan Sakti."

Sian Li memandang Bi Kim dengan lucu dan tertawa terkekeh. "Hi-hi-hik, engkau keliru sama sekali, enci Kim. Usiaku memang baru delapan belas tahun, akan tetapi aku telah berkenalan dan akrab dengan Han-ko sejak aku berusia empat tahun!"

Bi Kim terbelalak, memandang kepada Gak Ciang Hun, lalu menatap lagi wajah Sian Li. "Aku... aku tidak mengerti..." katanya bingung.

Sian Li tersenyum dan memegang lengan Bi Kim. "Engkau tidak perlu heran, enci Kim. Ketahuilah, ketika aku berusia empat tahun, Han-ko ikut orang tuaku, bahkan menjadi murid ayah dan ibu. Kemudian kami berpisah dan baru belasan tahun kemudian kami kembali saling bertemu dan langsung kami saling jatuh cinta kembali, maksudku... sejak kanak-kanak pun kami sudah saling mencinta, walau pun sifat cinta itu berubah..."

Kembali sepasang pipi itu menjadi merah sekali, semerah warna pakaiannya.

Setelah mendengar semua keterangan itu, tahulah Bi Kim bahwa tidak mungkin ia dapat mengharapkan Yo Han untuk menjadi calon jodohnya. Bukan Sian Li yang merampas tunangannya. Gadis ini dan Yo Han sudah saling mencinta, bahkan sejak kecil! Kalau ia berkeras mempertahankan usul neneknya mengenai perjodohan itu, berarti dialah yang merampas kekasih orang!

Keangkuhan yang timbul dari harga dirinya sebagai seorang dari keluarga bangsawan, membuat Bi Kim dapat menekan perasaannya dan saat itu juga ia sudah mematahkan hubungan batinnya dengan Yo Han. Dia tidak boleh dan tidak akan suka mencinta Yo Han yang telah menjadi kekasih si Bangau Merah!

Untuk mengalihkan perhatian dan melupakan rasa nyeri seperti ada pisau menikam ulu hatinya, Bi Kim lalu bertanya dengan suara heran, "Adik manis, kenapa engkau mencari kekasihmu itu? Dan kenapa pula dia meninggalkanmu?"

Pertanyaan yang wajar saja dari seorang gadis kepada gadis lain, meski sesungguhnya pertanyaan itu mengandung keinginan untuk mengetahui lebih jelas tentang hubungan antara Sian Li dan Yo Han.

"Ahhh, banyak sekali yang menyebabkannya, Enci, dan sebenarnya hal ini merupakan rahasiaku..."

"Siauw-moi, aku mulai merasa lelah dan mengantuk. Bagaimana kalau engkau lanjutkan percakapanmu dengan adik Bi Kim saja, dan aku beristirahat lebih dahulu?" kata Ciang Hun yang merasa tidak enak hati karena agaknya kehadirannya hanya akan membuat canggung dua orang gadis itu bercakap-cakap secara akrab.

Sian Li tersenyum dan mengangguk. Diam-diam dia merasa terharu dan juga senang karena pemuda itu sungguh tahu diri dan dapat memaklumi keadaan dirinya. Dia selalu merasa tidak enak kepada Ciang Hun kalau di depan pemuda itu harus menceritakan segala hal mengenai Yo Han, padahal Ciang Hun mencintanya.

"Gak-toako ini seorang pemuda yang bijaksana dan baik sekali. Aku amat kagum dan menghormatinya, apa lagi di antara dia dan aku masih ada hubungan kekeluargaan. Maksudku, dia masih keturunan keluarga dari perguruan Pulau Es, sedangkan kakekku keturunan keluarga Gurun Pasir dan nenekku keluarga Pulau Es," kata Sian Li kepada Bi Kim setelah mereka tinggal berdua saja.

"Aku pun kagum kepadanya. Dia seorang pemuda yang lihai, pendiam dan sopan," kata Bi Kim. "Akan tetapi, kalau engkau enggan menceritakan tentang dirimu dan kekasihmu, aku pun tidak akan memaksamu, Li-moi."

"Ahh, tidak sama sekali, Enci. Kepadamu aku tidak merasa sungkan atau enggan untuk menceritakan, hanya kalau ada Gak-toako..., aku jadi tidak tega untuk banyak bercerita tentang Han-koko dan aku..."

"Tidak tega?" Bi Kim memandang penuh selidik, terheran-heran, "Kenapa tidak tega?"

"Karena dia mencintaku, enci Kim. Dan aku tentu saja tidak dapat membalas cintanya, walau pun aku suka dan hormat sekali kepadanya. Aku sudah menceritakan mengenai hubunganku dengan Han-koko, dan Gak-twako dapat menerima kenyataan itu dengan hati lapang. Dia bijaksana sekali! Dan aku tidak ingin menyinggung perasaannya kalau banyak bercerita tentang Han-ko di depannya."

Bi Kim semakin terheran-heran dan kagum. Dara ini sungguh luar biasa, pikirnya. Begitu jujur, begitu terbuka! "Aih, kasihan dia kalau begitu, Li-moi. Pahit sekali memang kalau orang bertepuk sebelah tangan dalam soal asmara. Nah, sekarang ceritakan, kenapa engkau saling berpisah dengan kekasihmu?"

Sian Li lalu bercerita. Tanpa tedeng aling-aling lagi. Diceritakannya tentang ayah ibunya yang agaknya tidak menyetujui hubungan cintanya dengan Yo Han, bahkan ayah ibunya telah memilihkan jodoh untuknya, yaitu seorang pangeran!

"Akan tetapi aku tidak mau, Enci. Aku tidak sudi dijodohkan dengan pangeran itu, walau pun pangeran itu terkenal gagah dan tampan, kabarnya pandai ilmu silat juga."

"Siapakah pangeran itu? Mungkin aku sudah tahu."

"Dia Pangeran Cia Sun."

Diam-diam Bi Kim semakin heran dan terkejut. Tentu saja dia tahu siapa pangeran itu. Seorang pangeran yang menjadi pujaan hampir semua gadis di kota raja. Setiap orang gadis merindukannya dan mengharapkan menjadi isterinya!

Bahkan dia sendiri, sebelum ditunangkan dengan Yo Han, pernah beberapa kali melihat pangeran itu dan dia sendiri pun merasa terpikat! Dan gadis ini... Si Bangau Merah ini, malah menolak dijodohkan dengan Pangeran Cia Sun. Bukan main!

"Hemm, menurut penilaianku, dia seorang pangeran yang baik sekali, berbeda dengan para pangeran lainnya. Dia tidak congkak, manis budi dan dekat dengan rakyat."

"Biar seratus kali lebih baik dari itu, aku tetap tidak sudi, Enci. Aku hanya mau berjodoh dengan Han-ko! Nah, pada waktu ayah dan ibu mengajakku menghadiri pertemuan tiga keluarga besar, aku mengharapkan dapat bertemu dengan Han-koko di sana. Namun ternyata dia tidak ada. Lalu muncul puteri ketua Pao-beng-pai membuat kekacauan dan menantang-nantang kami. Setelah ia dapat diusir pergi, aku lalu meninggalkan ayah ibu secara diam-diam karena aku ingin mencari Han-koko dan menyelidiki Pao-beng-pai. Sebetulnya aku ingin membatalkan niat ayah dan ibu mempertemukan aku dengan pangeran itu di kota raja, dan mencari Han-koko sampai dapat."

"Ke mana sih perginya kekasihmu itu, Li-moi?" tanya Bi Kim, diam-diam merasa heran dan geli juga melihat betapa ada persamaan antara ia dan Si Bangau Merah ini.

Ia pun sedang mencari-cari Yo Han seperti yang dilakukan Sian Li. Hanya bedanya, ia mencari pemuda itu sebagai tunangan, sedangkan Sian Li sebagai kekasih! Amat besar bedanya memang, dan kenyataan ini menikam hatinya. Pertunangannya belum resmi itu atas kehendak neneknya, sedangkan saling mencinta tentu saja atas kehendak mereka yang bersangkutan!

"Han-koko menerima tugas berat, yaitu mencari puteri Pendekar Suling Naga Sim Houw yang hilang diculik orang sejak anak itu masih kecil sekali, baru dua tiga tahun usianya. Hingga kini, dua puluh tahun lebih sudah berlalu dan tak pernah ada berita tentang anak itu. Semua usaha yang dilakukan oleh Pendekar Suling Naga dan isterinya tak berhasil. Bahkan andai kata anak itu ditemukan juga, anak itu sudah tidak mengenal orang tua kandungnya, dan sebaliknya suami isteri itu pun takkan dapat mengenal puteri mereka. Dan Han-koko bertugas mencari anak yang hilang itu!"

"Aih, betapa sukarnya tugas itu. Bagaimana mungkin bisa mencarinya jika tidak pernah melihat anak yang kini tentu telah menjadi seorang gadis dewasa itu?" kata Bi Kim.

Dia merasa ikut merasa prihatin mendengar betapa tunangannya, pria yang dicintanya akan tetapi yang mencinta gadis lain itu dibebani tugas yang demikian sulitnya. Andai kata dapat menemukan gadis itu, bagaimana dapat yakin bahwa dia adalah anak yang hilang itu?

"Memang ada ciri khasnya, Enci. Menurut keterangan orang tuanya, anak itu memiliki dua buah tanda yang khas, yaitu sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya dan sebuah noda merah di telapak kaki kanannya. Nah, kurasa di dunia ini tidak ada dua orang yang memiliki tanda-tanda yang serupa seperti itu!"

"Aku akan ingat ciri itu, Li-moi, agar aku dapat membantu mencarinya."

"Terima kasih, enci Kim. Engkau baik sekali. Kini aku merasa bingung harus ke mana mencari kekasihku itu. Aku sangat merindukannya, Enci, dan dia tentu akan berbahagia sekali kalau dapat mencari gadis itu bersamaku."

Tanpa disadari oleh Sian Li, ucapan itu menikam ulu hati Bi Kim yang segera berpamit untuk beristirahat di kamarnya. Mereka bertiga mendapat masing-masing sebuah kamar di rumah keluarga Lurah So yang amat menghormati tiga orang pendekar itu.....

********************

Bi Kim rebah di atas pembaringan kamarnya, menelungkup dan menangis menahan isak supaya jangan sampai suara tangisnya terdengar oleh orang lain di luar kamar. Dia merasa hatinya bagai diremas-remas, pedih dan perih bukan main rasanya. Ingatannya melayang-layang pada segala peristiwa yang lalu, ketika untuk pertama kali ia bertemu dengan Yo Han.

Pertama kali Yo Han datang berkunjung ke rumah keluarga ayahnya sebagai murid dari mendiang paman kakeknya Ciu Lam Hok. Ketika itu keluarga ayahnya sedang dilanda mala petaka.

Ayahnya yang menjadi penanggung jawab gedung pusaka kerajaan, diancam hukuman berat karena banyak benda pusaka penting hilang dicuri orang. Yo Han menyelidiki dan ternyata yang melakukan pencurian adalah Coan-ciangkun yang sengaja melakukan hal itu untuk memaksa keluarga Gan menyerahkan ia untuk menjadi isteri panglima itu. Yo Han berhasil menyelamatkan Gan Seng, ayahnya. Dan dalam keadaan berbahagia itu, neneknya yang bersembahyang di depan meja sembahyang paman kakeknya, tiba-tiba menetapkan perjodohannya dengan Yo Han!

Semua itu terbayang kembali olehnya. Ikatan pertunangan itu pula yang mendorongnya untuk dengan tekun tanpa mengenal waktu, melatih diri dengan ilmu silat dari guru-guru silat yang pandai dari istana atas bantuan ayahnya, sehingga kini dia menguasai ilmu kepandaian silat yang lumayan.

Semua itu dilakukannya demi cintanya kepada Yo Han yang dianggap calon suaminya. Calon suaminya seorang pendekar besar, maka akan janggallah kalau ia tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Kemudian, karena merasa rindu kepada tunangannya itu yang tidak kunjung datang, dia lalu meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi mencari Yo Han!

Dan sekarang, Si Bangau Merah Tan Sian Li yang mengagumkan hatinya itu mengaku terus terang bahwa Sian Li saling mencinta dengan Yo Han, bahkan hubungan mereka jauh lebih dahulu dari pada pertemuannya dengan pemuda itu. Pantas saja Yo Han belum dapat menerima usul perjodohan yang diajukan oleh neneknya! Kiranya pemuda itu telah mempunyai seorang kekasih!

Bi Kim terpaksa mendekap mukanya dengan bantal karena tangisnya semakin menjadi-jadi. Nafasnya sampai terasa sesak karena dia menahan-nahan sekuatnya agar jangan sampai terdengar suara tangisnya.

Segala macam perasaan yang mengandung susah dan senang ialah permainan nafsu. Nafsu memang selalu memiliki satu arah tujuan, yaitu kesenangan yang dinikmati tubuh melalui panca indera. Jika penyebab kesenangan itu lepas dari tangan, kesenangan itu dalam sekejap mata dapat berubah menjadi kebalikannya, yaitu kesusahan.

Cinta asmara antara pria dan wanita merupakan suatu perasaan manusia yang paling rumit dan aneh. Dalam perasaan yang ada pada tiap diri seorang manusia yang normal ini, yang agaknya memang telah menjadi anugerah atau yang disertakan pada manusia sejak manusia itu dilahirkan, terkandung banyak hal.

Ada pengaruh naluri daya tarik antara lawan jenis yang alami, naluri yang ada pada tiap makhluk ciptaan Tuhan, yang bergerak mau pun yang tidak, daya tarik yang merupakan syarat mutlak bagi pengembang biakan makhluk itu. Daya tarik alami ini yang membuat lawan jenis kelamin saling tertarik, lalu saling mendekati sehingga terjadilah penyatuan yang melahirkan makhluk baru sebagai proses penciptaan yang amat indah dan suci.

Di samping naluri yang sifatnya suci dan alami, masuk pula pengaruhi nafsu dan dalam cinta asmara, nafsu memainkan peran sepenuhnya sehingga memberikan kesenangan selengkapnya kepada manusia yang dilanda cinta. Kenikmatan akan dirasakan manusia melalui kesenangan yang terkandung dalam panca indera. Bila orang sedang bercinta, mata akan melihat keindahan pada orang yang dicinta, telinga mendengar kemerduan, hidung mencium keharuman. Segala macam perasaan, sentuhan dan apa saja menjadi terasa teramat indah!

Namun, karena nafsu memegang peran yang begitu besarnya, maka seperti akibat dari pada permainan nafsu, semua kesenangan itu setiap saat dapat saja berubah menjadi kesusahan. Tidak ada kesenangan melebihi senangnya orang bercinta, dan tidak ada kesusahan hati melebihi orang gagal dalam bercinta! Dunia seakan kiamat, harapan seakan-akan hancur lebur, hidup seakan-akan tiada artinya lagi!

Dalam saat seperti itu, betapa banyaknya orang yang kurang tabah dan kurang sadar lalu melakukan perbuatan dungu seperti membunuh diri, atau membunuh orang yang menggagalkan cintanya termasuk orang yang dicintanya itu sendiri! Dalam mabuk cinta, kita lupa bahwa segala kesenangan itu ada batasnya, dan tidak abadi!

Jelas bahwa nafsu yang bermain-main di dalam cinta kasih tidak abadi pula. Yang abadi adalah sesuatu yang datangnya bukan dari nafsu yang menggelimangi hati akal pikiran. Yang asli dan abadi adalah cinta yang tidak dikotori nafsu dan cinta inilah yang menjadi dasar dari segala perasaan yang baik. Cinta ini yang mungkin biasa kita namakan kasih sayang!

Kasih ini terdapat di dalam sinar matahari, di dalam titik-titik air hujan, dalam gelombang samudera, dalam bersilirnya angin semilir, dalam merekahnya dan harumnya bunga-bunga, dalam senyum ranum dan matangnya buah-buahan, di dalam air mata seorang ibu, di dalam belaian tangannya, di dalam pandang mata seorang ayah, di dalam tangis seorang bayi dan masih banyak lagi.

Gan Bi Kim menjadi korban dari ulah nafsu itu. Ia merasa seolah-olah hidupnya hancur lebur. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak tahu bahwa kesusahan, seperti juga dengan kesenangan, tidak abadi, bahkan tidak akan panjang umurnya, walau pun dibandingkan kesenangan, kesusahan lebih lama dirasakan manusia.

Tidak mungkin senang terus tanpa kesusahan, seperti tidak mungkinnya susah terus tanpa ada kesenangan. Bahkan di waktu siang hari pun tidak selalu terang benderang, kadang-kadang digelapkan awan mendung, dan malam gelap gulita pun kadang-kadang diterangi bulan atau bintang-bintang!

Dalam keadaan senang, orang lupa bahwa kesusahan sudah berada di ambang pintu. Dalam keadaan susah, seseorang seolah-olah merasa bahwa tak ada harapan lagi dan selalu dia akan menderita susah, seperti sakit yang tak mungkin dapat diobati lagi!

Bi Kim merasa semakin tidak tahan. Berduka di dalam kamar yang asing, seorang diri digerogoti kenangan lama, membuat ia merasa sumpek dan pengap. Malam telah tiba dan suasana sunyi. Ia membuka daun pintu dan melangkah keluar, melalui gang masuk ke dalam taman bunga milik keluarga lurah itu. Agak lega rasanya ketika ia berada di luar, di udara terbuka.

Ia melangkah terus. Malam tidak gelap benar karena ada banyak sekali bintang di langit, tidak terhitung banyaknya karena langit cerah tanpa mendung sehingga hampir semua bintang bermunculan, ada yang tersenyum, ada yang berkedip-kedip.

Bunga-bunga di taman itu banyak yang mekar indah, karena memang waktu itu musim bunga telah berumur dua bulan sehingga suasana taman itu indah sekali, bermandikan cahaya bintang yang kehijauan. Ditambah lagi suara jangkerik dan belalang laksana sekumpulan musik yang mendendangkan lagu malam dalam irama yang bebas namun tidak kacau, bahkan serasi.

Tiba-tiba suasana itu, yang pada mulanya menghibur, sekarang bagaikan menyentuh perasaannya, mendatangkan keharuan yang mendalam hingga ia terhuyung, menutupi muka dengan tangannya dan menangis. Kini ia berada di luar rumah dan ia tidak begitu menahan isak tangisnya, dan terdengar rintihan kalbunya keluar melalui mulutnya dalam bentuk tangis lirih dan sedu sedan.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa Gak Ciang Hun yang semenjak tadi duduk melamun seorang diri di dekat kolam ikan, kini bangkit dan memandang kepadanya dari sebelah kiri. Pemuda itu menghela napas panjang, dan alisnya berkerut.

Dia sudah melihat perubahan sikap gadis itu sejak Sian Li mengaku bahwa ia dan Yo Han saling mencinta. Dia melihat betapa Gan Bi Kim terbelalak dengan muka pucat dan napasnya terengah-engah ketika mendengar pengakuan Sian Li itu dan betapa gadis itu berusaha untuk menenangkan diri secepatnya. Dia menduga-duga, akan tetapi dia tidak menemukan jawabannya.

Dan kini, selagi dia melamun seorang diri di dalam taman mengenangkan nasib dirinya yang menderita penolakan cintanya terhadap Sian Li, atau lebih tepat lagi menderita putusnya cinta dikarenakan Sian Li mengaku bahwa gadis itu hanya mencinta Yo Han, tiba-tiba saja dia melihat Bi Kim menangis sedih seorang diri di dalam taman! Karena merasa terharu dan iba, bagaikan terkena pesona dan seperti tidak disadarinya, Ciang Hun melangkah perlahan menghampiri. Setelah dekat, dia berkata lirih.

"Adik Bi Kim..."

Bi Kim tersentak kaget, seperti diseret dari dunia lamunan kembali ke dunia kenyataan yang pahit dan membingungkan. Segera ia menghapus air mata dengan tangannya dan mengucek-ucek kedua matanya, memaksa bibirnya tersenyum.

"Aihh, kiranya Gak-toako... kaget sekali aku karena tidak mengira di sini ada orang lain."

Hati Ciang Hun makin terharu. Gadis ini jelas sedang menderita batin yang membuatnya berduka, akan tetapi masih berusaha untuk bersikap wajar yang sangat canggung. Dia pun tidak berpura-pura lagi karena dia merasa kasihan dan ingin sekali dapat membantu gadis itu, kalau memang gadis itu membutuhkan bantuan.

"Kim-moi, sejak tadi aku berada di sini, ingin menikmati malam musim bunga yang indah ini. Malam sangat cerah, langit bersih terhias bintang-bintang. Mengapa engkau malah berduka dan menangis, Kim-moi?"

"Aku... aku tidak berduka, tidak menangis..." Bi Kim cepat membantah, tetapi suaranya membuktikan bahwa ia memang habis menangis, bahkan masih terkandung sisa tangis di dalam getaran suaranya.

"Ahh, Kim-moi, biar pun kita baru berkenalan hari ini, akan tetapi tentu engkau juga telah merasakan seperti yang kami rasakan, yaitu bahwa kita berasal dari satu golongan dan seperti keluarga sendiri. Di antara saudara atau sahabat baik, kalau ada seorang yang mengalami kesulitan, sudah sepantasnya kalau yang lain membantu, bukan? Andai kata aku yang mengalami kesusahan, apakah engkau tidak bersedia untuk menolongku, Kim-moi?"

"Tentu saja, Toako! Engkau sendiri dan Li-moi tadi pun telah menolongku dari ancaman ketua Pao-beng-pai. Tentu aku pun akan mengulurkan tangan membantumu kalau aku bisa."

"Nah, begitu pula dengan aku, Kim-moi. Kini aku mengulurkan tangan dan aku bersedia membantu dirimu mengatasi kesusahanmu. Nah, maukah engkau menceritakan kenapa engkau begini bersedih?"

Ditanya orang lain tentang kesedihannya dengan suara yang demikian penuh perhatian dan seakan turut merasakan, keharuan memenuhi hati Bi Kim dan tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. Akan tetapi ia menggigit bibir dan tak mau mengeluarkan suara tangis. Ia menggelengkan kepala dan menghapus air matanya dengan sapu tangannya yang sudah basah.

"Engkau... engkau atau siapa pun di dunia ini tidak akan dapat menolongku, Toako... memang sudah ditakdirkan bahwa nasibku amat buruk..." kembali ia mengusapkan sapu tangan ke arah kedua matanya.

"Siauw-moi, tidak ada nasib buruk itu! Segala sesuatu yang terjadi menimpa diri kita sudah sewajarnya, dan ada sebab akibatnya. Bukan nasib buruk, karena nasib buruk itu hanya pandangan orang yang kecil hati dan tidak tabah menghadapi kenyataan hidup. Kenyataan hidup memang tidak selalu putih, ada kalanya hitam, tidak selalu manis, ada kalanya pahit. Akan tetapi, manis atau pun pahit, kalau kita dapat menerimanya sebagai suatu kenyataan hidup yang tidak terlepas dari hukum alam, maka kita akan mampu menghadapinya dengan tabah. Tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi, asalkan kita tabah, tidak meninggalkan daya ikhtiar dan didasari penyerahan kepada Yang Maha Kuasa, Kim-moi. Aku tadi sudah melihat perubahan pada sikapmu. Pada waktu Li-moi bercerita dengan terus terang, memang wataknya terbuka dan jujur, bahwa ia dan Yo Han saling mencinta, aku melihat engkau terbelalak kaget dan mukamu pucat sekali. Kim-moi, aku yakin bahwa kedukaanmu tentu ada hubungannya dengan cerita Li-moi itu, atau setidaknya, ada hubungannya dengan Yo Han. Benarkah dugaanku?"

Bi Kim menundukkan mukanya. Sampai lama ia tidak menjawab, hanya menarik napas panjang berulang kali. Ia tahu bahwa ia tidak dapat mengelak lagi, dan kalau sampai Sian Li mengetahui hal ini, sungguh amat tidak enak. Pemuda ini dapat dipercaya, dan dengan bantuan pemuda ini ia akan lebih mudah menyembunyikan rahasianya dari Sian Li.

"Gak-toako," katanya sambil memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam, "Kalau aku berterus terang kepadamu, maukah engkau berjanji untuk merahasiakan ini dari adik Sian Li?"

"Aku berjanji demi kehormatanku, Kim-moi."

"Ketahuilah, Toako, bahwa guru dari Sin-ciang Taihiap Yo Han adalah adiknya nenekku. Pada suatu hari, Yo-toako datang berkunjung ke kota raja dan dia berhasil menolong ayahku yang terancam mala petaka karena lenyapnya beberapa buah pusaka istana, padahal ayahku menjabat sebagai pengatur gedung pusaka itu. Karena rasa bersyukur, di depan meja sembahyang paman kakekku itu, nenekku lalu menjodohkan aku dengan Yo-toako."

"Ahhh, begitukah...?" Gak Ciang Hun menggumam lirih.

"Ya begitulah, Toako. Biar pun perjodohan itu belum diresmikan, akan tetapi sejak saat itu, aku sudah menganggap diriku sebagai calon isteri Yo Han. Dan tentu dapat kau bayangkan betapa kaget rasa hatiku ketika tadi aku mendengar bahwa adik Tan Sian Li saling mencinta dengan Yo Han."

Ciang Hun mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya. "Apakah Yo Han juga sudah menyetujui ikatan jodoh itu?"

Gadis itu menggeleng. "Belum, Toako. Bahkan dia minta supaya urusan perjodohan itu ditangguhkan sampai dia menyelesaikan tugas-tugasnya. Usul perjodohan itu datang dari nenek, dan dia belum menyatakan setuju atau tidak setuju."

"Akan tetapi... maafkan pertanyaanku ini, apakah kalian sudah saling mencinta?"

Gadis itu menarik napas panjang. Wajahnya nampak memelas sekali walau pun tidak kelihatan jelas di bawah sinar ribuan bintang yang lembut, akan tetapi tarikan muka itu membuat Ciang Hun maklum bahwa pertanyaannya mendatangkan kepedihan hati.

"Terus terang saja, Toako, aku amat kagum padanya dan selama ini aku menganggap bahwa aku cinta padanya. Akan tetapi... ahh, cinta sepihak tidak mungkin, bukan? Dia sudah saling mencinta dengan adik Sian Li... aku akan memberi tahu kepada nenekku dan orang tuaku bahwa aku tidak mungkin berjodoh dengannya."

Hening sejenak, kemudian Bi Kim tercengang melihat pemuda itu tertawa, akan tetapi suara tawanya sumbang. "Haha-ha-heh-heh, alangkah lucunya! Betapa lucunya...!!"

Tentu saja Bi Kim mengerutkan alisnya. Wajahnya berubah merah, pandang matanya bersinar tajam karena marah. Ia mengira bahwa pemuda itu mengejeknya! Padahal, ia telah mempercayainya dan menceritakan rahasia hatinya yang sebetulnya tidak harus diceritakan kepada siapa pun.

"Toako, kau... kau mentertawakan aku...?!" bentaknya marah.

Ciang Hun menyadari sikapnya yang dapat menimbulkan kesalah pahaman itu, maka ia menghentikan tawanya dan cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada meminta maaf.

"Maafkan aku, Siauw-moi. Aku sama sekali bukan mentertawakan engkau, melainkan mentertawakan diriku sendiri karena sungguh amat lucu keadaan kita berdua!" Kembali dia tertawa, akan tetapi menahan sehingga tawanya tidak bersuara.

Bi Kim masih mengerutkan alisnya. "Hemmm, apanya yang lucu dengan ceritaku tadi?"

"Dengarlah, Kim-moi. Sudah lama aku pun jatuh cinta kepada adik Tan Sian Li! Dan kau tahu, sebelum aku sempat menyatakan cintaku padanya, ia mengaku kepadaku seperti yang diceritakan kepadamu tadi, yaitu bahwa dia mencinta Yo Han dan hanya mau berjodoh dengan Yo Han. Kau tentu mengerti betapa hancurnya perasaan hatiku, tetapi aku dapat menerima kenyataan pahit itu. Sama sekali tidak aku duga bahwa engkau mengalami hal yang sama benar dengan aku, dan kita berdua sama-sama mendengar keputusan yang menghancurkan itu dari mulut Li-moi. Hanya bedanya di antara kita, engkau mencinta yang laki-laki, aku mencinta yang perempuan. Ha-ha-ha, bukankah lucu sekali?"

Ciang Hun tertawa-tawa lagi dan sekali ini, Bi Kim juga tertawa. Mereka berdua tertawa-tawa, akan tetapi tawa mereka terasa sumbang dan semakin lama, suara tawa mereka semakin sumbang hingga akhirnya Bi Kim menangis dan Ciang Hun juga mengeluh dan menahan tangisnya!

Dalam keadaan seperti itu keduanya dapat saling merasakan betapa sedih dan perihnya hati yang hampa karena cinta sepihak. Perasaan yang mendatangkan iba diri karena diri serasa tiada harganya, tidak ada yang menyayang! Dan timbullah perasaan iba yang mendalam satu lama lain.

"Kim-moi, kita harus dapat menerima kenyataan... Sudahlah, Kim-moi, jangan bersedih lagi..." karena merasa iba sekali, Ciang Hun mendekat dan menyentuh lengan gadis itu.

Bagaikan tanggul penahan air bah yang bobol, bendungan itu kini pecah dan setengah menjerit Bi Kim menangis dan merangkul Ciang Hun, menangis di dada pemuda itu sampai mengguguk. Semua perasaan pedih, perih dan duka yang semenjak tadi selalu ditahan-tahannya di dalam hati, sekarang dilepaskannya semua melalui tangisnya yang meledak-ledak.

Ciang Hun mengelus rambut itu. Dia pun berdongak memandang langit yang dipenuhi bintang-bintang, dua matanya sendiri basah. Dia maklum sekali bahwa gadis itu sedang ditekan perasaan yang amat berat, maka jalan terbaik adalah membiarkannya menangis melarutkan semua tekanan batin yang dapat menimbulkan penyakit luar dan dalam.

Setelah tangisnya itu agak mereda, bagai badai yang mereda, Ciang Hun berkata, "Ehh, Kim-moi, lihatlah betapa bodohnya kita. Apakah dengan gagalnya cinta kasih kita, lalu dunia ini akan kiamat? Lihat di langit itu, jutaan bintang mentertawakan kita yang lemah. Kita bukanlah orang lemah, kita harus mampu menanggulangi semua tantangan hidup. Kegagalan hanya akan memperkuat batin kita, mematangkan kita. Sama sekali keliru kalau kita putus asa dan membiarkan diri tenggelam dalam kecewa dan duka."

Bi Kim sadar dan ia pun seperti baru menyadari bahwa ia telah menangis di atas dada Ciang Hun. Ia melepaskan rangkulannya dan tersipu. Ia menghapus sisa air matanya, memandang kepada pemuda itu, mencoba untuk tersenyum.

"Engkau benar, Toako. Maafkan atas kelemahanku, dan maafkan kelakuanku tadi yang tidak pantas."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Siauw-moi, tidak ada yang tidak pantas. Aku mengerti perasaanmu dan aku dapat merasakan pula kepahitan yang melanda hatimu. Bukankah kita sama-sama mengalaminya? Akan tetapi, sama-sama pula kita dapat mengatasinya, bukan?"

"Terima kasih, Gak-toako."

Ciang Hun lalu menasehati agar gadis itu kembali ke kamarnya karena akan kurang baik dugaan orang kalau ada yang melihat mereka berada di taman berdua saja pada waktu malam seperti itu. Bi Kim menyetujui. Ia pun kembali ke kamarnya, meninggalkan Ciang Hun yang masih termenung seorang diri di taman itu.

Mulai saat itu, tumbuhlah perasaan aneh di dalam hati kedua orang itu. Mereka saling merasa kasihan, dan perasaan ini menumbuhkan suatu perasaan baru dari cinta kasih, ingin saling menghibur, ingin saling membahagiakan!

Pohon cinta memang bisa tumbuh dengan perantaraan belas kasihan, atau kekaguman, senasib, kesamaan pandangan, kesamaan selera dan banyak perasaan lain lagi. Dan sekali orang jatuh cinta, maka segala yang ada pada diri orang yang dicintai nampak indah, segala yang dilakukan orang yang dicinta selalu menyenangkan hati. Maka tidak terlalu berlebihan bila orang mengatakan bahwa cemberut seorang yang dicinta menjadi pemanis, sebaliknya senyum seorang yang dibenci makin menyebalkan!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah bangun dan mandi. Ketika dia keluar dari dalam kamarnya dengan mengenakan pakaian bersihnya, dan seperti biasa pakaiannya serba merah sehingga ia nampak segar dan jelita seperti setangkai bunga mawar merah di waktu pagi hari, masih segar membasah bermandikan embun pagi, ia melihat Gan Bi Kim dan Gak Ciang Hun juga sudah mandi. Mereka kemudian duduk di ruangan dalam di luar kamar mereka.

Setelah mereka duduk bertiga, Sian Li lantas berkata. "Pagi ini aku akan melanjutkan perjalananku, dan sebelum aku bertemu dengan Han-ko, aku tidak akan pulang."

"Memang, sebaiknya kalau kita bertiga pergi dari sini," kata Ciang Hun.

"Tidak enak kalau mengganggu keluarga Lurah So terlalu lama."

"Adik Sian Li, aku akan mencoba untuk membantumu, ikut mencarikan anak yang hilang itu. Siapa tahu aku akan bertemu dengan gadis yang mempunyai tanda-tanda di pundak kiri dan kaki kanan itu. Siapa namanya?"

"Namanya Sim Hui Eng," jawab Sian Li.

"Aku pun akan membantumu mencari Yo Han, kalau jumpa akan kuberi tahu bahwa engkau mencarinya. Paling lambat pada hari Sin-cia (Tahun Baru Imlek), berhasil atau tidak, aku akan memberi kabar kepadamu, di rumah orang tuamu di Ta-tung," berkata Ciang Hun.

Sian Li tersenyum memandang kepada dua orang sahabatnya itu. "Terima kasih, kalian baik sekali. Karena kita bertiga mencari orang, maka akan lebih besar harapannya akan berhasil kalau kita berpencar. Kita mencari dengan berpencar dan berjanji saling jumpa lagi pada hari Sin-cia. Bagaimana pendapat kalian?"

"Setuju!" kata Ciang Hun. "Pada hari Sin-cia, aku akan berkunjung ke rumahmu, Li-moi.”

“Dan bagaimana dengan kau, Kim-cici? Di mana kita akan bertemu hari Sin-cia nanti?"

"Aku setuju dengan pendapat Gak-toako. Aku pun akan berkunjung ke rumahmu pada hari Sin-cia, Li-moi."

"Bagus! Aku akan menanti kunjungan kalian dengan hati gembira. Ayah dan ibu pasti juga akan bergembira sekali bila menerima kunjungan kalian. Nah, mari sekarang kita berangkat!"

Tiga orang muda perkasa itu lalu berpamitan kepada Lurah So sekeluarga, kemudian meninggalkan rumah dan dusun itu. Setelah tiba di perempatan jalan, mereka berpisah. Sian Li menuju ke utara, Ciang Hun ke selatan dan Bi Kim ke timur.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Tangan Sakti