SI TANGAN SAKTI : JILID-21


Akhirnya Sian Li yang lebih dulu bicara, suaranya agak ketus dan ucapannya ditujukan kepada Hui Eng.

"Sekarang boleh kau katakan kepadaku, apa artinya ini semua? Engkau yang pernah mengacau dan memusuhi keluarga kami, mengapa sekarang mendadak membantuku? Bukankah engkau tokoh Pao-beng-pai dan Siangkoan Kok tadi ketua Pao-beng-pai?"

Sebelum Hui Eng menjawab, karena hal ini terasa sukar sekali baginya, Cia Sun yang mendahuluinya memberi keterangan.

"Nona Tan Sian Li, memang sudah terjadi perubahan besar sekali atas diri Eng-moi ini. Jangankan engkau atau orang lain, dia sendiri pun terheran-heran ketika mendengar tentang keadaan dirinya."

Sian Li mengerutkan alisnya dan kini dia mengamati wajah pemuda itu dengan penuh selidik. Sikapnya masih dingin. "Hemmm, sebelum engkau bercerita, katakan dulu siapa engkau ini dan bagaimana engkau dapat mengenal namaku!"

Wajah pangeran itu berubah menjadi kemerahan dan dia pun salah tingkah. "Ehhh... sebetulnya... yang mengenalimu tadi bukanlah aku, melainkan Eng-moi ini, Nona. Aku bernama Cia Sun..."

"Cia...?" Sekarang Sian Li terbelalak memandang pemuda itu dan perlahan-lahan kedua pipinya berubah kemerahan. "Cia Sun...? Kau... maksudkan pangeran...?"

"Benar, Nona. Aku adalah Pangeran Cia Sun yang oleh orang tua kita..." Cia Sun tidak melanjutkan kata-katanya.

"Sudahlah, Pangeran. Harap engkau suka menceritakan tentang semuanya ini, tentang Enci ini, tentang perubahan yang kau katakan tadi."

Sian Li memotong untuk mengalihkan pembicaraan karena ia menjadi rikuh sekali kalau harus bicara tentang hubungan di antara mereka. Siapa yang tidak menjadi rikuh dan gugup kalau secara tiba-tiba dihadapkan kepada seorang pemuda yang oleh ayah dan ibunya dicalonkan menjadi suaminya.

"Nona, ketika memusuhi keluargamu dan para pendekar, Eng-moi ini adalah seorang gadis yang bernama Siangkoan Eng, puteri dari ketua Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Kok. Akan tetapi, sekarang Eng-moi bukan lagi puteri ketua Pao-beng-pai, bahkan musuh besarnya, karena Eng-moi ini sebenarnya adalah puteri dari suami isteri pendekar Sim Houw dan Can Bi Lan, yang hilang ketika masih kecil."

Sian Li terbelalak. "Aihhh...! Jadi engkau... engkau inikah puteri Paman Sim Houw yang hilang itu? Engkau yang dicari-cari semua pendekar, dicari oleh Han-koko dan aku pun ikut membantu mereka mencarimu? Dan engkau bahkan pernah datang menemui kami sebagai seorang musuh yang sengaja menantang kami?"

"Benar sekali, adik Sian Li. Ketika itu aku sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa aku bahkan anggota keluarga dekat dengan keluarga yang kutantang, sama sekali tak tahu bahwa aku bukanlah anak kandung Siangkoan Kok dan isterinya. Wanita yang sejak aku kecil mengaku sebagai ibu kandungku itu adalah Lauw Cu Si, seorang keturunan Beng-kauw yang memusuhi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir."

Kemudian, secara singkat namun jelas, diceritakanlah semua mengenai dirinya, tentang Siangkoan Kok dan Lauw Cu Si kepada Sian Li yang mendengarkan dengan bengong. Cerita itu sungguh seperti dongeng dan tentu saja dia tidak dapat menyalahkan Hui Eng atas sikapnya ketika memusuhi keluarganya dahulu. Bahkan dia lalu memegang kedua tangan Hui Eng.

"Aihhh, enci Hui Eng. Sungguh malang nasibmu, sejak kecil dipisahkan dari ayah ibu kandung dan dipelihara oleh orang-orang sesat. Akan tetapi dasar engkau keturunan suami isteri pendekar, maka biar pun engkau mendapat didikan para tokoh sesat, tetap saja engkau setelah dewasa berjiwa pendekar dan menentang kejahatan. Kemudian, bagaimana pula ceritanya, engkau dapat bertemu dan berkenalan dengan... Pangeran Cia Sun ini dan kalian dapat datang tepat pada waktunya selagi aku terancam oleh pengeroyokan mereka tadi?"

"Kami saling berkenalan ketika aku dan kakak angkatku Yo Han..."

"Kakak angkatmu, Pangeran?" Sian Li terbelalak.

"Benar, Nona Tan. Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan aku sudah saling mengangkat saudara. Kami bertemu di Pao-beng-pai, kemudian kami mengangkat saudara setelah kami menjadi tawanan di Pao-beng-pai. Untunglah ada adik Eng ini yang membebaskan kami. Lalu Pao-beng-pai diserbu oleh pasukan pemerintah. Aku yang mengkhawatirkan nasib Eng-moi, lalu ikut pasukan untuk mencarinya. Akan tetapi dia tidak ada dan aku malah sempat bertemu dengan isteri Siangkoan Kok yang tewas oleh suaminya sendiri. Sebelum meninggal dunia, wanita itulah yang membuka rahasia Eng-moi kepadaku…"

Pangeran itu menghentikan kisahnya dan kini Hui Eng yang melanjutkan.

"Aku mengira bahwa Pangeran Cia Sun yang membawa pasukan dan menghancurkan Pao-beng-pai. Aku tak peduli kalau Pao-beng-pai yang jahat itu hancur, akan tetapi aku mendendam karena wanita yang tadinya kuanggap ibu kandungku itu tewas. Maka aku menyusul ia dan menawannya, dengan maksud membunuhnya di depan makam ibuku. Akan tetapi, aku mendengar ceritanya dan aku mengetahui keadaan diriku. Kami... kami lalu berbaik kembali, apa lagi setelah aku mendengar bahwa wanita yang kuanggap ibu kandungku itu tewas di tangan Siangkoan Kok."

"Tapi, kenapa kalian dapat datang ke Thian-li-pang?" tanya Sian Li yang masih terkesan oleh kisah yang terjadi antara kedua orang itu.

Pangeran Cia Sun yang mengambil keputusan untuk berterus terang, lalu menyambung cerita kekasihnya tadi. "Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa orang tua kita sudah menjodohkan kita, akan tetapi sebaiknya aku berterus terang kepadamu, nona Tan Sian Li. Meski setelah bertemu denganmu aku merasa bahwa orang tuaku telah melakukan pilihan yang tepat dan bahkan terlalu baik untukku, akan tetapi aku sudah saling jatuh cinta dengan Eng-moi dan kami telah bersumpah untuk menjadi suami isteri. Maafkan aku kalau menyinggung..."

Sian Li tersenyum! Senyum yang cerah dan sedikit pun tidak mengandung penyesalan sehingga melegakan hati Cia Sun dan Hui Eng. "Aku bahkan merasa lega dan gembira dengan pernyataanmu ini, Pangeran. Terus terang saja, aku sendiri pun sama sekali tak setuju dengan tindakan ayah dan ibuku yang memilihkan seorang calon suami untukku, seorang yang sama sekali tidak kukenal dan tidak kuketahui bagaimana orangnya. Nah, sekarang ceritakan bagaimana kalian dapat datang ke sini.”

"Aku hendak mengantar Eng-moi menghadap ayah dan ibu kandungnya yang tinggal di Lok-yang. Akan tetapi dalam perjalanan itu kami mendengar akan sepak terjang orang-orang Thian-li-pang. Aku merasa penasaran sekali kenapa Thian-li-pang dapat berubah menjadi perkumpulan yang menyeleweng, padahal, kakak angkatku Yo Han itu menjadi ketua kehormatannya. Aku lalu mengajak Eng-moi untuk berkunjung, dan kalau di sana ada Yo-toako, aku ingin menegurnya."

Sian Li kembali terheran-heran. "Pangeran, apakah engkau masih belum tahu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan para pejuang yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah?! Dan engkau sendiri seorang pangeran kerajaan Ceng..."

"Benar, Nona. Aku adalah seorang Pangeran Mancu, pemerintah penjajah. Akan tetapi aku sendiri tidak menyetujui penjajahan dan menganggap bahwa perjuangan para orang gagah itu memang sudah benar dan menjadi hak mereka. Aku tidak ingin mencampuri urusan itu. Aku bercita-cita untuk menjadi orang biasa yang tidak mencampuri urusan pemerintahan. Bahkan kami sekeluarga pun tak mau memiliki ambisi untuk memegang kedudukan. Sebab itu, selama perkumpulan pejuang benar-benar merupakan pahlawan dan patriot sejati, aku menghormati mereka. Akan tetapi kalau mereka itu melakukan penyelewengan dan menjadikan perjuangan sebagai kedok untuk menutupi kejahatan yang mereka lakukan, aku pasti akan menentang mereka."

Sian Li mengangguk-angguk kagum dan dia memandang kepada Hui Eng.

"Aihh, enci Eng, engkau sudah mendapatkan seorang calon suami yang gagah perkasa. Sekarang tahulah aku kenapa ayah dan ibu berkeras hendak menjodohkan aku dengan Pangeran Cia Sun! Harap kau lanjutkan ceritamu, Pangeran."

Mendengar ucapan San Li yang begitu jujur dan terbuka, memuji pangeran itu begitu saja tanpa disembunyikan, sepasang kekasih itu tersipu akan tetapi juga merasa suka dan kagum kepada Si Bangau Merah.

"Kami segera mendaki Bukit Naga ini dan melihat engkau dikeroyok tadinya aku merasa ragu karena tidak tahu urusannya. Tapi begitu Eng-moi mengenalmu dan menyebutkan namamu, kami berdua segera terjun dan membantumu."

Sian Li menghela napas panjang. "Pertolongan Tuhan datang melalui apa saja, bahkan yang tidak pernah terduga sekali pun. Siapa yang pernah menyangka bahwa aku akan diselamatkan oleh orang yang ditunangkan denganku akan tetapi tak pernah kukenal dan akhirnya harus kutolak, dan oleh orang yang tadinya jelas memusuhi keluargaku? Kalian datang pada saat yang tepat sekali, karena tadi aku sudah hampir tidak tahan menghadapi mereka, terutama sekali Ouw-pangcu, ketua baru Thian-li-pang yang amat lihai itu."

"Sekarang tiba giliranmu, Nona. Kami ingin sekali mengetahui bagaimana engkau dapat berada di sana tadi dan dikeroyok banyak orang lihai?" tanya Cia Sun.

Ditanya begitu, Sian Li teringat akan Yo Han dan mendadak wajahnya menjadi muram. Kalau saja dia bukan seorang gadis yang tabah dan berhati baja, tentu dia pun sudah menangis karena teringat bahwa mungkin sekali pria yang dikasihinya itu telah tewas.

Cia Sun dan Hui Eng melihat perubahan muka Sian Li itu dan mereka saling pandang. Ketika beberapa kali Sian Li hanya menghela napas panjang dan menunduk, alisnya berkerut, Cia Sun menjadi tidak sabar lagi.

"Nona, apakah yang telah terjadi? Apakah ada sesuatu yang membuat engkau enggan menceritakan kepada kami? Kalau begitu, engkau tidak usah menceritakannya..."

"Tidak, Pangeran, bukan begitu, tetapi, ahhh, hatiku sangat risau dan gelisah. Maafkan kelemahanku ini dan biarlah kuceritakan dari semula. Sebelum kuceritakan semuanya, sebaiknya kalau aku pun membuat pengakuan padamu, pengakuan yang hanya dapat aku lakukan setelah engkau berterus terang tentang hubunganmu dengan enci Hui Eng. Pangeran, aku dan kakak Yo Han... kami berdua... ehhh..."

Melihat keraguan Sian Li dan perubahan mukanya yang menjadi merah sekali, terlebih lagi bibirnya yang mengulum senyum malu-malu, Cia Sun lalu tersenyum, "Kalian saling mencinta?"

Sian Li mengerling kepadanya dan mengangguk.

"Ha, sudah kuduga, Nona. Engkau memang pantas sekali menjadi calon isteri Yo-toako. Nah, teruskan ceritamu."

"Pada waktu tiga orang keluarga besar berkumpul di rumah Paman Suma Ceng Liong, aku tidak melihat Yo Han koko di sana. Aku tahu bahwa dia sedang membantu Paman Sim Houw untuk mencarikan puterinya yang hilang. Oleh karena itu, aku lalu mengambil keputusan untuk membantunya mencarikan enci Hui Eng."

Mendengar ini, Hui Eng lalu berkata. "Aihhh, kalian semua begitu baik, bersusah payah mencari aku, akan tetapi aku sendiri malah sudah bertindak jahat, mengacau di sana..." Suaranya penuh penyesalan.

"Ahh, enci Eng. Seperti yang dikatakan Pangeran tadi, ketika itu engkau bukanlah enci Sim Hui Eng yang sekarang, melainkan Siangkoan Eng puterinya ketua Pao-beng-pai. Yang sudah lewat anggap saja mimpi buruk, Enci."

"Engkau benar adik Sian Li. Teruskan ceritamu."

Sian Li kemudian menceritakan bahwa dalam perjalanannya, ia pun mendengar tentang kejahatan orang-orang Thian-li-pang, maka dia pun merasa penasaran dan ingin sekali menyelidiki. Akhirnya dia bertemu dengan para tokoh Bu-tong-pai di lereng Bukit Naga dan mendengar penuturan mereka yang membuat dirinya terkejut setengah mati, yaitu bahwa kabarnya, Yo Han tewas di tangan ketua Thian-li-pang yang baru.

"Apa...?! Tidak mungkin itu!" Cia Sun berseru kaget setengah mati.

"Aku sendiri juga tidak percaya, Pangeran. Lebih tak percaya lagi ketika Ouw Seng Bu, ketua yang baru itu, menceritakan bahwa Han-koko sudah membunuh para pimpinan Thian-li-pang, dan bahwa Han-koko datang untuk membunuh dia. Dia melawan di dekat sumur tua dan akhirnya terluka oleh pukulan Han-koko, akan tetapi para anak buahnya mengeroyok Han-koko yang katanya tergelincir masuk ke dalam sumur tua itu. Dan... dan... mereka lalu menimbuni sumur tua itu dengan batu." Suara Sian Li terdengar lirih dan penuh kegelisahan.

"Tetapi, aku tetap tidak percaya! Memang ketua baru Thian-li-pang itu lihai, akan tetapi tidak mungkin dia mampu membuat Yo-toako terjatuh ke dalam sumur. Tidak mungkin Yo-toako tewas, aku tidak percaya!" kata Cia Sun keras sambil mengepal tinju, namun suaranya mengandung isak tertahan, tanda bahwa dia juga merasa gelisah sekali.

"Pangeran, biarlah adik Sian Li melanjutkan ceritanya. Lalu apa yang terjadi kemudian, Li-moi?"

"Aku menuntut kepada Ouw-pangcu agar anak buah Thian-li-pang menggali sumur itu dan menyingkirkan timbunan batu-batu. Akan tetapi dia melarang dengan alasan sumur itu keramat bagi Thian-li-pang dan tidak boleh diganggu. Kami bercekcok, lalu berkelahi dan aku dikeroyok oleh mereka."

"Aku tetap tidak percaya! Nona, apakah engkau percaya akan keterangan itu? Bohong, ketua Thian-li-pang itu tentu orang jahat yang berhasil menguasai Thian-li-pang dengan ilmu kepandaiannya. Mungkin dialah yang telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang dan menjatuhkan fitnah kepada Yo-toako. Kita harus menyelidiki hal ini!"

"Aku pun tidak percaya, Pangeran. Akan tetapi, satu hal yang sangat mencemaskan hatiku adalah kesaksian yang diberikan oleh Cu Kim Giok."

"Cu Kim Giok? Siapakah itu?" tanda Sim Hui Eng dan Cia Sun hampir berbareng.

"Cu Kim Giok adalah puterinya Paman Cu Kun Tek dan Bibi Pouw Li Sian dari Lembah Naga Siluman. Dia keturunan terakhir dari keluarga Lembah Naga Siluman dan masih terhitung kerabat yang ada hubungan pertalian kekeluargaan denganku. Aku merasa heran bukan main melihat ia bisa berada di sana, bahkan nampak akrab sekali dengan Ouw-pangcu itu. Kim Giok inilah yang memberi kesaksian bahwa Ouw-pangcu memang terluka parah oleh pukulan Han-koko. Kehadiran Kim Giok di sana bukan sembarangan saja, pasti tersembunyi rahasia di balik itu semua."

"Aihh, jangan-jangan gadis itu sudah dipengaruhi oleh Ouw Seng Bu itu."

"Aku pun menduga begitu, Pangeran. Akan tetapi, jelas bahwa Kim Giok tidak menjadi jahat karenanya. Buktinya, dia berkali-kali memperingatkan Ouw-pangcu supaya jangan membunuhku atau melukaiku. Agaknya dia pun percaya bahwa Ouw-pangcu berada di pihak yang benar, bahwa ketua baru itu benar seorang pejuang, seorang pendekar dan pahlawan, dan agaknya dia pun membenarkan Ouw-pangcu dalam urusannya dengan Han-koko. Pasti ada apa-apanya di balik semua ini."

"Pangeran, adik Sian Li, kita semua sudah saling menceritakan apa yang kita alami. Kini tak ada gunanya untuk menduga-duga dan berheran-heran. Yang terpenting, kita harus menyelidiki sumur tua itu. Kita harus dapat melihat kenyataan apakah benar Yo Taihiap sudah tewas seperti dikatakan Ouw-pangcu itu. Dengan demikian, kita tidak ragu lagi dan setelah itu baru kita putuskan, tindakan apa yang akan kita ambil."

"Tepat sekali apa yang dikatakan oleh dinda Hui Eng, Nona. Kita semua harus berusaha sekuat tenaga untuk mencari bukti tentang keadaan Yo-toako. Karena bukan tidak ada sebabnya kalau orang-orang Thian-li-pang itu kemudian menimbuni sumur yang mereka anggap keramat itu dengan batu. Walau pun kita tidak percaya akan berita tewasnya Yo-toako, namun kita harus mendapat kepastian."

Sian Li mengangguk. "Memang kalian benar, dan aku pun sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan mau pergi dari sini sebelum mendapat kenyataan yang jelas tentang diri Han-koko."

Mereka bertiga lalu turun lagi untuk mencari pedusunan di mana mereka bisa membeli makanan. Setelah membawa bekal makanan kering dan minuman, mereka bertiga lalu berangkat lagi mendaki Bukit Naga. Mereka mencari jalan agar dapat memasuki daerah perkampungan Thian-li-pang dari belakang, langsung menuju ke sumur tua yang berada di bagian belakang. Sumur yang dipisahkan oleh sebuah bukit kecil dari perkampungan perkumpulan itu…..

********************

"Adik Gan Bi Kim, kau tunggu dulu...!"

Gan Bi Kim menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh. Dia melihat pemuda itu berlari cepat menghampirinya. Wajah Bi Kim berseri gembira ketika mengenal bahwa pemuda itu adalah Gak Ciang Hun, pemuda yang selalu terbayang di pelupuk matanya semenjak mereka bertemu lalu berpisah.

Dalam keadaan duka karena kasihnya yang gagal terhadap Yo Han, ia bertemu pemuda itu yang juga mengalami derita patah hati karena kasihnya terhadap Si Bangau Merah tidak terbalas. Mereka seolah-olah merasa saling menemukan, saling menghibur serta saling mengisi kekosongan hati masing-masing.

Tetapi, pertemuan singkat itu segera diakhiri perpisahan, membuat Gan Bi Kim merasa kehilangan. Mereka bertiga, dia, Gak Ciang Hun, dan Tan Sian Li, harus saling berpisah di jalan perempatan. Sian Li melakukan perjalanan ke utara, Ciang Hun ke selatan, dan Bi Kim ke timur. Mereka bertiga bertujuan sama, yaitu membantu pencarian terhadap puteri Sim Houw yang hilang sejak kecil, yaitu Sim Hui Eng.

"Gak-toako...!" Bi Kim berseru dan kini ia pun lari menghampiri, menyambut pemuda itu dengan hati terbuka dan kedua tangan di julurkan ke depan. Sejak berpisah, dia merasa kehilangan dan kesepian, kehilangan gairah dan semangat.

"Kim-moi (adik Kim)...!"

Kedua orang itu saling menjulurkan kedua tangan, saling tatap tanpa kata. Dua pasang mata itu bersinar-sinar, lalu mata Ciang Hun berkaca-kaca sedangkan Bi Kim yang berusaha keras menahan keras guncangan hatinya, tidak urung meneteskan beberapa butir air mata saking merasa lega dan bahagia dapat bertemu kembali dengan orang yang amat dikenangnya.

Ketika ada beberapa orang pejalan kaki mendatangi, Ciang Hun menggandeng tangan Bi Kim ke tepi jalan dan mengajaknya duduk di atas batu besar. "Mari kita bicara di sini, Kim-moi," katanya.

Setelah duduk saling berhadapan di atas batu, Bi Kim berkata, "Toako, aku tadi merasa seperti dalam mimpi ketika mendengar panggilanmu, kemudian melihat bahwa engkau benar-benar datang. Kiranya bukan mimpi dan sekarang betapa bahagianya rasa hatiku melihatmu, Toako."

Ciang Hun menggenggam tangan yang masih digandengnya. Dari tangan mereka yang saling genggam itu saja sudah terasa getaran hati mereka yang berbahagia.

"Kim-moi, aku gembira sekali bahwa engkau merasa berbahagia melihat aku mengejar dirimu. Tadinya aku khawatir kalau-kalau engkau akan marah."

"Marah? Aihh, Toako, pada saat kita saling berpisah, aku merasa kehilangan pegangan, seolah hidupku hampa. Tetapi, apakah yang menyebabkan engkau kembali kepadaku? Apakah ada sesuatu yang penting?"

Ciang Hun tersenyum dan menggelengkan kepala, nampak agak tersipu. Akan tetapi dengan sejujurnya dia berkata, "Kim-moi, setelah kita saling berpisah, entah mengapa, hatiku selalu terasa berat. Lalu kupikir betapa besar bahaya yang mengancammu dalam perjalanan seorang diri. Apa lagi mengingat bahwa kita sama-sama hendak membantu dan mencari Sim Hui Eng, maka apa salahnya kalau kita mencari bersama? Dengan berdua, atau bertiga dengan Sian Li, kita akan lebih kuat menghadapi bahaya, bukan? Nah, aku lalu berbalik mengejarmu."

Bi Kim tersenyum, "Kalau begitu pikiran kita sama. Aku pun senang sekali engkau akan menemaniku, Toako. Marilah kita segera menyusul Sian Li ke utara."

"Aku pernah mendengar bahwa Yo Han menjadi pemimpin Thian-li-pang di Bukit Naga. Sian Li mungkin sekali mencari Yo Han yang dicintanya itu untuk membantunya karena Yo Han sedang mencari Hui Eng. Mari kita cari Sian Li ke sana, siapa tahu ia pergi ke Thian-li-pang di Bukit Naga."

Setelah Ciang Hun berada di sampingnya, tentu saja Bi Kim mengikuti saja ke mana pemuda itu pergi. Mereka berdua melakukan perjalanan cepat ke utara dan kini mereka merasakan betapa perjalanan mereka amat menyenangkan, tidak lagi merasa kesepian dan kehilangan…..

********************

Kita tinggalkan dulu kedua orang ini dan kita tengok keadaan Sian Li, Hui Eng, dan Cia Sun. Tiga orang ini telah mengambil keputusan untuk menyelidiki sumur tua di belakang Thian-li-pang untuk mencari bukti kebenaran bahwa Yo Han berada di dalam sumur dan ditimbuni batu-batu.

Setelah membuat persiapan secukupnya, tiga orang pendekar ini mendaki Bukit Naga dari arah belakang Thian-li-pang. Mereka adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka biar pun perjalanan pendakian itu amat sulit bagi orang biasa, tapi dalam waktu yang cukup singkat mereka dapat juga sampai di belakang bukit yang memisahkan sumur itu dengan pusat Thian-li-pang.

Tempat ini memang merupakan tempat yang seolah terasing. Juga dianggap keramat oleh para murid Thian-li-pang sehingga tanpa ijin ketua, tak seorang anggota pun berani memasuki daerah yang menyeramkan itu.

Hari masih pagi sekali ketika mereka mulai mendaki bukit dan kini matahari sudah mulai menyengatkan cahayanya setelah mereka tiba di dekat sumur yang ditimbuni batu-batu. Tempat itu nampak sunyi, tidak nampak ada seorang pun anak buah Thian-li-pang.

Hal ini melegakan hati ketiga orang pendekar itu, membuat mereka lebih leluasa untuk melakukan pemeriksaan. Andai kata di situ terdapat anak buah Thian-li-pang, mereka tentu harus merobohkan terlebih dahulu sebelum dapat melakukan pemeriksaan.

Sian Li mengerutkan alisnya saat menjenguk ke dalam sumur tua itu. Sumur itu tertutup banyak batu-batu dan rasanya tidak mungkin batu-batu itu dapat digali dan disingkirkan hanya oleh mereka bertiga. Tentu akan memakan waktu berhari-hari!

"Ahhh, benarkah Yo-toako ditimbuni batu-batu itu di dalam sumur ini?" Aku sama sekali tidak dapat percaya!"

Sim Hui Eng juga memandang ngeri ke dalam sumur itu. "Aihhh, adik Sian Li, bagai mana kita akan dapat menyingkirkan batu-batu itu? Tidak tahu sampai berapa dalamnya sumur ini dan berapa banyaknya batu yang menimbuninya."

"Bagaimana pun juga, kita harus membongkar batu-batu itu dan mengangkatnya keluar dari sumur. Kalau tidak begitu, bagaimana kita akan dapat membuktikan bualan ketua baru Thian-li-pang itu?"

Tapi Sian Li berkata, "Nanti dulu, Pangeran. Coba engkau dan enci Eng menyerang dan mengeroyokku di dekat sumur ini, aku ingin melihat kemungkinan Han-koko tergelincir ke dalam sumur. Mungkin atau tidak hal itu terjadi kalau kita sedang dikeroyok. Harap kalian mengeroyok dengan sungguh-sungguh, karena kalau benar Han-koko berkelahi melawan ketua Thian-li-pang itu, dan dikeroyok oleh para sekutunya, berarti Han-koko menghadapi banyak lawan tangguh. Nah, mulailah."

Mengerti apa yang dimaksudkan Si Bangau Merah, Cia Sun dan Hui Eng mengangguk, kemudian keduanya sudah menyerang gadis itu dari kanan kiri. Sian Li mengelak dan menangkis, dan membiarkan dirinya terdesak sampai ke tepi sumur. Dengan cara tidak membalas, ia lalu terdesak mundur sampai ke tepi sumur. Tiba-tiba, nampak bayangan merah berkelebat ke atas dan gadis itu sudah meloncati kedua orang lawannya, seperti seekor burung bangau melayang, melampaui kepala mereka.

"Cukup sudah!" katanya. "Nah, kalian lihat sendiri. Dalam keadaan gawat menghadapi pengeroyokan, aku saja kiranya mampu meloloskan diri dengan mengandalkan ginkang. Apa lagi Han-koko yang memiliki tingkat ginkang jauh lebih tinggi dariku. Jadi, mustahil kalau sampai mereka itu dapat membuat Han-koko tergelincir ke dalam sumur, bukan?"

"Tepat, Nona. Aku pun sama sekali tak percaya bahwa Yo-toako demikian bodoh untuk dapat dibuat tergelincir ke dalam sumur yang bibirnya cukup tinggi ini," kata Pangeran Cia Sun sambil menyentuh bibir sumur yang tingginya ada satu satu meter itu. "Dia pasti berbohong!"

"Adik Sian Li, lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? Apakah tidak lebih baik kita serbu saja Thian-li-pang, menangkap ketuanya dan memaksanya untuk mengaku, atau memaksa dia mengerahkan anak buahnya untuk membongkar batu-batu dalam sumur ini?" kata Hui Eng.

"Atau kalau kekuatan mereka terlampau besar bagi kita, biarlah aku mencari bantuan ke benteng pasukan yang terdekat."

"Nanti dulu, Pangeran. Aku memang sangat mengkhawatirkan keselamatan Han-koko. Akan tetapi, andai kata ia benar tewas, kurasa tentu bukan karena perkelahian melawan orang-orang jahat itu. Ia mungkin saja tewas atau tertawan akibat dijebak, dan mungkin saja ia tidak berada di dalam sumur ini, melainkan ditawan di suatu tempat rahasia di sarang Thian-li-pang."

"Ahhh, itu mungkin sekali!" kata Cia Sun.

"Bagaimana kalau kita bertiga mencari secara berpencaran? Dengan terpencar, selain lebih mudah menyusup, juga pencarian dapat dilakukan lebih luas," kata Hui Eng.

Wajah Sian Li nampak berseri. "Demikianlah sebaiknya, enci Eng! Akan tetapi... ahhh, aku merasa tidak enak sekali karena selain merepotkan kalian, juga menyeret kalian ke dalam bahaya besar mengingat betapa lihainya mereka."

"Ihhh, nona Tan, mengapa engkau mengatakan demikian? Kakak Yo Han adalah kakak angkatku, karena itu sudah sepatutnya kalau aku rela mengorbankan nyawa sekali pun untuk membelanya!" kata Cia Sun.

"Ucapan itu tepat sekali," sambung Hui Eng. "Adik Sian Li, bukankah keluarga orang tua kita sejak dulu merupakan keluarga besar para pendekar? Aku telah terseret ke dalam dunia sesat, tetapi sekarang tibalah saatnya aku menebus semua kekuranganku itu dan memperlihatkan kepada dunia bahwa aku masih tetap keturunan keluarga pendekar!"

Sian Li memandang dengan haru. "Kalau begitu, semoga Tuhan melindungi kita semua. Aku akan mengambil jalan dari sini ke kiri, dan engkau ke kanan, enci Eng. Pangeran sendiri melakukan penyelidikan di sini dan terus ke bagian belakang Thian-li-pang."

"Dan kapan kita bertemu lagi? Di mana?"

"Di sini saja. Setelah kita melakukan penyelidikan, kita kembali ke sini dan siang atau sore ini kita harus sudah kembali ke sini mengumpulkan hasil penyelidikan kita," kata Sian Li.

Setelah bersepakat, Sian Li berkelebat ke kiri dan Hui Eng meloncat ke kanan. Dalam sekejap mata saja kedua orang gadis perkasa itu telah lenyap, meninggalkan Cia Sun seorang diri.

Pangeran ini termenung, hatinya diliputi penuh kekhawatiran. Pertama-tama tentu saja dia mengkhawatirkan Hui Eng, gadis yang dicintanya, kemudian dia mengkhawatirkan Yo Han dan Sian Li. Pihak musuh terlampau kuat, dan jumlah mereka terlalu banyak.

Dia memang tidak ingin mencampuri urusan pemerintah, juga tidak mencampuri urusan perjuangan atau pemberontakan. Akan tetapi kali ini ia harus mencari bantuan pasukan pemerintah, bukan untuk membasmi pemberontak, melainkan untuk melindungi kedua orang gadis itu dan mencari keterangan tentang Yo Han.

Biar pun dia tahu bahwa Hui Eng memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bahkan belum tentu di bawah tingkat kepandaian Si Bangau Merah, akan tetapi menghadapi Thian-li-pang yang mempunyai anak buah ratusan orang banyaknya, belum lagi sekutu-sekutunya yang banyak dan lihai, apa yang dapat diperbuat oleh dua orang gadis itu dibantu olehnya seorang diri?

Setelah berpikir keras, Cia Sun meninggalkan tempat itu, bukan untuk menyelidiki ke Thian-li-pang, melainkan kembali menuruni bukit itu untuk memasuki dusun di mana tadi mereka membeli bekal makanan. Dia tahu bahwa kurang lebih seratus li dari dusun itu terdapat benteng Siang-heng-koan di mana terdapat pasukan pemerintah. Dia sendiri tidak mungkin pergi ke sana karena dia harus membantu dua orang gadis itu.

Melihat seorang laki-laki sedang menggarap sawah di luar dusun itu, Cia Sun segera memanggilnya dari pinggir sawah. Laki-laki itu bertubuh kuat berkat pekerjaan berat di sawah dan setiap hari mandi cahaya matahari, usianya sekitar empat puluh tahun.

"Toako, kesinilah sebentar. Aku mempunyai urusan penting untuk dibicarakan!" kata Cia Sun.

Melihat seorang pemuda di tepi sawah memanggilnya, dan pemuda itu bukan seperti seorang pemuda dusun, petani itu segera menghampiri. Tubuh atas yang telanjang itu nampak kekar, celananya yang hitam penuh lumpur.

"Ada urusan apakah Kongcu memanggil aku?" tanya heran.

"Sobat, maukah engkau mendapat penghasilan yang lebih besar jumlahnya dari pada penghasilan sawahmu selama beberapa tahun?"

"Ehhh? Apa maksudmu Kongcu? Aku tidak mengerti..."

Cia Sun mengeluarkan tiga potong besar emas dari sakunya dan memperlihatkannya kepada petani itu. "Emas ini akan kuberikan kepadamu kalau engkau suka melakukan sesuatu untukku."

Sepasang mata itu terbelalak. Biar pun selama hidupnya belum pernah ia melihat emas sebanyak itu, apa lagi memilikinya, akan tetapi ia pun cukup dewasa untuk mengetahui bahwa tiga potong besar emas itu bukan saja sangat mahal harganya dan merupakan jumlah yang lebih besar dari pada hasil sepuluh tahun bekerja di sawah, bahkan dengan emas itu dia akan mampu membeli sawah yang luas dan rumah tinggal yang cukup baik!

"Apa yang harus kulakukan untuk Kongcu? Meski pun aku orang miskin, aku tidak mau kalau disuruh mencuri atau membunuh orang, biar dibayar berapa banyaknya pun!"

"Aihhh, siapa suruh engkau melakukan kejahatan? Tugasmu hanya mudah saja, yaitu mengantarkan surat ke benteng Siang-heng-koan."

"Benteng pasukan...? Ahhh, mana aku berani, Kongcu? Aku akan ditangkap!"

"Suratku akan membuka pintu benteng dan engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai utusanku. Katakan dulu, sanggupkah engkau?"

Karena hanya disuruh mengantar surat, dengan penuh semangat petani itu berkata, "Aku... ehhh, saya sanggup, Kongcu!"

"Kalau begitu, mari kita ke rumahmu, akan kubuatkan surat itu."

Petani itu pun bergegas mencuci kaki tangannya, lalu mengenakan baju dan capingnya, memanggul cangkulnya dan bersama Cia Sun dia pulang. Rumahnya di ujung dusun itu, sebuah rumah yang amat sederhana, bahkan miskin. Mereka disambut isteri petani itu bersama empat orang anak mereka yang merasa terheran-heran melihat petani itu telah pulang bersama seorang pemuda tampan yang bukan seorang petani.

Petani itu menyuruh anak isterinya ke belakang. Dia duduk di tengah rumah bersama tamunya. Atas permintaan Cia Sun, petani itu keluar sebentar untuk membeli alat tulis dan menyewa seekor kuda yang paling kuat. Kemudian, Cia Sun menulis surat kepada komandan benteng Siang-heng-koan dan surat itu dibubuhi tanda tangan dan cap yang selalu dibawanya.

"Nah, sekarang juga engkau cepat pergi menunggang kuda ke benteng itu dan emas ini pun boleh kau miliki. Dengan emas ini, maka kau akan dapat mengubah keadaan hidup keluargamu. Tetapi awas, jika surat ini tidak kau sampaikan, maka pasukan di benteng itu akan kukerahkan untuk menangkapmu dan engkau beserta seluruh keluargamu akan dihukum berat. Katakan siapa namamu!" kata Cia Sun sambil menyerahkan surat itu.

"Nama hamba Ki Siok...," kata petani itu, kini nampak takut dan hormat. "Kalau boleh hamba mengetahui nama Kongcu..."

"Katakan saja kepada komandan benteng itu bahwa engkau diutus oleh seorang yang bernama Sun dan serahkan suratku itu. Tetapi ingat, tidak boleh orang lain mengetahui tentang urusan kita ini dan siapa pun juga tidak boleh melihat surat ini. Juga isteri dan anak-anakmu tidak boleh mengetahui."

"Baik, baik, hamba mengerti..." kata petani itu ketakutan.

Meski pun sebodoh-bodohnya manusia, dia pun dapat menduga bahwa pengirim surat ini tentulah bukan orang sembarangan, buktinya memiliki emas sebanyak itu, bersikap royal, dan berani mengirim surat kepada komandan benteng.

Setelah melihat sendiri Ki Siok pergi meninggalkan dusun itu dan menuju ke benteng Siang-heng-koan, cepat Cia Sun mendaki Bukit Naga dan kembali ke tempat yang tadi. Matahari telah naik tinggi, tengah hari hampir lewat, tapi di dekat sumur tua itu nampak sepi, belum kelihatan kedua orang gadis itu kembali. Dia pun menunggu dengan hati berdebar tegang penuh kekhawatiran…..

********************

Kekuasaan Tuhan mencakup dan menyelimuti seluruh yang ada, seluruh yang nampak dan yang tidak nampak oleh mata manusia. Keadaan di seluruh alam semesta ini terjadi karena Kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan berada di dalam yang paling dalam dan di luar yang paling luar, mencakup yang terendah sampai yang tertinggi, yang paling kecil sampai yang paling besar. Kekuasaan Tuhan jugalah yang mencipta, memelihara, dan mengadakan sampai yang meniadakan.

Segala sesuatu terjadi karena Kehendak Tuhan. Segala macam suka, duka, indah atau buruk, hanya merupakan ulah pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah.

Sebab akibat merupakan mata rantai kait mengait yang dibentuk oleh hati akal pikiran kita sendiri. Tidak ada yang lebih kuat dari pada Kekuasaan Tuhan, yang juga bekerja di dalam tubuh kita, dari ujung rambut sampai ke kuku jari kaki. Kekuasaan Tuhan bekerja sepenuhnya kalau kita menyerah. Penyerahan total yang meniadakan ulah hati akal pikiran sehingga kekuasaan Tuhan mutlak bekerja.

Kalau sudah begitu, tidak ada yang tidak mungkin. Hanya Tuhanlah Maha Sempurna, Maha Kuasa. Segala kehendakNya jadilah!

Ketika dia terjebak di dalam sumur tua, dan sumur itu ditimbuni batu-batu dari atas, Yo Han mengerahkan segala daya hati akal pikirannya. Sebagai manusia, memang sudah tugasnya untuk mempertahankan agar tetap dapat hidup di dalam dunia ini. Dia berhasil menutup terowongan di dalam sumur itu dengan batu besar sehingga batu-batu yang dilemparkan dari atas sumur itu tertahan oleh batu besar itu.

Yo Han duduk bersila di atas gulungan tali, memusatkan semua rasa diri, seolah-olah dia tenggelam. Dia membiarkan dirinya tenggelam ke dalam lautan penyerahan. Sampai malam lewat, dia tidak menyadari dan dia merasa seperti hidup di dalam lautan, atau di dalam udara tanpa dataran. Tubuhnya ringan, tidak ada secuil pun pikiran mengganggu batin, bahkan tidak ada lagi rasa enak atau tidak enak.

Seperti orang tidur atau orang mati, begitu kiranya keadaan Yo Han. Hanya bedanya, dia sadar. Dia menyadari bahwa dia berada di dasar sumur tua dan tidak ada jalan keluar. Namun pada saat dia duduk bersila seperti itu, dia tidak merasa khawatir, tidak merasa apa-apa seolah-olah tidak peduli dan tiada bedanya baginya.

Malam sudah lewat dan setelah ada sinar matahari menyorot masuk melalui celah-celah di antara batu-batu di atas, dia seperti terbangun. Dan teringatlah dia akan semua yang terjadi kemarin. Kemarin? Hanya samar-samar dia teringat bahwa malam telah lewat, berarti dia telah semalaman berada di terowongan sumur itu.

Lima orang pimpinan Thian-li-pang telah tewas dan mayat mereka dilempar ke dalam sumur yang sekarang ditimbuni batu-batu. Kini semuanya jelas baginya. Ouw Seng Bu membunuhi para pimpinan Thian-li-pang karena ingin menguasai perkumpulan itu. Gila!

Bukankah Ouw Seng Bu murid Lauw Kang Hui, bahkan merupakan murid tersayang? Kalau dia hanya murid mendiang Lauw Kang Hui, lalu bagaimana mungkin dia mampu membunuh lima orang tokoh pimpinan Thian-li-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi itu? Bagaimana pula para murid Thian-li-pang mau menerima dia sebagai ketua baru? Dan yang membuat dia lebih terheran-heran lagi, bagaimana gadis yang diperkenalkan kepadanya sebagai puteri Cu Kun Tek, pendekar sakti dari Lembah Naga Siluman, dapat berada di Thian-li-pang, bahkan bersahabat baik dengan Ouw Seng Bu?

"Aku harus dapat keluar dari sini. Harus! Aku harus dapat membongkar semua rahasia Ouw Seng Bu, kalau tidak Thian-li-pang akan diselewengkan, dan dunia kang-ouw akan kacau balau karena kejahatan akan menjadi-jadi. Semoga Tuhan memberi bimbingan kepadaku," katanya dalam hati.

Perutnya mulai terasa lapar, akan tetapi dia menampung rembesan air yang menetes turun dari atas dengan kedua tangan dan setelah minum air beberapa teguk, laparnya hilang. Mulailah dia memeriksa semua dinding terowongan itu. Dinding itu terjal ke atas, licin dan keras, tidak mungkin dipanjat, apa lagi di atasnya tidak nampak lubang yang cukup besar seperti mulut sumur, melainkan tertutup dan sinar yang masuk pun melalui celah-celah dari samping atas yang tidak nampak dari situ.

Tiba-tiba terdengar suara mencicit dan Yo Han melihat seekor tikus yang cukup besar, sebesar anak kucing, berlari keluar dari sebuah lubang sambil menggigit sebuah benda hitam kehijauan. Dia merasa heran bagaimana binatang itu mampu membawa sesuatu dengan gigitan, dan mengeluarkan bunyi mencicit pula. Tikus itu lenyap menyelinap ke dalam lubang kecil dan tak lama kemudian terdengar suara mencicit-cicit anak tikus.

Yo Han tersenyum. Betapa besar kekuasaan Tuhan, pikirnya. Bahkan di tempat seperti ini pun terdapat makhluk hidup. Belum yang tidak nampak olehnya, seperti cacing dan kutu-kutu lainnya, bahkan mungkin dalam tetesan-tetesan air itu pun terdapat makhluk hidupnya! Hatinya semakin tenang karena dia yakin bahwa kekuasaan Tuhan berada di mana-mana, sehingga kalau memang Tuhan menghendaki dia tidak mati, tentu ada jalan keluar dari situ!

Tikus itu! Dia membawa benda hitam kehijauan dan kembali ke sarang, memberi makan kepada anak-anaknya. Benda tadi tentulah makanan. Teringat ia akan jamur-jamur atau tanaman dalam air yang terdapat di terowongan goa di mana dia pernah mempelajari ilmu dari Kakek Ciu Lam Hok!

Kini Yo Han memandang ke arah lubang dari mana tikus tadi keluar. Bukan lubang sesempit kepalan tangan ke mana tikus tadi menghilang, melainkan lubang yang cukup besar, agaknya dia akan dapat memasuki lubang itu dengan merangkak rendah. Siapa tahu, itu merupakan jalan keluar, setidaknya jalan menuju ke tempat makanan! Andai kata bukan jalan keluar sekali pun, kalau dari sana dia bisa mendapatkan makanan sebagai penyambung hidup, itu sudah lumayan namanya.

Akan tetapi, baru dua meter lebih dia merangkak melalui lubang sempit itu, lubang itu mengecil dan tubuhnya tak dapat maju lagi. Terpaksa Yo Han menggunakan tenaganya untuk membongkar batu-batu di depannya, memperbesar terowongan itu sehingga dia dapat maju lagi.

Tentu saja pekerjaan ini memakan waktu dan setelah sehari penuh bekerja, dia baru dapat maju sejauh empat meter dan terpaksa menghentikan pekerjaannya karena lelah dan gelap. Dia merangkak mundur dan minum air dengan menadah air rembesan dari atas dengan kedua tangannya sampai kenyang.

Malam itu, Yo Han mengatur tali sehingga merupakan tempat tidur darurat, lumayan untuk membiarkan tubuhnya beristirahat dengan rebah terlentang.

Sudah menjadi lajim bagi kita bahwa dalam keadaan menderita sengsara, kalau semua daya kita sudah tidak mampu menolong keadaan kita, maka kita baru teringat kepada Tuhan! Kita lalu merengek-rengek dan memohon kepada Tuhan agar kita dibebaskan dari penderitaan.

Tentu saja setiap orang dari kita tidak mau kalau dikatakan bahwa kita hanya teringat kepada pencipta kita bila kita sedang membutuhkan saja. Di waktu kita dalam keadaan senang, sewaktu kita berhasil, maka kita tidak ingat lagi kepada Tuhan dan merasa bahwa semua hasil itu adalah karena kepintaran kita!

Keberhasilan mendatangkan kesombongan, kita menjadi tinggi hati dan merasa diri kita hebat. Sebaliknya, dalam keadaan gagal dan menderita, baru kita merasa betapa kita lemah tak berdaya, dan kita baru berdoa dan meminta-minta kepada Tuhan.

Segala macam permintaan kita ajukan. Kita mohon diberi rejeki, mohon diberi kenaikan pangkat, mohon diluluskan ujian, mohon disembuhkan dari penyakit, dan segala macam permohonan lagi. Kita lupa bahwa segala sarana yang lengkap telah diberikan Tuhan kepada kita untuk mencapai itu semua.

Untuk mendapat rejeki, kita sudah diberi anggota tubuh lengkap, berikut hati akal pikiran untuk kerja dan mencari rejeki. Untuk naik pangkat kita harus bekerja dengan jujur, setia dan baik. Untuk lulus ujian kita harus belajar dengan rajin. Untuk sembuh dari penyakit kita harus berobat dan untuk mencegah datangnya penyakit kita harus hidup bersih dan sehat, dan sebagainya.

Akan tetapi, kesenangan merupakan semua penggunaan sarana tidak sehat. Karena penggunaan akal pikiran secara tidak sehat sehingga melahirkan perbuatan yang tidak sehat pula, maka timbullah semua akibat buruk. Kalau sudah begitu, kita minta-minta kepada Tuhan agar kita dibebaskan dari pada akibat perbuatan kita sendiri itu.

Berbahagialah manusia yang lahir batinnya menyerah dengan tawakal dan ikhlas pada Tuhan, mendasari semua ikhtiar sehat di atas penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Bagi seorang yang sudah dapat menyerah lahir batin, maka segala apa pun yang datang menimpa diri, merupakan kehendak Tuhan yang penuh rahasia.

Tuhan mengetahui apa yang paling tepat untuk kita, baik itu merupakan hukuman atau ujian. Hukuman memang tepat untuk mengingatkan kita akan dosa kita dan ujian akan memperkuat batin dan iman kita. Orang yang menyerah kepada Tuhan hanya mengenal ucapan terima kasih dan syukur kepada Tuhan, dan hanya mengenal satu permohonan, yaitu permohonan ampun atas segala dosa yang sudah diperbuatnya di masa lalu dan bimbingan di masa depan. Tidak banyak mengeluh kalau sedang ditimpa duka, dan tidak mabuk kalau sedang dijenguk suka

.

Pada keesokan harinya, begitu ada cahaya memasuki terowongan itu, Yo Han sudah bekerja lagi dengan rajin. Dia tidak tergesa-gesa, tidak terlalu memeras tenaganya agar tidak sampai kehabisan tenaga dan kelelahan sebab perutnya yang kosong mengurangi banyak tenaganya.

Setelah tiga hari lamanya membongkar tumpukan batu dan hanya minum air, setelah tenaganya hampir habis, lubang itu membesar lagi sehingga dia dapat melanjutkan merangkak ke depan dan menemukan jamur atau tumbuhan di antara dinding batu yang basah, jamur liar seperti yang dibawa oleh induk tikus untuk memberi makan kepada anak-anaknya. Yo Han pernah makan jamur ini atas petunjuk mendiang kakek Ciu Lam Hok, maka tanpa ragu lagi dia pun makan beberapa potong jamur.

Dan terhindarlah dia dari bahaya kelaparan! Kini dia dapat melanjutkan usahanya untuk mencari jalan keluar dengan menjelajahi lubang-lubang yang banyak terdapat di bawah permukaan bukit itu, merupakan lubang dan terowongan bawah tanah dari batu karang yang kuat.

Sambil mengerahkan seluruh anggota badannya, seluruh panca inderanya, didasari penyerahan diri kepada Tuhan, yakin bahwa kekuatan Tuhan akan membimbingnya, Yo Han terus bekerja dengan tekun, tak pernah putus asa walau pun beberapa kali lubang yang diikutinya tiba di dinding buntu dan terpaksa dia harus mencari lubang lain.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Tangan Sakti