SI TANGAN SAKTI : JILID-16


Pakaiannya indah. Rambutnya digelung tinggi dan dihias tiara kecil. Melihat pakaiannya pantasnya ia adalah seorang puteri bangsawan yang kaya raya. Namun sungguh aneh, ia berada seorang diri di tempat sunyi itu, bahkan lebih aneh lagi, ia duduk termenung dengan air mata mengalir menuruni kedua pipinya.

Bila orang mengetahui sikap gadis itu, dia tentu akan semakin terheran-heran. Gadis itu adalah puteri ketua Pao-beng-pai yang ketika itu disebut Sang Puteri atau Nona Dewi. Oleh semua anggota Pao-beng-pai dan bahkan di dunia kang-ouw, dia dikenal sebagai puteri ketua Pao-beng-pai Siangkoan Kok, dan nama gadis itu adalah Siangkoan Eng atau biasa dipanggil ayah ibunya Eng Eng saja.

Akan tetapi, sudah terjadi peristiwa hebat yang mendatangkan perubahan besar dan yang membuat Eng Eng kini duduk termenung di bawah pohon itu sambil mencucurkan air mata! Padahal, dahulu sebagai puteri ketua Pao-beng-pai ia dikenal sebagai seorang wanita perkasa yang dingin dan keras, belum pernah menangis! Jika orang yang pernah mengenalnya melihat ia kini duduk menangis, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran bukan main.

Bagaimana ia tidak akan menangis? Setabah-tabahnya, sekeras-keras hatinya, saat itu Eng Eng dilanda perasaan yang hancur lebur. Ia berduka, kecewa, penuh penasaran dan dendam. Karena membebaskan Yo Han dan Cia Sun, ia hampir dibunuh ayahnya. Kemudian ayahnya menyakiti hati ibunya dengan memaksa Tio Sui Lan, murid ayahnya dan sahabat baiknya, menjadi isteri pengganti ibunya. Sui Lan diperkosa ayahnya tanpa ia dan ibunya dapat berbuat sesuatu!

Dan setelah dia terluka parah oleh pukulan ayahnya, terjadi hal yang lebih hebat lagi, yaitu ibunya membuka rahasia bahwa ayahnya itu, Siangkoan Kok, sebetulnya hanyalah ayah tirinya! Dan pada saat ia bertanya kepada ibunya, siapa ayah kandungnya, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa ibunya itu amat membenci ayah kandungnya.

Semua peristiwa itu membuat dirinya merasa sedih bukan main. Orang yang selama ini dianggap ayahnya sendiri, ternyata orang lain dan sangat kejam terhadap ibunya dan terhadap dirinya sendiri. Kemudian, ibunya malah sangat membenci ayah kandungnya dan tidak mau memberi tahukan siapa nama ayah kandungnya, masih hidup ataukah sudah mati.

Semua ini menghancurkan hatinya dan ia pun malam itu juga melarikan diri dari rumah, meninggalkan Pao-beng-pai dan bersembunyi di sebuah goa yang banyak terdapat di Ban-kwi-kok. Di Lembah Selaksa Setan ini terdapat goa-goa besar yang ditakuti orang, yang menurut tahyul dijadikan tempat tinggal para setan dan iblis. Karena itu, jangankan rakyat biasa, bahkan para anggota Ban-kwi-kok sendiri jarang ada yang berani datang, apa lagi bermalam di goa-goa itu.

Dalam kedukaannya, Eng Eng tidak mengenal takut. Ia bersembunyi di sebuah goa dan setiap hari dan malam dia hanya duduk bersemedhi, menghimpun tenaga sakti untuk mengobati luka dalam yang diderita akibat pukulan ayah tirinya! Ayah tirinya amat jahat, hampir membunuhnya, memperkosa Sui Lan, dan menurut ibunya, ayah kandungnya juga amat jahat sehingga dibenci ibunya. Dunia seperti hancur rasanya bagi Eng Eng.

Pada keesokan hatinya, selagi bersemedhi, dia mendengar suara ribut-ribut. Agaknya terjadi pertempuran di Ban-kwi-kok! Kalau saja ia tidak terluka, dan kalau saja ia belum bentrok dengan ayah tirinya, tentu ia akan membela Pao-beng-pai dengan taruhan nyawa. Akan tetapi, sekali ini ia diam saja, tidak bergerak dan tetap duduk bersila.

Ia masih belum pulih. Kalau ia bertempur melawan musuh yang agak tangguh saja, ia akan celaka. Selain itu, ia tidak sudi membantu ayah tirinya lagi. Bahkan hatinya kini condong untuk menentang dan melawan! Kalau saja ia tidak ingat betapa sejak kecil ia dididik dan digembleng oleh ayah tirinya yang ia tahu sayang kepadanya, tentu kini dia sudah menganggap ayah tiri itu musuhnya!

Karena perasaan itu, dia pun diam saja dan tidak keluar dari dalam goa. Akan tetapi setelah pertempuran itu berhenti, baru dia teringat akan ibunya! Betapa pun dia marah kepada ibunya yang mengatakan membenci ayah kandungnya, tetap saja sekarang dia mengkhawatirkan ibunya.

Ayah kandungnya sakti, juga ibunya mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sehingga mereka akan mampu membela diri dengan baik. Akan tetapi, dia tidak tahu siapa yang melakukan penyerbuan ke Pao-beng-pai. Dia harus melihat bagaimana keadaan ibunya, agar supaya hatinya menjadi lega.

Karena keadaan sangat sunyi, maka dia pun keluar dari dalam goa dan pergi ke sarang Pao-beng-pai. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat para anggota Pao-beng-pai banyak yang tewas, sisanya entah lari ke mana. Yang lebih mengejutkan hatinya lagi adalah ketika ia menemukan mayat ibunya dan mayat Sui Lan!

Ia lalu menubruk dan menangisi mayat ibunya. Ketika dua orang anggota Pao-beng-pai yang melihat munculnya nona mereka keluar dari tempat persembunyian mereka, Eng Eng bertanya apa yang telah terjadi.

Dua orang anggota Pao-beng-pai itu lalu bercerita bahwa pasukan pemerintah datang menyerbu Pao-beng-pai. Tanpa bertanya lagi Eng Eng dengan sendirinya menganggap bahwa Sui Lan dan ibunya tewas di tangan para penyerbu!

"Dan di mana Pangcu (Ketua)?" Ia tidak mau menyebut ayah.

"Kami tidak tahu, Nona. Melihat bahwa tidak ada jenazah Pangcu di sini, tentu beliau telah berhasil menyelamatkan diri."

"Bagaimana pasukan pemerintah mampu naik ke tempat ini dan melalui semua jebakan rahasia?" tanyanya penasaran.

"Kami sempat melihat bayangan Cia Ceng Sun yang pernah menjadi tawanan di sini, Nona. Tentu dialah yang menjadi penunjuk jalan."

Eng Eng terkejut, bangkit berdiri dan dengan muka pucat dia mengepal tinju. Hatinya berteriak memaki Cia Sun. Tahulah ia. Tentu pangeran Mancu itu yang telah membawa pasukan datang menyerbu! Pangeran itu tentu dahulu datang sebagai mata-mata.

Laki-laki berhati palsu! Kelak aku akan membuat perhitungan denganmu, geramnya di dalam hati. Dibantu dua orang anggota Pao-beng-pai itu, Eng Eng kemudian mengubur jenazah ibunya dan Sui Lan, di lereng sebuah bukit yang bersih.

Demikianlah, kini ia berada di luar kota raja, bersembunyi di hutan itu dan menangis. Ia bukan seorang wanita cengeng yang menangisi kematian ibunya berulang kali. Sudah cukup ia menangisi di depan jenazah dan di depan makam sederhana ibunya. Kini ia mencucurkan air mata bukan karena teringat kematian ibunya.

Ia menangis karena teringat akan Cia Sun! Ia akan mencari, menangkap dan menyiksa, lalu membunuh Cia Sun! Akan tetapi, sukar membayangkan bagaimana ia akan dapat melakukan itu. Ia amat mencinta pangeran itu! Mengenangkan sikap manis dan mesra pangeran itu, bagaimana mungkin tangan ini akan mampu melukainya, menyakitinya, apa lagi membunuhnya? Inilah yang membuat ia bercucuran air mata menangis!

Senja datang dan suasana semakin sepi. Eng Eng mengepal kedua tangannya.

"Cengeng! Lemah!" Ia memaki diri sendiri.

Bagaimana pun juga, dia adalah musuh besar. Dialah yang menyebabkan Pao-beng-pai runtuh dan habis terbasmi, bahkan ia pula yang menyebabkan ibunya tewas! Dia bukan membalas dendam untuk Pao-beng-pai, bukan pula membalas dendam bagi Siangkoan Kok, tetapi ia harus membalas dendamnya atas kematian Sui Lan dan ibunya, terutama ibunya. Pangeran Cia Sun harus membayar lunas hutangnya!

Sesudah menghapus air matanya dan mengeraskan hatinya, Eng Eng memasuki pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Karena ia nampak seperti seorang gadis bangsawan atau hartawan, tidak pula membawa senjata sebab senjata istimewanya, yaitu sebatang hud-tim (kebutan) terselip di pinggang, di balik baju, maka para penjaga di pintu gerbang hanya memandang kagum, tidak mengganggunya.

Malam itu gelap. Udara mendung. Gelap dan dingin karena angin malam meniupkan hawa yang lembab. Karena gelap dan dingin, orang-orang lebih suka tinggal di dalam rumah mereka yang lebih hangat dibandingkan hawa di luar.

Apa lagi di rumah kaum bangsawan dan hartawan, di mana terdapat perapian yang bisa mendatangkan hawa hangat. Kalau tidak mempunyai keperluan yang penting sekali, tak ada yang mau meninggalkan rumah. Sebab itu jalan-jalan raya juga sepi dari lalu lintas.

Kesepian itu amat membantu Eng Eng yang sudah mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya digelung dan diikat ke belakang, tidak disanggul rapi seperti biasa, juga tak dihias tiara. Pakaiannya yang serba hitam dan ringkas itu membuat gerakannya yang cepat sukar diikuti pandang mata.

Senjata kebutan yang berbulu merah dan bergagang emas terselip di pinggang depan, dengan bulunya sudah digulung rapi, sedangkan pedang beronce merah tergantung di punggung. Sekuntum jarum hitam juga tergantung di pinggang. Eng Eng kini membekali diri dengan senjata lengkap karena ia hendak menangkap Pangeran Cia Sun di rumah gedung keluarga pangeran itu.

Sore tadi setelah memasuki kota raja, ia telah melakukan penyelidikan dan tidak sukar untuk mendapat keterangan tentang rumah tinggal Pangeran Cia Sun. Sebuah gedung besar dan megah berdiri di sudut kanan kota raja. Itulah tempat tinggal Pangeran Cia Sun dengan keluarga ayahnya, yaitu Pangeran Cia Yan seorang di antara putera-putera Kaisar Kian Liong (1736 - 1796).

Seperti telah kita ketahui, biar pun secara resmi Pangeran Cia Yan adalah anak angkat Kaisar Kian Liong, yaitu seorang keponakan yang diangkat menjadi putera, akan tetapi sesungguhnya, Pangeran Cia Yan adalah putera kaisar itu sendiri, hasil hubungan gelap dengan kakak iparnya. Oleh karena itu, biar pun resminya pangeran akuan, atau anak angkat, namun Kaisar Kian Liong menyayangnya seperti anaknya sendiri. Pangeran Cia Yan tidak dapat diangkat menjadi putera mahkota, akan tetapi dia merupakan seorang di antara para pangeran yang disayang oleh kaisar.

Malam itu, di sekitar gedung milik Pangeran Cia Yan juga sunyi. Karena dia sendiri tidak memegang jabatan penting, juga tak merasa mempunyai musuh, maka gedung tempat tinggal keluarga Pangeran Cia Yan ini tidak dijaga ketat seperti tempat kediaman para pangeran lain. Hanya ada enam orang yang berjaga malam dan melakukan perondaan di sekitar gedung besar itu untuk menjaga keamanan.

Tentu saja amat mudah bagi Eng Eng untuk menyusup masuk dengan melompati pagar tembok tanpa diketahui para penjaga. Ia melompat pagar tembok belakang dan masuk ke taman bunga yang terpelihara rapi. Sambil menyelinap di antara pohon dan semak bunga, ia menghampiri bangunan besar dan beberapa menit kemudian, ia sudah dapat meloncat ke atas genteng dan melakukan pengintaian dari atas.

Lampu-lampu di luar genteng sudah banyak yang dipadamkan sehingga gerakan Eng Eng tidak dapat terlihat ketika ia berkelebatan di atas genteng. Dengan cara mengintai dari atas, akhirnya dia mendengar percakapan di bawah yang dilakukan dengan suara keras. Jantungnya berdebar tegang saat ia mendengar suara Pangeran Cia Sun! Suara yang lembut namun kuat.

"Ayah dan Ibu, sekali lagi saya mohon maaf, bukan sekali-kali saya ingin membantah dan tidak mau mentaati perintah Ayah dan Ibu. Bukan sekali-kali saya menolak karena menganggap pilihan Ayah dan Ibu itu kurang baik untuk saya. Sama sekali tidak! Saya sudah mendengar tentang Si Bangau Merah, mendengar bahwa dia seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, berwatak gagah perkasa serta berbudi baik. Juga ia cantik jelita, keturunan keluarga pendekar sakti yang terkenal."

"Nah, kau mau apa lagi? Engkau sendiri bilang, ia keturunan pendekar besar, ia gagah perkasa, berbudi baik dan cantik jelita. Apakah semua hal itu belum memenuhi syarat bagimu untuk menjadi isterimu?" terdengar suara Pangeran Cia Yan, ayah pemuda itu, membentak.

"Benar sekali kata Ayahmu, anakku. Selain gadis itu amat baik bagimu, juga kami telah mengikat janji dengan orang tuanya, yaitu Pendekar Bangau Putih dan isterinya. Masih kurang apakah Si Bangau Merah itu, anakku?"

Kalau tadinya Eng Eng yang mendengar semua itu sudah merasa gemas dan ingin segera menangkap orang yang menyebabkan kehancuran Pao-beng-pai dan terutama kematian ibunya, kini mendengar apa yang dipercakapkan, dia tertarik sekali dan ingin ia mendengar apa yang akan dikatakan pangeran itu tentang ikatan jodoh.

Ia sendiri tentu saja tadinya mencinta pangeran itu dan mengharapkan dapat menjadi isterinya, dan tentu ia akan marah sekali kalau mendengar pangeran itu akan menikah dengan orang lain. Akan tetapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Ia tidak mungkin menjadi isteri Cia Sun, dan tidak semestinya mencintanya, bahkan sudah sepatutnya ia membencinya karena pria yang tadinya menjadi kekasihnya itu sekarang telah menjadi musuh besarnya.

Meski ia tidak peduli lagi apakah pangeran itu akan menikah dengan gadis lain ataukah tidak, tetap saja ia tidak dapat membohongi hatinya sendiri. Ia ingin sekali mengetahui apa jawaban pangeran itu dan bagaimana isi hatinya! Maka, dia pun mendengarkan dengan jantung berdebar tegang.

"Sebagai seorang gadis, memang harus saya akui bahwa Si Bangau Merah itu baik dan tidak ada kekurangannya, Ayah dan Ibu. Akan tetapi untuk menjadi isteriku, ia memiliki kekurangan yang amat besar artinya, yaitu ia tak memiliki cinta! Saya tidak mencintanya dan ia pun tidak mencintaku. Dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta!"

Eng Eng merasa betapa kedua kakinya gemetar. Ia cepat mengerahkan tenaga untuk melawannya karena ia tidak ingin gerakan tubuhnya terdengar orang. Ucapan pangeran itu terasa begitu nyaman di hatinya, seolah-olah hatinya dibelai oleh tangan yang amat lembut. Dia musuh besarku, aku benci dia, demikian dengan pengerahan tenaga Eng Eng melawan perasaan hatinya sendiri dan mendengarkan terus.

"Omong kosong!" kata sang ayah. "Kalau nanti kalian sudah saling bertemu dan saling bergaul, cinta itu akan datang dengan sendirinya. Ia cantik dan engkau tampan, kalian sama-sama suka ilmu silat, kalau kalian saling bergaul, pasti kalian akan saling jatuh cinta."

"Itu mungkin saja kalau saya belum jatuh cinta kepada orang lain, Ayah. Akan tetapi saya telah mencinta seorang gadis lain, dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta itu."

Kini kedua kaki Eng Eng menggigil dan hampir saja dia tak mampu bertahan lagi. Dia memejamkan mata, menahan napas dan dengan susah payah baru berhasil menguasai jantungnya yang melonjak-lonjak mendengar pengakuan itu.

"Dia musuhku, aku benci padanya, dia musuhku!" demikian berulang-ulang dia melawan gejolak hatinya sendiri. Dan dia mendengarkan terus.

"Jika engkau jatuh cinta kepada gadis lain, hal itu pun tidak menjadi persoalan. Engkau menikah dengan Si Bangau Merah, dan gadis yang kau cinta itu menjadi selirmu..." kata sang ibu.

"Maaf, Ibu. Saya tidak mau mempunyai selir!"

"Hemmm, apa salahnya dengan hal itu?" bantah ayahnya. "Engkau seorang pangeran, sudah sepatutnya mempunyai selir. Semua pangeran di sini memiliki selir, tidak hanya seorang malah."

"Akan tetapi saya berbeda, Ayah. Saya hanya mencinta gadis itu, dan saya tidak mau menikah dengan wanita lain." Pangeran itu berkeras.

"Aihhh, engkau keras kepala, Cia Sun. Siapa sih gadis yang telah menjatuhkan hatimu seperti ini? Siapa namanya?" tanya sang ibu.

Di atas genteng, di luar kehendaknya sendiri, Eng Eng menerawang. Matanya setengah terpejam, mulutnya tersenyum simpul, hatinya senang sekali. Semua ucapan pangeran itu terdengar olehnya bagaikan sebuah lagu yang amat merdu. Dan dia mendengarkan terus, siap untuk mengembangkan senyum mendengar ibu pangeran itu menanyakan namanya!

"Ibu, gadis yang saya cinta itu, yang saya pilih untuk menjadi calon isteri saya, ia she (bermarga) Sim dan namanya Hui Eng..."

Terdengar gerakan di atas genteng. Cia Sun dapat mendengar suara itu, akan tetapi dia mengira itu suara kucing.

Saat mendengar disebutnya nama itu, seketika wajah Eng Eng yang tadinya tersenyum itu menjadi pucat. Mulutnya yang tersenyum berubah menjadi ternganga, dan matanya terbelalak. Kemudian wajah yang pucat itu berubah kemerahan ketika kedua tangannya dikepal.

"Jahanam keparat kau!" bentaknya di dalam hatinya. Kini kebenciannya terhadap Cia Sun memuncak. "Engkau membohongi aku, engkau merayu dan menipuku!"

Sekarang dia pun mengerti. Cia Sun telah menyelundup ke dalam Pao-beng-pai untuk menyelidiki keadaan perkumpulan itu. Ketika orang-orang mulai mencurigainya, dengan ketampanan dan kehalusan budinya, pangeran itu merayunya dan menjatuhkan hatinya. Semua itu palsu! Semua itu hanya untuk berhasil dalam tugasnya sebagai mata-mata. Pangeran itu telah mempunyai seorang kekasih yang akan dijadikan isterinya. Namanya Sim Hui Eng! Keparat! Dan dia masih berani berpura-pura meminangku!

"Jahanam kau!"

Eng Eng tidak dapat menahan lagi kemarahannya dan beberapa kali loncatan membuat ia berada di luar jendela ruangan di mana pangeran dan ayah ibunya bercakap-cakap. Ia mengerahkan tenaga dan menerjang daun jendela.

"Brakkk...!"

Daun jendela pecah berantakan dan Eng Eng sudah berdiri di depan pangeran itu yang terbelalak memandang kepadanya.

"Kau...!" seru Cia Sun.

Akan tetapi pada saat itu, dari jarak dekat sekali, selagi pangeran itu tertegun karena sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dalam keadaan seperti itu dengan kekasihnya, Eng Eng menggerakkan tangan kirinya. Dua batang jarum hitam langsung menyambar cepat, mengenai kedua pundak Cia Sun.

"Ahhhhh...!" Pemuda itu mengeluh dan roboh terpelanting.

Sebelum tubuhnya terbanting, dengan cepat Eng Eng sudah menggerakkan tubuhnya. Lengan kirinya mengempit tubuh Cia Sun yang terkulai lemas dan sekali meloncat, dia sudah keluar dari rongga jendela yang berlubang.

Suami isteri yang tadinya terbelalak itu, baru sempat berteriak-teriak melihat betapa putera mereka diculik seorang wanita yang cantik dan berpakaian serba hitam.

"Tolong...! Pangeran diculik...!" teriak isteri Pangeran Cia Yan.

"Tangkap penculik! Tangkap penjahat!" Pangeran Cia Yan juga berteriak-teriak. Suami isteri itu mencoba untuk mengejar lewat pintu.

Akan tetapi, dua orang penjaga yang mencoba untuk menghalangi bayangan hitam yang mengempit tubuh Pangeran Cia Sun, roboh oleh tendangan Eng Eng dan gadis itu pun menghilang di dalam kegelapan malam.

Karena malam itu sunyi, gelap dan dingin, maka tidak sukar bagi Eng Eng untuk dapat melarikan Cia Sun dari rumahnya. Sejenak pemuda itu sendiri tertegun dan bingung. Kedua pundaknya terasa panas sekali dan tubuhnya lemas. Akan tetapi dia menahan rasa nyeri itu dan setelah gadis itu tidak berlari lagi, dia berkata dengan heran.

"Bukankah engkau Eng-moi? Eng-moi, kenapa kau lakukan ini kepadaku?"

Eng Eng diam saja, tidak menjawab, ia sedang memikirkan bagaimana dapat membawa pangeran ini keluar dari kota raja. Sebentar lagi, kota raja tentu akan penuh dengan pasukan yang melakukan pengejaran dan pencarian. Untuk keluar begitu saja dari pintu gerbang sambil mengempit tubuh Pangeran Cia Sun, tentu menimbulkan kecurigaan dan ia akan segera dikepung prajurit.

Sementara itu, Pangeran Cia Sun berpkir, apa yang membuat orang yang dicintainya dan yang dia tahu juga amat mencintanya kini bersikap seperti ini, bahkan tega untuk melukainya dan menculiknya. Dan dia pun teringat.

Ketika terjadi penyerbuan ke Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah, dia pun nampak di antara para penyerbu. Tentu Eng Eng mengira bahwa dia yang membawa pasukan itu melakukan penyerbuan.

"Eng-moi, kini engkau hendak membalas dendam atas penyerbuan ke Pao-beng-pai? Eng-moi, bukan... bukan aku yang melakukan. Engkau salah duga. Marilah kita bicara baik-baik dan kau dengarkan semua keteranganku."

Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Eng Eng mendapat akal untuk dapat membawa keluar pangeran ini dari kota raja tanpa kesulitan. Dia harus dapat membawa pangeran ini keluar. Ia akan menyiksanya, memaksanya mengakui dosanya dan ia akan membunuh pangeran ini di depan makam ibunya!

"Aku memang ingin bicara denganmu, tapi di luar kota raja. Kalau engkau membawaku keluar dari pintu gerbang, aku mau berbicara denganmu di sana. Kalau tidak, aku akan membunuhmu di sini juga tanpa banyak cakap lagi."

Cia Sun bergidik. Dia tidak takut mati. Meski dia seorang pangeran, namun dia berjiwa pendekar dan kematian bukan sesuatu yang menakutkan baginya. Yang membuat dia merasa ngeri adalah sikap dan suara gadis yang dicintanya itu. Begitu tak wajar, begitu dingin dan penuh ancaman maut! Dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu sedang dibakar api dendam dan kebencian.

"Baiklah, Eng-moi. Bebaskan totokanmu dan hentikan kenyerian ini agar tidak ada orang curiga. Aku akan mencari dua ekor kuda untuk kita."

"Jangan mengira engkau akan dapat lari dariku. Sebelum kau lari, aku akan membunuh dirimu!" kata Eng Eng.

Setelah membebaskan totokannya Eng Eng kemudian memberi sebuah pil merah untuk ditelan oleh Cia Sun. Dan sesudah menelan pil itu, Cia Sun tidak begitu menderita lagi.

Kebetulan nampak serombongan penjaga keamanan kota terdiri dari enam orang yang menunggang kuda sedang datang dari depan. Cia Sun segera memberi isyarat kepada rombongan berkuda. Pada waktu mereka telah dekat dan melihat siapa yang menahan mereka, enam orang itu terkejut, lalu turun dari atas kuda dan memberi hormat kepada Pangeran Cia Sun.

"Kami membutuhkan dua ekor kuda, berikan dua ekor yang terbaik," kata pangeran itu.

Enam orang itu tergopoh memilihkan dua ekor kuda. Cia Sun segera mengajak Eng Eng untuk menunggang kuda itu dan segera melarikan kuda ke pintu gerbang selatan seperti yang dikehendaki oleh Eng Eng.

Satu jam kemudian, kota raja geger karena Pangeran Cia Yan minta bantuan pasukan keamanan untuk menangkap penculik yang melarikan Pangeran Cia Sun. Terjadilah geger dan kekacauan, apa lagi ketika ada prajurit yang melapor bahwa Pangeran Cia Sun tidak diculik, melainkan pergi dengan suka rela bersama seorang yang berpakaian hitam. Bahkan pangeran itu sendiri yang meminta dua ekor kuda kepada rombongan prajurit dan kemudian menunggang kuda keluar dari pintu gerbang selatan.

Tentu saja berita ini membuat para perwira yang memimpin pengejaran itu menjadi ragu dan bingung. Bagaimana kalau Pangeran Cia Sun tidak diculik, melainkan pergi dengan suka rela? Tentu pangeran itu akan marah kalau pasukan melakukan pengejaran.

Akibat kebingungan inilah maka pengejaran dilakukan setengah hati. Andai kata mereka dapat bertemu Pangeran Cia Sun, tentu mereka tidak akan berani lancang menangkap gadis berpakaian hitam seperti diperintahkan Pangeran Cia Yan. Mereka tentu akan melihat lebih dahulu bagaimana sikap Pangeran Muda Cia Sun.

Karena memang sudah merencanakan lebih dulu, tanpa ragu-ragu Eng Eng mengajak pangeran itu memasuki hutan kecil di mana tadi ia menangis. Mereka lalu turun dari atas kuda, menambatkan kuda dan membiarkan saja dua ekor kuda itu makan rumput.

Karena tubuhnya masih terasa sakit akibat tusukan dua batang jarum di pundaknya, jarum-jarum hitam yang mengandung racun, Cia Sun lalu menjatuhkan diri di atas rumput, memandang kepada gadis itu yang berdiri memandangnya dengan sinar mata yang bernyala-nyala. Walau pun tempat itu gelap, namun Cia Sun seakan-akan dapat melihat sepasang mata yang sedang memandang marah itu.

Malam masih teramat dingin, akan tetapi mendung telah tersapu angin dan langit kini nampak bersih dengan sinar bulan sepotong sehingga mereka dapat saling melihat, biar pun hanya remang-remang.

"Nah, katakanlah, Eng-moi, apakah artinya semua ini? Benarkah dugaanku tadi bahwa engkau marah kepadaku karena menyangka akulah yang memimpin pasukan menyerbu Pao-beng-pai?"

Sejak tadi Eng Eng menahan kemarahannya, terutama kemarahan karena mendengar percakapan antara pangeran itu dan orang tuanya tadi. Kini, kemarahannya meledak!

"Engkau manusia paling busuk di dunia! Engkau manusia palsu, jahanam keparat yang berbudi rendah!"

"Silakan memaki dan mencaci, bahkan engkau boleh saja membunuhku, Eng-moi, akan tetapi, setidaknya jelaskan dahulu mengapa engkau begini marah kepadaku, agar andai kata engkau membunuhku, aku tidak akan mati penasaran.”

"Huh, tidak perlu engkau merayuku lagi dengan omonganmu yang seperti madu berbisa! Engkaulah yang membuat banyak orang mati penasaran, termasuk ibuku dan Tio Sui Lan! Engkau menyamar, kemudian menyelundup ke Pao-beng-pai untuk memata-matai Pao-beng-pai. Engkau bahkan merayuku sehingga aku terbujuk dan membebaskanmu, mengkhianati Pao-beng-pai sendiri. Ternyata semua perbuatanmu hanya palsu. Engkau mempermainkan aku, engkau memimpin pasukan membasmi Pao-beng-pai, membunuh keluargaku! Engkau sungguh keji, kejam dan curang!" Suara Eng Eng terkandung isak tangis.

"Hemmm, kalau begitu tepat dugaanku. Engkau marah kepadaku karena mengira aku yang memimpin pasukan menyerbu Pao-beng-pai. Semua itu tidak benar, Eng-moi! Aku tidak memimpin pasukan itu! Baru sebentar aku pergi, bagaimana caranya aku dapat mengumpulkan pasukan besar untuk menyerbu Pao-beng-pai? Tidak, bukan aku yang mengerahkan pasukan itu. Aku mendengar bahwa ada pasukan yang pergi menyerbu Pao-beng-pai, karena tempatnya telah diketahui. Pada saat Pao-beng-pai mengadakan pertemuan itu, di antara para tamu terdapat orang-orang yang menentang. Merekalah yang memberi laporan kepada pemerintah. Panglima Ciong yang memimpin pasukan itu menyerbu, dan aku cepat-cepat menyusul untuk menyelamatkan engkau dan ibumu."

"Omong kosong! Rayuan gombal! Siapa yang dapat percaya? Jika bukan engkau yang menjadi penunjuk jalan, bagaimana mungkin pasukan itu dapat naik ke Lembah Selaksa Setan, dapat melampaui semua jebakan dan membasmi Pao-beng-pai? Tidak perlu lagi engkau mencoba untuk membohongi aku!" Saking marahnya, tubuh Eng Eng bergerak, tangannya menyambar ke arah dada Cia Sun.

"Bukkk!"

Pukulan tangan terbuka itu keras sekali sehingga tubuh Cia Sun langsung terjengkang dan terguling-guling. Eng Eng lari mengejar dan kembali tangannya menampar ke arah kepala orang yang sudah rebah di atas tanah itu. Akan tetapi tangan itu hanya tertahan di udara, tidak jadi memukul.

Cia Sun terbatuk-batuk, dadanya terasa sesak. Akan tetapi dia masih tersenyum ketika mengangkat kepala memandang. "Kenapa tidak kau lanjutkan, Eng-moi? Pukullah, hajar dan siksalah aku, bunuhlah kalau hal itu akan dapat meredakan kemarahanmu."

"Kenapa... kenapa engkau tidak melawan? Tidak mengelak atau menangkis?!” Bentak Eng Eng.

"Untuk apa? Aku rela mati di tanganmu kalau engkau menghendaki itu, Eng-moi. Hanya kuminta, sebelum engkau membunuhku, dengarlah dulu keteranganku..."

"Huh, keterangan bohong! Penuh tipuan!"

"Andai kata benar aku berbohong sekali pun, kumohon padamu, lebih dahulu dengarlah kebohonganku sebelum engkau membunuhku. Setelah aku memberi keterangan, nah, engkau boleh percaya atau tidak, boleh membunuhku atau tidak, terserah padamu."

"Bohong! Kau penipu! Ahh, untuk kebohongan itu saja, aku dapat membunuhmu seratus kali!"

Dan kini Eng Eng kembali menampar, menendang dan menampar lagi sampai Cia Sun terguling-guling dan tidak mampu bergerak lagi. Pingsan! Pada waktu Eng Eng hendak memberi pukulan terakhir, ia teringat akan niat semula, yaitu membunuh pemuda itu di depan makam ibunya, maka ia pun menahan diri.

"Biar aku bersabar sampai besok. Engkau pasti akan mampus di depan makam ibuku, bedebah!" katanya.

Dia pun duduk di bawah pohon untuk bersemedhi. Akan tetapi, semedhinya tak pernah berhasil. Ia bahkan amat gelisah dan beberapa kali mendekati Cia Sun, untuk mendapat kepastian bahwa pemuda itu belum tewas.

Malam terganti pagi. Pagi yang amat indah. Sinar matahari pagi agaknya telah mengusir semua kegelapan, kegelapan alam yang berpengaruh terhadap keadaan hati tiap insan. Sinar matahari mendatangkan kehidupan. Burung-burung berkicau, sibuk menyiapkan diri untuk bekerja. Ayam jantan berkeruyuk saling sahut. Semua nampak cerah gembira, bahkan daun-daun nampak berseri.

Seluruh makhluk seolah-olah menyambut munculnya sinar kehidupan dengan puja-puji kepada Yang Maha Kasih. Sang Maha Pencipta melalui keharuman, melalui keindahan, melalui suara. Keharuman rumput dan tanah basah, daun dan bunga, keharuman udara itu sendiri.

Eng Eng juga terpengaruh oleh semua keindahan itu. Sekarang hatinya terasa ringan dan perasaan marahnya tidak terasa lagi olehnya. Namun, ketika ia menengok ke arah Pangeran Cia Sun, ia teringat segalanya dan ia pun segera bangkit menghampiri.

Cia Sun sudah siuman, namun seluruh tubuhnya masih terasa nyeri. Melihat gadis itu menghampiri, dia pun bangkit duduk, memandang kepada gadis itu dengan senyum sedih! Senyum itu seperti pisau menusuk kalbu bagi Eng Eng.

"Eng-moi, kenapa bekerja kepalang tanggung? Mengapa engkau tidak membunuh aku semalam?" tanya Cia Sun.

Eng Eng hampir tidak percaya. Pemuda bangsawan ini masih bersikap demikian manis kepadanya. Bukan, bukan sikap yang terdorong rasa takut, namun sikap yang demikian wajar. Masih tersenyum, dan pandang mata kepadanya itu demikian lembut dan mesra, jelas nampak sinar kasih sayang di dalamnya. Padahal, dia sudah menyiksanya sampai pingsan, bahkan nyaris membunuhnya!

"Aku akan membunuhmu di depan makam ibuku!" katanya singkat.

"Eng-moi, arwah ibumu akan berduka jika engkau melakukan itu. Aku bukan pembunuh ibumu, aku bahkan berusaha berusaha menyelamatkannya, dan ia meninggal dunia di dalam rangkulanku."

"Bohong!!"

"Eng-moi, untuk apa pula aku berbohong? Aku tidak takut mati, bahkan aku tidak akan penasaran mati di tanganmu. Aku hanya tidak ingin melihat engkau salah tindakan dan menyesal di kemudian hari. aku hanya ingin supaya engkau mengetahui dengan betul siapa sebetulnya dirimu. Aku telah mengetahui rahasia besar tentang dirimu, Eng-moi, dan aku akan menceritakan semua itu, kalau engkau bersedia mendengarkan. Memang semua akan kedengaran sangat aneh bagimu, dan mungkin engkau akan menganggap aku berbohong, akan tetapi demi Tuhan, aku tidak berbohong."

Agaknya sinar matahari memang berpengaruh besar terhadap hati manusia, setidaknya terhadap Eng Eng. Gadis itu merasa agak tenang dan ia bisa melihat kenyataan bahwa tidak ada ruginya mendengarkan apa yang akan diceritakan oleh pemuda itu. Bohong atau tidak, pemuda itu memang berhak untuk membela diri.

Dan melihat wajah yang tampan dan yang tadinya amat disayangnya itu agak bengkak-bengkak oleh tamparannya semalam, timbul juga perasaan iba di dalam hatinya.

"Bicaralah, tapi aku tetap tak akan percaya padamu," katanya dengan sikap ketus yang dipaksakan.

Eng Eng bahkan tidak menatap langsung wajah yang bengkak-bengkak itu. Dia merasa tidak enak, mengingatkan ia betapa ia telah bertindak kejam terhadap satu-satunya pria di dunia ini yang dicintanya.

Lega rasa hati Cia Sun. Dia sama sekali tidak akan menyesal kalau dia dibunuh wanita yang dicintanya ini, hanya dia akan merasa menyesal karena perbuatan itu merupakan suatu perbuatan yang berdosa bagi Eng Eng. Dia tidak ingin melihat kekasihnya ini menjadi seorang yang jahat.

"Eng-moi, setelah engkau membebaskan aku, aku lalu cepat pulang ke kota raja. Akan tetapi, setelah tiba di sana, aku mendengar bahwa Panglima Ciong memimpin pasukan untuk menyerbu Pao-beng-pai. Aku terkejut dan cepat aku kembali lagi ke sana untuk menyusul pasukan itu karena aku mengkhawatirkan keselamatanmu dan keselamatan ibumu. Namun aku terlambat. Setelah tiba di Ban-kwi-kok, pasukan telah menyerbu ke perkampungan Pao-beng-pai..."

"Tanpa adanya penunjuk jalan, tidak mungkin pasukan akan mudah memasuki daerah Pao-beng-pai yang dipasangi banyak jebakan rahasia!" Eng Eng memotong dan kini sepasang matanya mengamati wajah pemuda itu penuh selidik dan hatinya menuduh bahwa tentu pemuda itu yang menjadi penunjuk jalan.

"Dugaanmu memang benar, Eng-moi. Hal ini pun kuketahui kemudian dari perwira yang memimpin penyerbuan itu. Memang ada penunjuk jalan yang memungkinkan pasukan itu dapat menyerbu dengan mudah..."

"Engkaulah penunjuk jalan itu!" bentak Eng Eng.

Cia Sun tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Bukan, Eng-moi, bukan aku. Penunjuk jalan itu adalah seorang gadis, murid Pao-beng-pai sendiri, bernama Tio Sui Lan..."

"Bohong! Tidak mungkin...!" teriak Eng Eng.

Akan tetapi teriakan mulutnya ini tidak sesuai dengan perasaan hatinya yang menjadi bimbang. Setelah apa yang dilakukan Siangkoan Kok terhadap Sui Lan, memaksanya menjadi isteri dan memperkosanya, bukan hal yang tidak mungkin kalau Sui Lan lalu berkhianat.

Pula, Sui Lan tentu saja mengenal semua jalan rahasia naik ke sarang Pao-beng-pai, sedangkan Cia Sun tidak akan mengetahui banyak tentang jebakan-jebakan itu. Kalau Sui Lan yang menjadi penunjuk jalan, tentu saja pasukan itu akan dapat menyerbu naik dengan mudah.

"Engkau mau percaya atau tidak, terserah kepadamu, Eng-moi. Aku hanya mendengar keterangan para perwira. Ketika pasukan tiba di kaki bukit dan mulai mendaki, tiba-tiba muncul gadis itu yang kemudian menawarkan diri menjadi penunjuk jalan. Saat pasukan menyerbu, Siangkoan Kok sedang berkelahi dengan isterinya dan ibumu telah terdesak. Gadis yang mengkhianati gurunya itu kemudian menyerang Siangkoan Kok, akan tetapi dengan mudah ia dirobohkan dan tewas di tangan gurunya sendiri!"

"Tapi ibuku...! Tentu ia terbunuh oleh pasukan pemerintah!" kata Eng Eng, mulai tertarik karena apa yang diceritakan Cia Sun itu agaknya memang masuk akal. Ia sudah melihat mayat Sui Lan dan luka yang mengakibatkan kematiannya memang luka beracun yang dikenalnya sebagai racun dari pedang Siangkoan Kok!

Dengan sikap tenang Cia Sun menggeleng kepala. Kini senyumnya menghilang dan dia mengerutkan alisnya, mengenang kembali peristiwa menyedihkan itu.

"Sudah kuceritakan tadi, ketika pasukan menyerbu, aku cepat ikut di barisan depan karena aku ingin mencegah agar engkau dan ibumu tidak sampai ikut diserang. Ketika kami tiba di sana, kami melihat ibumu berkelahi dengan ayahmu dan ibumu lalu roboh tertendang ayahmu. Aku cepat mencegah ketika pasukan hendak menyerang ibumu yang sudah roboh, dan memerintahkan mereka mengejar ayahmu yang melarikan diri. Aku kemudian memondong tubuh ibumu yang pingsan dan ternyata ia telah menderita luka-luka parah, tentu ketika berkelahi melawan ayahmu…." Cia Sun berhenti sebentar untuk mengamati wajah Eng Eng dan melihat bagaimana tanggapan dan sikap gadis itu terhadap ceritanya.

"Terus, lalu bagaimana?" Eng Eng mulai tertarik dan pada saat seperti itu, ia lupa akan kemarahan dan kebenciannya terhadap Cia Sun.

"Aku membawa ibumu ke dalam rumah, kemudian kurebahkan di bangku panjang. Aku telah mencoba untuk merawatnya, akan tetapi sia-sia. Ibumu hanya siuman untuk bicara sedikit kepadaku, meninggalkan pesan-pesan dan akhirnya dia meninggal dunia dalam rangkulanku."

"Ibuku..., bagaimana aku bisa mempercayaimu? Engkau berbohong. Pada saat engkau merayuku, engkau hanya pura-pura..."

"Tidak, Eng-moi. Langit dan Bumi menjadi saksi bahwa aku sungguh mencintamu, sejak pertama kali kita bertemu, sampai sekarang..."

"Bohong! Pendusta!" Eng Eng kembali marah karena ia ingat akan percakapan antara pemuda ini dan orang tuanya, tentang pengakuan Cia Sun kepada ayah ibunya bahwa pemuda itu telah mencinta seorang gadis lain.

"Eng-moi, mengapa engkau tidak percaya kepadaku dan menuduhku berbohong?" Cia Sun bertanya.

Dia merasa kepalanya pening sekali, bumi seperti berputaran. Itu adalah akibat racun dari jarum Eng Eng, juga karena dia mengalami tamparan-tamparan malam tadi. Tetapi dia mempertahankan diri agar tidak jatuh pingsan lagi. Ia memandang gadis itu dengan sinar mata penuh permohonan.

Eng Eng melompat berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada pangeran itu dengan sinar mata membakar. Makin diingat tentang percakapan keluarga pangeran itu, semakin panaslah hatinya.

"Bagaimana aku dapat percaya omongan perayu busuk macam engkau? Engkau telah mencinta seorang gadis yang lain dan masih engkau berani mengatakan bahwa engkau mencintaku?"

Biar pun kepalanya sudah pening sekali, akan tetapi mendengar ucapan itu, Cia Sun membelalakkan matanya dan berkata dengan suara mengandung penasaran. "Sekali ini, engkau yang berbohong, Eng-moi! Aku tidak pernah dan tidak akan mencinta gadis lain kecuali engkau seorang!"

"Pendusta besar! Kedua telingaku sendiri mendengar pengakuanmu kepada ayah dan ibumu bahwa engkau mencinta gadis lain yang bernama Sim Hui Eng! Hayo sangkal kalau engkau berani! Kuhancurkan mulutmu kalau engkau berdusta!"

Cia Sun mencoba untuk tersenyum, akan tetapi karena rasa nyeri berdenyut-denyut di kepalanya, membuat kepalanya seperti akan pecah rasanya, senyumnya menjadi pahit sekali.

"Aku tidak berdusta, Eng-moi. Memang benarlah, aku mencinta Sim Hui Eng, semenjak pertama kali jumpa sampai sekarang dan aku akan tetap mencintanya karena Sim Hui Eng adalah engkau sendiri, Eng-moi... ahhh..." Cia Sun tidak dapat menahan lagi rasa nyeri di dada dan kepalanya. Dia pingsan lagi.

Cia Sun tidak tahu betapa Eng Eng memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan muka pucat. Sampai lama Eng Eng mengamati wajah Cia Sun, pandang matanya meragu.

Ia bernama Sim Hui Eng? Apa pula artinya ini? Benarkah semua yang diceritakan Cia Sun? Dia harus tahu apa artinya semua itu. Cia Sun mengaku kepada orang tuanya bahwa dia hanya mencinta gadis yang bernama Sim Hui Eng, dan kini dia menjelaskan bahwa Sim Hui Eng adalah ia sendiri! Bagaimana pula ini?

Namanya seperti dikenal Cia Sun adalah Siangkoan Eng. Kemudian karena ibunya membuka rahasia bahwa ia bukan puteri kandung Siangkoan Kok, ia pun tidak sudi lagi memakai nama keluarga Siangkoan, lebih memilih marga ibunya, yaitu Lauw. Dan kini, tiba-tiba saja Pangeran Cia Sun mengatakan bahwa ia she Sim, dan nama lengkapnya Hui Eng!

Jangan-jangan pangeran ini tidak bohong dan sudah mengenal ayah kandungnya. Ayah kandungnya! Ibunya amat membenci ayah kandungnya. Benarkah ayah kandungnya she Sim? Benarkah semua cerita Cia Sun? Sayang bahwa pemuda ini keburu jatuh pingsan sehingga tidak dapat melanjutkan keterangannya.

Eng Eng berlutut di dekat tubuh Cia Sun. Hatinya sempat berdegup ketika dia berada begitu dekat dengan pangeran itu, dan keharuan mulai menggigit perasaannya ketika ia melihat wajah yang tampan itu bengkak-bengkak. Ia cepat mengeluarkan sebutir pil, lalu menggunakan bekal air minumnya untuk memasukkan pil itu ke dalam mulut Cia Sun yang dibukanya dengan penekanan kepada rahang pemuda itu.

Pil itu sukar ditelan, maka terpaksa dia mendekatkan mulutnya dan meniup ke dalam mulut pemuda itu sehingga pil itu dapat tertelan karena ia telah menotok beberapa jalan darah, membuat pemuda itu hanya setengah pingsan. Kemudian ia mengurut sana sini, mengobati luka-luka memar itu dengan semacam obat gosok yang selalu dibawanya sebagai bekal. Lalu, ia menempelkan tangan kirinya ke dada pemuda itu, menyalurkan sinkang untuk membantu pemuda itu terbebas dari luka di sebelah dalam tubuhnya.

Akhirnya Cia Sun membuka matanya dan dia tersenyum melihat gadis itu bersimpuh di dekatnya sedang menempelkan telapak tangan ke dadanya. Terasa betapa lembutnya telapak tangan yang mengeluarkan hawa panas itu.

"Ah, Eng-moi, engkau masih mau mengobati dan menolongku? Terima kasih..." katanya lembut dan wajah yang kini hanya tinggal membiru karena bengkaknya sudah hilang itu tersenyum!

Senyum itulah yang menikam jantung Eng Eng. Kalau pangeran itu marah-marah dan memaki-makinya, kiranya hatinya tak akan sesakit itu. Sejak ditangkapnya tadi, sampai disiksanya, pangeran itu tidak pernah marah, bahkan selalu berbicara lembut, pandang matanya penuh kasih dan mulutnya tersenyum.

"Aku mengobatimu hanya supaya engkau tidak mampus sekarang," katanya, suaranya diketus-ketuskan. "Hayo katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu tadi bahwa aku bernama Sim Hui Eng! Jangan mempermainkan aku kalau kau tidak ingin kusiksa lebih berat lagi!"

"Sejak tadi aku tidak pernah mempermainkanmu, tak pernah berdusta, Eng-moi. Engkau yang kurang sabar mendengarkan keteranganku. Nah, sekarang aku lanjutkan ceritaku tadi. Sebelum ibumu meninggal dunia dalam rangkulanku, ia sempat menceritakan satu rahasia yang amat mengejutkan hatiku, juga tentu akan mengejutkan hatimu sehingga mungkin engkau semakin tak percaya kepadaku. Nah, sekarang sudah siapkah engkau mendengarkan ceritaku tentang pengakuan ibumu?"

Eng Eng merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kini ia hampir yakin bahwa pangeran ini tidak pernah berbohong kepadanya! Tidak pernah berbohong dan ia sudah menculiknya, menyiksanya dan bahkan nyaris membunuhnya. Kemungkinan ini membuat darahnya berdesir meninggalkan mukanya, membuat wajahnya menjadi pucat sekali.

"Ceritakan semua!" perintahnya.

"Rahasia yang dibuka oleh bibi Lauw Cu Si ini seluruhnya mengenai dirimu, Eng-moi. Pertama-tama, engkau bukanlah anak kandung Siangkoan Kok ketua Pao-beng-pai!"

Cia Sun mengira bahwa gadis itu akan terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi dia kecelik. Gadis itu sedikit pun tidak kelihatan kaget atau heran, bahkan mulutnya seperti membentuk senyum mengejek.

"Aku sudah tahu. Dia adalah ayah tiriku," katanya pendek.

Cia Sun menggeleng kepalanya. "Bukan, Eng-moi. Sama sekali bukan ayah tirimu. Dia bukan apa-apamu."

Eng Eng terbelalak. "Apa... apa maksudmu? Aku dibawa ibu ketika masih kecil, berusia dua tiga tahun ketika ibuku menikah dengan Siangkoan Kok! Kenapa kau katakan dia bukan ayah tiriku?"

"Inilah rahasia besar yang dibuka ibumu kepadaku, Eng-moi. Memang benar ketika bibi Lauw Cu Si itu menikah dengan Siangkoan Kok, dia membawa seorang anak kecil dan anak itu adalah engkau, Eng-moi. Akan tetapi, engkau bukan anak kandung bibi Lauw Cu Si!"

"Ehhh...?!!" Eng Eng berseru setengah menjerit. "Apa… apa maksudmu...?!" Tangan gadis itu menangkap lengan Cia Sun kemudian mencengkeramnya, seluruh tubuhnya gemetar dan wajahnya semakin pucat.

"Aku mendengar dari Nyonya Siangkoan Kok, yaitu bibi Lauw Cu Si, Eng-moi. Agaknya karena tahu bahwa dia akan tewas, maka dia membuka rahasia itu kepadaku. Engkau bukan anak kandungnya, engkau telah dia culik dari orang tuamu ketika engkau masih kecil, kemudian diakui sebagai anaknya sendiri."

"Tapi... tidak mungkin! Apa buktinya? Bagaimana aku dapat mengetahui benar tidaknya ceritamu ini?"

"Sabar dan tenanglah, Eng-moi. Aku pun tadinya terkejut dan kalau bukan bibi Lauw Cu Si sendiri yang bercerita, aku pun pasti tidak akan percaya. Akan tetapi, aku lalu teringat kepada Yo-toako! Engkau ingat Sin-ciang Taihiap Yo Han?"

Eng Eng mengerutkan alisnya. Tentu saja dia teringat kepada pendekar yang amat lihai itu. "Apa hubungannya dia dengan ceritamu itu?"

"Eng-moi, masih ingatkah engkau akan pengakuan Yo-toako bahwa dia sedang mencari seorang gadis yang diculik orang semenjak kecil? Gadis itu bernama Sim Hui Eng dan Yo-toako bertugas untuk mencarinya. Bahkan dia kemudian ditipu Siangkoan Kok yang menyuruh mendiang Tio Sui Lan untuk memancingnya ke dalam goa lalu menjebak dan menangkapnya. Nah, gadis yang dicari-carinya itu adalah engkau, Eng-moi. Engkaulah gadis yang ketika kecil diculik itu, dan penculiknya adalah bibi Lauw Cu Si yang selama ini kau anggap sebagai ibumu sendiri."

Eng Eng masih terbelalak dan seperti berubah menjadi patung. Tentu saja dia masih diombang-ambingkan kebimbangan.

"Tapi... tapi apa buktinya bahwa... ibuku meninggalkan pesan itu kepadamu, dan apa buktinya bahwa aku benar-benar gadis yang bernama Sim Hui Eng itu? Tanpa bukti, bagaimana mungkin aku dapat mempercayai ceritamu?"

Cia Sun menghela napas panjang. "Tentu saja aku tidak dapat membuktikan bahwa mendiang bibi Lauw Cu Si membuka rahasia itu kepadaku, juga ketika kami bicara, tidak ada seorang pun saksinya. Dan dia sudah meninggal dunia, jadi tidak mungkin lagi ditanyai. Akan tetapi, aku mempunyai suatu tanda rahasia yang ada pada dirimu, seperti yang diceritakan Yo-toako kepadaku. Ketika Yo-toako menerima tugas mencari anak yang hilang diculik itu, orang tua anak itu memberi tahukan kepadanya adanya dua tanda rahasia di badan anak itu yang merupakan ciri-ciri khas atau tanda sejak lahir. Jika aku katakan tanda-tanda itu dan kemudian ternyata cocok dengan keadaan dirimu, apakah engkau masih akan menganggap aku pendusta yang patut kau siksa dan kau bunuh di depan makam bibi Lauw Cu Si?"

Tentu saja Eng Eng menjadi sangat bingung dan salah tingkah. Ia merasa ngeri kalau membayangkan bahwa pangeran itu benar dan sama sekali tidak berdusta, sama sekali tidak menipunya, dan ia telah menyiksanya seperti itu!

"Katakanlah, tanda-tanda apa yang terdapat pada anak yang diculik itu?" tanyanya, suaranya jelas terdengar gemetar.

"Yo-toako hanya berpegang pada tanda-tanda itu saja untuk mencari anak yang hilang terculik itu, maka tentu saja amat sukar karena tanda-tanda itu terdapat di bagian tubuh yang selalu tertutup..."

"Katakan cepat, tanda-tanda apa itu?" tanya Eng Eng dengan suara nyaring karena ia sudah tidak sabar sekali.

"Pertama, anak itu mempunyai sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya, dan ke dua, ia pun mempunyai sebuah noda merah sebesar ibu jari kaki di telapak kaki kanannya."

Eng Eng meloncat ke belakang. Matanya terbelalak dan seluruh tubuhnya menggigil.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Tangan Sakti